Catatan Kecil Lawatan Sejarah Daerah se-Suluttenggo 2012
a.
Kampung Jawa Tomohon
Spot pertama yang dikunjungi adalah Kampung Jawa
Tomohon. Sebagaimana tema yang diusung panitia, lokasi ini tidak bisa lepas
dari simpul-simpul peradaban Islam di Sulawesi Utara. Komunitas Kampung Jawa
Tomohon diawali dengan masuknya tujuh pemuda dari Banten yang diasingkan
pemerintah Kolonial Belanda ke Minahasa sekira tahun 1791. Menurut Hi. Tomy
Tubagus, sesepuh Kampung Jawa Tomohon dan juga Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Kota Tomohon, tujuh pemuda itu adalah Tubagus Buang, penghulu Abu Salam,
Muskali, Mas Jebeng, Abdul Rais, Abdul Hayi dan Hanafi. Mereka pertama kali
ditempatkan di Tombariri kemudian diasingkan di Kakaskasen. Dari Kakaskasen
mereka kembali diasingkan di sekitar kelurahan Walian sekarang ini dan pindah
lagi ke perkebunan kayu payung hingga terbentuklah komunitas Kampung Jawa
sekarang.
Secara de jure, Kampung Jawa Tomohon resmi menjadi
sebuah kampung dengan pemerintahan sendiri pada tahun 1830. Persepsi bahwa
Kampung Jawa Tomohon merupakan pecahan dari Kampung Jawa Tondano adalah keliru
dan perlu diluruskan. Pada kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa Kampung Jawa
Tomohon telah lebih dulu ada dibandingkan Kampung Jawa Tondano.
Adapun keberadaan masjid
Nurul Iman di Kampung Jawa Tomohon, menurut Suharto Abu Salam selaku imam,
kurang diketahui pasti, tapi keberadaan masjid tersebut seiring dengan
terbentuknya komunitas Kampung Jawa Tomohon di awal 1800-an. Menurut pak Imam,
sampai saat ini beliau merupakan imam ke-7 sejak masjid didirikan.
Spot selanjutnya yang dikunjungi adalah Makam Kiay Modjo
atau Kiay Muslim Muhammad Halifah di Kampung Jawa Tondano. Beliau adalah
penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang menentang kekuasaan Belanda pada
tahun 1825-1830. Beliau ditangkap dan dibuang ke Minahasa bersama para
pengikutnya pada akhir tahun 1828.
Kyai Modjo dan 62 orang pengikutnya pertama kali
ditempatkan pemerintah Belanda di Kaburukan, bagian selatan Kema. Selanjutnya
mereka dipindahkan ke sebelah utara yaitu di Tanjung Merah dan atas permintaan
mereka, dipindahkan lagi ke sebelah barat Sungai Tondano. Tidak diketahui
berapa lama di daerah itu, mereka dipindahkan lagi ke daerah Kawak (sekarang
belakang masjid Kampung Tegal Rejo), kemudian pindah ke tempat sekarang yang
dikenal dengan Kampung Jawa. Tanah yang diberikan pemerintah Belanda tidak
semuanya dikelola oleh Kyai Modjo dan pengikutnya, sebagian diambil penduduk
pribumi. Kemudian berdirilah perkampungan Wulauan dan Marawas tahun 1897. Hal
ini dibuktikan dengan adanya makam orang-orang Jawa dan Kyai Modjo beserta
pengikutnya di Wulauan sebelah timur Kampung Jawa.
Sejak diasingkan, Kyai Modjo tidak menikah lagi dan
hanya tekun mengajarkan Islam hingga akhir hayatnya. Pengikutnyalah yang
berasimilasi dengan penduduk pribumi dan menjadikan komunitas Kampung Jawa
semakin luas. Profesi mereka yang hanya petani dan tukang (tukang kayu, tukang
besi dan tukang jahit) membuat mereka tidak melakukan perlawanan secara fisik
terhadap pemerintah Belanda.
c.
Masjid al-Falah Kyai Modjo Kampung Jawa Tondano
(Kesenian Hadrah)
Masjid al-Falah adalah salah satu peninggalan
peradaban Islam di Minahasa. Masjid yang dibangun pada abad ke-19 oleh
orang-orang Jawa yang diasingkan di Tondano ini masih menyisakan benda
bersejarah yaitu bedug dan mimbar. Tampak pula empat tiang yang masih kokoh sebagai
bagian dari peninggalan bersejarah di masjid al-Falah Kyai Modjo.
![]() |
Teras masjid Al-Falah Kiay Modjo Kampung Jawa Tondano |
![]() |
Kesenian hadrah kampung Jawa Tondano |
d.
Makam Tuanku Imam Bonjol Pineleng
Makam Tuanku Imam Bonjol terletak di Pineleng. Berikut adalah penjelasan dari ibu Ainun, juru kunci makam Imam Bonjol, yang
merupakan turunan keempat dari pengawal beliau, Apolos.
Tuanku Imam Bonjol adalah seorang pahlawan Nasional
yang berasal dari Sumatera Barat. Nama lain beliau adalah Peto Syarif. Dalam
perlawanannya terhadap pemerintah Belanda, beliau dijebak dalam sebuah
perundingan lalu ditangkap dan dibawa ke Batavia dan diasingkan di Cianjur.
Imam Bonjol kemudian diasingkan lagi ke Ambon lalu dipindahkan ke desa Lotta
Kecamatan Pineleng pada tahun 1841 hingga wafat dalam usia 92 tahun pada
tanggal 6 November 1854.
Di pengasingannya, beliau ditemani oleh pengawalnya
yang setia yakni Apolos Minggu, Bagindo Magek, dan Pangeran Buyung.
Makam Imam Bonjol dibangun
dengan ciri khas Sumatera. Sebuah relief yang menggambarkan Imam Bonjol dalam
Perang Paderi menghiasi salah satu dinding makam. Selain makam terdapat pula sebuah
batu yang digunakan oleh Imam Bonjol sebagai tempat salat. Saat ini batu
tersebut juga digunakan oleh peziarah untuk salat yang berada di pinggir kali.
e.
Makam Ratu Sekar Kedaton
Makam Ratu Sekar Kedaton berada di Kelurahan Mahakeret
Barat Kecamatan Wenang Kota Manado. Para peserta LASEDA 2012 diterima oleh
pihak ahli waris keluarga Ratu Sekar Kedaton yang datang langsung dari Jakarta.
Kebetulan area makam sedang diperbaiki sehingga kedatangan kami sudah ditunggu
pihak keluarga.
![]() |
wawancara dengan pihak keluarga dari Jakarta |
![]() |
Makam KanjengRatu Sekar Kedaton bersamaputranya di Manado |
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh keturunan
langsung dari Ratu Sekar Kedaton, dapat
dipahami bahwa beliau adalah Permaisuri Hamengku Buwono V, raja Jawa yang
berkedudukan di Yogyakarta. Pada saat HB V meninggal dunia, Ratu Sekar Kedaton
sedang hamil tua. Tidak lama setelah itu, sekitar 13 hari kemudian, Ratu pun
melahirkan putra mahkota. Karena masih kecil, tahta kerajaan diserahkan kepada
kerabat raja yang menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VI.
Tiga belas tahun kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono
VI meninggal dan menunjuk putranya yang akhirnya bergelar Sri Sultan Hamengku
Buwono VII. Inilah asal usul pertikaian dalam keluarga kerajaan. Semestinya
tahta kerajaan sesudah Sri Sultan Hamengku Buwono VI diserahkan kepada putra
mahkota HB V yaitu Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga atau Gusti Timur
Muhammad. Namun begitulah yang terjadi, intrik politik pun mewarnai suasana
kerajaan sehingga HB VII menangkap Ratu Sekar Kedaton dan putranya lalu dibuang
ke Manado dengan tuduhan dianggap membangkang pada raja, pergi dari kota tanpa
pamit serta berniat melakukan perang. Pemerintah Belanda yang memfasilitasi
semua itu juga beranggapan demikian karena Ratu Sekar Kedaton masih memiliki
hubungan kerabat dengan Pangeran Diponegoro dan sering berkomunikasi untuk
melakukan perlawanan. Mereka pun dibawa ke Manado, tepatnya di daerah Pondol
hingga meninggal di daerah ini. (bersambung)
![]() |
Pose bersama di komplek makam Ratu Sekar Kedaton |
( Manado, 04 Juli 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar