
Tazkir Jumat yang digelar Rohis SMAN 9 Manado senantiasa diharapkan menjadi ajang pembelajaran bagi para peserta didik muslim di sekolah tersebut. Inilah harapan yang senantiasa menjadi motivasi bagi pengurus untuk terus aktif mengajak setiap peserta didik muslim agar hadir dan mengikuti kegiatan ini.

Dikisahkan oleh seseorang yang telah memfitnah Habib Umar bin
Hafidz dari Tarim, Hadramaut. Suatu ketika ia bermohon kepada habib Umar bin
Hafidz agar mau memaafkannya
“Habib... Maafkanlah saya yang telah memfitnah Habib dan ajarkan
saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini. Aku berusaha menjaga
lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan
Habib." ujarnya
Habib Umar terkekeh seraya bertanya: “Apa kau serius?” Katanya:
“Saya serius, Habib, Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”
Habib Umar pun terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Lalu
beberapa saat kemudian,
Habib Umar mengucapkan sesuatu: “Apakah kamu punya sebuah kemoceng di rumahmu?”.
“Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Habib, Apa yang harus
saya lakukan dengan kemoceng itu?”
Habib Umar tersenyum. “Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke
pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu.
Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang
aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui.” “Kau akan belajar sesuatu
darinya,”
Keesokan harinya, orang ini menemui Habib Umar dengan sebuah
kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Ia segera
menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.
“Ini, Habib bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per
satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke
pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Habib. Saya
menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Habib yang sudah saya
sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Habib. Maafkan saya…”.
Katanya
“Kini pulanglah…” kata Habib Umar. Tetapi Habib Umar melanjutkan
kalimatnya :
"Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan
yang sama dengan saat kamu menuju pondokku tadi…” “Di sepanjang jalan
kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kau cabuti satu
per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kamu
kumpulkan.” “Kamu akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Habib Umar.
Sepanjang perjalanan pulang, orang ini berusaha menemukan
bulu-bulu kemoceng yang tadi dilepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik.
Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu
saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju
kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin diketahui.
Ia pun terus berjalan... Setelah berjam-jam, ia berdiri di depan
rumahnya dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasnya berat. Tenggorokannya
kering. Di tangannya, digenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil
ditemukan di sepanjang perjalanan.
Hari berikutnya orang ini menemui Habib Umar dengan wajah yang
murung, lalu menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Habib Umar :
"Ini, Habib, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Ia membuka genggaman
tangannya dan menyodorkannya pada Habib Umar.
Habib Umar terkekeh: "Kini kamu telah belajar sesuatu,”
katanya.
“Apa yang telah aku pelajari, Habib?” Aku benar-benar tak
mengerti.” Jawab orang ini bingung

“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Habib Umar.“Bulu-bulu yang kamu
cabuti dan kamu jatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kamu
sebarkan. Meskipun kamu benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha
memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan
entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke
mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kamu duga-duga, ke berbagai
wilayah yang tak mungkin bisa kamu hitung!”
“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali
pada dirimu sendiri… Barangkali kamu akan berusaha meluruskannya, karena kamu
benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu.
Barangkali kamu tak ingin mendengarnya lagi.
Tetapi kamu tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang
telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kamu
bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kamu kubur dalam-dalam sehingga tak
ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya."
“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada
ujungnya. Agama menyebutnya sebagai DOSA JARIYAH, Dosa yang terus
berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu,
meskipun aku atau siapapun saja yang kamu fitnah telah memaafkanmu sepenuh
hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung
dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu
terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Kamu tak bisa menghitung
lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu
kelak.”
Orang ini pun menangis “Ajari saya apa saja untuk membunuh
fitnah-fitnah itu, Habib. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirullahal-adzhim…” Ia
terus menangis menyesali apa yang telah diperbuat.
Habib Umar tertunduk.
Beliau tampak meneteskan air matanya. “Aku telah memaafkanmu setulus hatiku,
Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu,
mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya,
adalah zat yang Maha terus menerus menerima taubat manusia… Innallaha
tawwaabur-rahiim...”
Sementara itu wakil sekretaris Rohis, Tri Hamdi berharap agar para peserta didik muslim tetap konsisten dalam menyukseskan program yang telah disusun oleh Pengurus. Hal ini agar Rohis tetap menjadi wadah yang bermanfaat bagi para peserta didik muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar