
Sepertinya tidak banyak orang yang memperhatikan tugu berbentuk
jam ini (aku termasuk di bagian ini…apalagi jaman menjadi anak kos era 90-an
dan bukan mahasiswa sejarah…) Hal ini mungkin karena tugu ini terlihat
biasa-biasa saja, dan kurang mendapat perhatian...(terlebih tugu ini gak suka
caper..hehehe) Namun sesungguhnya tugu ini memiliki historical story yang
menarik. Setelah dua dekade aku baru menyadari bahwa penanda waktu bagi
masyarakat Jogja ini ternyata menjadi tonggak sejarah dan ikut menjadi saksi
bisu perjalanan sejarah Kota Yogyakarta, yang
menjadi bagian penting sejarah Republik Indonesia.
Menelusuri sejarahnya, Stadsklok atau
masyarakat Jogja menyebutnya Ngejaman, didirikan pada 1916 oleh masyarakat
Belanda untuk memperingati satu abad kembalinya Pemerintahan Kolonial Belanda
dari Pemerintahan Inggris yang pernah berkuasa di Jawa pada awal abad 19 (1811
– 1816).
Tinggi
alas jam ini sekitar 1,5 meter, diukur dari permukaan jalan. Diameter jam
berukuran 45 cm. Dahulu jam ini bergerak dengan sistem pegas yang harus diputar
setiap waktu tertentu. Warga sekitar Ngejaman secara bergantian memutar pegas
jam tersebut, agar jam tetap hidup dan bermanfaat bagi masyarakat. Kini untuk
tetap hidup, jam itu harus disambungkan listrik.
Letaknya
masih di kawasan Malioboro, terutama yang
lintas dekat masuk ke Keraton Ngayogyakarta. Tepatnya di depan Gereja Protestan, sebelah Utara
Gedung Agung atau di samping kiri persis bangunan Istana Negara tersebut.
Ngejaman dahulu memang berbeda dengan sekarang, tidak ada trotoar seperti yang
terlihat sekarang, namun fungsinya tetap sama sebagai penanda waktu bagi
masyarakat Jogja.
So, kamu yang ada di Jogja, dan yang akan berada di Jogja,
tempat ini sejatinya mengasyikkan apalagi yg hobi berfoto meski masih kalah popular
dengan Tugu atau Plengkung Gading, yang dijadikan obyek untuk narsis…Jika aku
menginspirasimu dengan postingan ini, maka bersegeralah karena kesempatan di
Jogja tidak akan datang kedua kalinya…hehehe
#tripofkakippy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar