![]() |
Alun-alun Utara Yogyakarta |
Ketika
tinggal di Yogya, tidak pernah terpikirkan untuk mengambil gambar di salah satu
spot yang menjadi ikonnya Yogya ini. Komplek Istana yang dibangun Sultan Hamengku
Buwono I dan diakui oleh Belanda disebut sebagai arsitek hebat. Bahkan orang Yogya
sendiri belum tentu memiliki foto khusus di lokasi Keraton Yogya. Moment
berfoto di Keraton paling hanya terjadi pada saat mengantar turis, baik
keluarga, teman, sahabat, yang datang dari luar kota untuk berlibur di Yogya. Sebagai
anak kost, tentu moment jalan-jalan itu sangat langka karena memerlukan biaya
ekstra, apalagi berfoto. Era 90-an, hanya orang-orang tertentu yang memiliki
pocket camera, dimana sebelum mengabadikan sebuah momen, harus beli filmya dulu
di studio foto dengan pilihan 24 x atau 36 x jepret. Beruntung jika yang memasangnya bagus, bisa mendapatkan
2 atau 3 x jepretan ekstra…(semoga generasi sekarang bisa faham soal ini)
Di depan Keraton ada Alun-alun Utara, orang Jawa
menyebutnya Alun-alun Lor, lokasi ini selalu menjadi tempat favorit dan
biasanya lebih ramai dibandingkan dengan Alun-alun Selatan (dekat Plengkung
Gading) terutama pada saat Sekaten, dan beberapa kegiatan Keraton lainnya.
Berbagai kegiatanpun digelar mulai dari pameran, pasar malam dengan aneka jajanan,
kuliner, dan segala rupa, sampai pertunjukan dangdut ada di lokasi ini. Gak
tanggung-tanggung, sebulan bro…hingga usai Sekaten, hampir tak ada lagi rumput hijau
di alun-alun Utara…hanya lapangan pasir berdebu saja. Tapi memang sih, menurut
sejarah, bahwa dulu permukaan alun-alun
adalah pasir halus yang cocok digunakan untuk tempat latihan para prajurit juga
untuk unjuk kehebatan di hadapan Sultan.
Saat kegiatan berlangsung, Sultan
dan para pembesar kerajaan duduk di Siti Hinggil, yaitu bagian muka keraton
yang memiliki permukaan lebih tinggi untuk melihat atraksi para prajuritnya.
Alun-alun Lor juga digunakan untuk Tapa Pepe, yaitu suatu bentuk unjuk diri
dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian dari sultan.
Luas alun-alun yang berkisar 9000
meter persegi itu sengaja ditutup dengan pasir lembut. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan. Pasir yang menutupi
permukaan alun-alun melambangkan laut tak berpantai yang merupakan perwujudan
sifat tak terhingga dari Tuhan.
Pada zaman dahulu, Alun-alun Lor
adalah wilayah sakral dimana tidak sembarang orang diperkenankan untuk
memasukinya. Ada aturan-aturan yang wajib dipatuhi jika ingin memasukinya, misalnya
tidak boleh menggunakan kendaraan, sepatu, sandal, bertongkat, dan
mengembangkan payung. Hal ini dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada Raja Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Di tengah
alun-alun Utara ada dua pohon beringin
besar berpagar yang berada di tengah alun-alun. Dua Pohon Beringin Besar itu
masing-masing diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada masa lalu di
sekeliling Alun-alun Lor ditanam 63 Pohon Beringin yang melambangkan umur Nabi
Muhammad SAW.
Konon, bibit Kiai Dewadaru berasal dari
Majapahit sedang bibit Kiai Janadaru berasal dari Pajajaran. Garis keturunan
ini terus dijaga tiap kali ada pohon yang rubuh atau mati. Kiai Dewadaru pernah
diganti pada tahun 1988, saat beringin tersebut rubuh menjelang wafatnya Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Kiai Janadaru pernah terbakar dan ditanam kembali
karena tersambar petir pada tahun 1961. Sebelumnya, Kiai Janadaru juga pernah
diganti pada tahun 1926. Karenanya dua beringin tersebut tampak tidak
sama besarnya. Namun, makna filosofisnya sangat dalam, berkaitan dengan konsep Islam
tentang hablum minallah dan hablum minannaas. (dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar