Masyarakat Sulawesi Utara tentu memiliki kebanggaan
tersendiri bahwa nilai-nilai toleransi yang kini dipegang telah lama
dipraktekkan di daerah Nyiur Melambai. Nilai ini menjadi sebuah cara pandang
dalam bermasyarakat yang siap menerima perbedaan dalam bentuk apapun. Betapa
tidak, dengan persentase muslim yang tidak begitu banyak, Kota Manado mampu
menjadi tuan rumah yang baik bagi pelaksanaan sebuah even Nasional dan
bergengsi bertajuk Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke X tahun 1977. Acara yang
dibuka langsung Presiden R.I Soeharto ketika itu betul-betul mampu menyedot
perhatian khalayak dan memunculkan beragam apresiasi positif bagi Kota Manado
khususnya dan provinsi Sulawesi Utara
pada umumnya.
Sesuai arahan Presiden Soeharto dalam sambutannya yang
menekankan pada aspek kerjasama antar umat dalam mencapai kehidupan religius
berdasarkan Pancasila, pelaksanaan MTQ ke X tahun 1977 menjadi sebuah tonggak
sejarah bagi terhindarnya eksklusifisme beragama. Guna mengenang momentum
terbaik itu, didirikanlah Islamic Center dan Pesantren Lembaga Pendidikan
Islam-Pondok Karya Pembangunan sebagai sebuah “Monumen Kembar” yang diresmikan
pada 1978. Sejak saat itu, mulailah sebuah proses panjang kaderisasi generasi
Islam yang moderat dan mengedepankan nilai-nilai toleransi yang tinggi di berbagai
penjuru bumi ini.
Pola pendidikan pesantren dengan Kiay sebagai
sentralnya ketika itu pada akhirnya mampu melahirkan generasi-generasi yang
tangguh dan mampu menghadapi tantangan zamannya. Penerapan kurikulum yang tidak
semata mengunggulkan sisi kognitif semata kemudian menjadikan 28 orang generasi
“assabiqunal awwalun” tetap survive menjalani kehidupan pesantren yang “keras”.
Kurikulum yang juga menitik beratkan pada life
skill atau kecakapan hidup menjadikan pesantren ini semakin dikenal sebagai
lembaga pendidikan untuk menempa manusia-manusia unggul dan mampu menghadapi
tantangan zamannya.
Empat dekade bukanlah waktu yang singkat untuk
berproses dan bersimbiosis mutualisma dengan lingkungan. Ribuan alumni yang
tangguh dan kapabel itu bisa ditemui pada berbagai instansi pemerintah maupun
swasta dengan berbagai profesi. Baik sipil maupun militer, mulai dari RT,
Kepala Lingkungan, Lurah, Kepala Desa, Camat hingga calon Wakil Bupati. Jangan
ditanya berapa banyak alumni yang mengabdi di masjid menjadi Imam, Pegawai
Syar’i, Badan Takmir Masjid, Kepala KUA hingga Pengacara, Hakim dan Jaksa serta
Ketua Pengadilan. Entah berapa banyak
pula alumni yang berkecimpung dalam dunia pendidikan sebagai penulis, peneliti,
guru, dosen, dan Widya Iswara. Bahkan era pandemic covid-19 pun mencatat ada
alumni pesantren LPI-PKP di garda terdepan sebagai petugas medis. Profesi boleh
saja berbeda namun prinsip utama yang dipegang untuk menerima berbagai
perbedaan sebagai suatu anugerah Ilahi tetap menjadi nilai dasar dalam kehidupan
bermasyarakat.
LPI-PKP menjadi satu-satunya pesantren di Sulawesi
Utara yang masih istiqamah atau konsisten dengan “santri mukim”. Disaat
pesantren lain mulai melonggarkan aturan mukim bagi santri, pesantren ini tetap
mempertahankan ciri khas pesantrennya dan tidak bisa ditawar-tawar. Latar
belakang yang berbeda dan beragam dalam kehidupan pesantren menjadi sebuah
pelajaran berharga bagi santri ketika kembali ke masyarakat yang tingkat
perbedaannya tentu lebih besar lagi. Semoga dengan usia 43 tahun ini ribuan
alumni pesantren LPI-PKP tetap mampu memberikan sesuatu yang sangat bermakna,
bagi masyarakat dalam berbagai profesi dan jabatan yang diembannya. Masa depan
pesantren ada di tangan alumni… Milad Barokah pesantrenku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar