Selasa, 21 Juli 2020

REVIEW 43 TAHUN MONUMEN KEMBAR MTQ 1977: DARI ALUMNI UNTUK UMAT





Masyarakat Sulawesi Utara tentu memiliki kebanggaan tersendiri bahwa nilai-nilai toleransi yang kini dipegang telah lama dipraktekkan di daerah Nyiur Melambai. Nilai ini menjadi sebuah cara pandang dalam bermasyarakat yang siap menerima perbedaan dalam bentuk apapun. Betapa tidak, dengan persentase muslim yang tidak begitu banyak, Kota Manado mampu menjadi tuan rumah yang baik bagi pelaksanaan sebuah even Nasional dan bergengsi bertajuk Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke X tahun 1977. Acara yang dibuka langsung Presiden R.I Soeharto ketika itu betul-betul mampu menyedot perhatian khalayak dan memunculkan beragam apresiasi positif bagi Kota Manado khususnya dan provinsi Sulawesi Utara  pada umumnya.
Sesuai arahan Presiden Soeharto dalam sambutannya yang menekankan pada aspek kerjasama antar umat dalam mencapai kehidupan religius berdasarkan Pancasila, pelaksanaan MTQ ke X tahun 1977 menjadi sebuah tonggak sejarah bagi terhindarnya eksklusifisme beragama. Guna mengenang momentum terbaik itu, didirikanlah Islamic Center dan Pesantren Lembaga Pendidikan Islam-Pondok Karya Pembangunan sebagai sebuah “Monumen Kembar” yang diresmikan pada 1978. Sejak saat itu, mulailah sebuah proses panjang kaderisasi generasi Islam yang moderat dan mengedepankan nilai-nilai toleransi yang tinggi di berbagai penjuru bumi ini.
Pola pendidikan pesantren dengan Kiay sebagai sentralnya ketika itu pada akhirnya mampu melahirkan generasi-generasi yang tangguh dan mampu menghadapi tantangan zamannya. Penerapan kurikulum yang tidak semata mengunggulkan sisi kognitif semata kemudian menjadikan 28 orang generasi “assabiqunal awwalun” tetap survive menjalani kehidupan pesantren yang “keras”. Kurikulum yang juga menitik beratkan pada life skill atau kecakapan hidup menjadikan pesantren ini semakin dikenal sebagai lembaga pendidikan untuk menempa manusia-manusia unggul dan mampu menghadapi tantangan zamannya.
Empat dekade bukanlah waktu yang singkat untuk berproses dan bersimbiosis mutualisma dengan lingkungan. Ribuan alumni yang tangguh dan kapabel itu bisa ditemui pada berbagai instansi pemerintah maupun swasta dengan berbagai profesi. Baik sipil maupun militer, mulai dari RT, Kepala Lingkungan, Lurah, Kepala Desa, Camat hingga calon Wakil Bupati. Jangan ditanya berapa banyak alumni yang mengabdi di masjid menjadi Imam, Pegawai Syar’i, Badan Takmir Masjid, Kepala KUA hingga Pengacara, Hakim dan Jaksa serta Ketua Pengadilan.  Entah berapa banyak pula alumni yang berkecimpung dalam dunia pendidikan sebagai penulis, peneliti, guru, dosen, dan Widya Iswara. Bahkan era pandemic covid-19 pun mencatat ada alumni pesantren LPI-PKP di garda terdepan sebagai petugas medis. Profesi boleh saja berbeda namun prinsip utama yang dipegang untuk menerima berbagai perbedaan sebagai suatu anugerah Ilahi tetap menjadi nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat.
LPI-PKP menjadi satu-satunya pesantren di Sulawesi Utara yang masih istiqamah atau konsisten dengan “santri mukim”. Disaat pesantren lain mulai melonggarkan aturan mukim bagi santri, pesantren ini tetap mempertahankan ciri khas pesantrennya dan tidak bisa ditawar-tawar. Latar belakang yang berbeda dan beragam dalam kehidupan pesantren menjadi sebuah pelajaran berharga bagi santri ketika kembali ke masyarakat yang tingkat perbedaannya tentu lebih besar lagi. Semoga dengan usia 43 tahun ini ribuan alumni pesantren LPI-PKP tetap mampu memberikan sesuatu yang sangat bermakna, bagi masyarakat dalam berbagai profesi dan jabatan yang diembannya. Masa depan pesantren ada di tangan alumni… Milad Barokah pesantrenku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar