Kamis, 06 Juni 2013

ISRA’ MI’RAJ


ISRA’ MI’RAJ: NATION CHARACTER BUILDING


Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Isra’/17:1)
Perjalanan Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Bayt al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat al-Muntaha, bahkan melampuinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu yang sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Qur'an disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘Ilm dan Qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau segalanya tanpa terbatas ruang dan waktu.
Terlepas dari pro dan kontra kejadian luar biasa tersebut karena tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika, sebagai insan beriman pandekatan yang paling tepat dan sederhana (tidak memerlukan teori-teori kajian ilmiah yang empiris dan rasional) untuk dapat memahaminya adalah cukup dengan pendekatan “Imaniy” sebagaimana yang ditempuh oleh sahabat nabi Abu Bakar al-Shiddiq, dalam ucapannya: ”Apabila Muhammad yang memberitakannya, pastilah benar adanya”. Jika keilmiahan yang dituntut, maka al-Qur'anlah yang harus menjadi  referensi utama, melalui pengamatan terhadap sistematika dan uraian Al-Qur'an tentang peristiwa Isra’ Mi’raj.
Secara sederhana, dapat disistematikakan bahwa para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu apapun menyatakan bahwa segala sesuatu pasti memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Sebagai pakar al-Qur'an, Imam al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam al-Qur'an adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya. Sedangkan inti uraian satu surat difahami dari nama surat tersebut. Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra’ Mi’raj adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan al-Nahl, yang berarti “lebah”.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa surat Al-Isra’ didahului oleh al-Nahl, mengapa lebah yang mengantarkannya? lebah dipilih oleh Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya, agar menjadi pengantar keajaiban pembuat-Nya dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Lebah juga dipilih untuk menjadi pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya, yaitu “Manusia Mukmin” yang menurut Nabi Muhammad Saw. adalah bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah (kembang) dan tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna (madu).
Dari segi lain, dalam surat Al-Isra’ dan an-Nahl (Q.S. An-Nahl Ayat: 8, 74, dan Q.S. Al-Isra' : 85) berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut, diantaranya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan tidak akan sampai setinggi gunung”. (QS. Al-Isra’ : 36-37)
Pertanyaan yang lebih penting lagi adalah mengapa peristiwa Isra’ Mi’raj mesti terjadi dalam sejarah perjalanan Nabi? Jawabnya adalah al-Qur'an menekankan betapa pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Klimaksnya tergambar pada pribadi hamba Allah yang di Isra’ Mi’rajkan ini, yaitu Nabi Muhammad Saw, serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Begitu banyak petunjuk yang ditemukan dalam surat al-Isra’ untuk membina diri dan membangun masyarakat dan bangsa ini (Nation Character Building), diantaranya:
Pertama, ditemukan petunjuk untuk melakukan salat lima waktu, dan juga salat sunnah malam. (Q.S. al-Isra’/17 : 78 dan 79). “Salat” ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang pada hakekatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia untuk mengejawantahkan diri ketika berhubungan dengan Khaliqnya, Allah Swt. Salat juga dibutuhkan oleh manusia, karena salat dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan, terutama pembangunan diri dan kepribadian. Sehingga merupakan tanda bagi kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat ia didesak oleh kebutuhannya.
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, adalah membangun manusia seutuhnya menuju masyarakat adil dan makmur. (Q.S. al-Isra/17: 16).
Ketiga, Petunjuk hidup untuk bersikap “adil” dalam kesederhanaan dan larangan berfaham individualisme, materialisme, konsumerisme, dan membangun budaya “hedonisme” kembali mendapatkan penekanan dalam beberapa ayat berikutnya. (Q.S. Al-Isra/17: 26-27)
Ketiga, Mengambil jalan tengah dalam setiap sikap hidup dan kehidupan, merupakan cermin kehendak Tuhan yang menekankan betapa pentingnya “Persatuan masyarakat seluruhnya”. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas hidup sebaik-baiknya, sesuai dengan bidang dan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya Ruh Intelektualitas yang Maha Agung, Tuhan yang Maha Esa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memuja-Nya, sekaligus mengabdi kepada–Nya.(Manado Post, Mei 2013)