ISRA’ MI’RAJ: NATION CHARACTER BUILDING
Perjalanan Nabi Muhammad Saw.
dari Makkah ke Bayt al-Maqdis,
kemudian naik ke Sidrat al-Muntaha,
bahkan melampuinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu yang sangat singkat,
merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Qur'an disodorkan oleh Tuhan kepada
umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘Ilm dan Qudrat Tuhan
meliputi dan menjangkau segalanya tanpa terbatas ruang dan waktu.
Terlepas dari pro dan kontra
kejadian luar biasa tersebut karena tidak sesuai dengan hukum-hukum alam,
bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika, sebagai insan
beriman pandekatan yang paling tepat dan sederhana (tidak memerlukan
teori-teori kajian ilmiah yang empiris dan rasional) untuk dapat memahaminya
adalah cukup dengan pendekatan “Imaniy”
sebagaimana yang ditempuh oleh sahabat nabi Abu Bakar al-Shiddiq, dalam
ucapannya: ”Apabila Muhammad yang memberitakannya, pastilah benar adanya”. Jika
keilmiahan yang dituntut, maka al-Qur'anlah yang harus menjadi referensi utama, melalui pengamatan terhadap
sistematika dan uraian Al-Qur'an tentang peristiwa Isra’ Mi’raj.
Secara sederhana, dapat disistematikakan
bahwa para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu apapun menyatakan bahwa segala
sesuatu pasti memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Sebagai
pakar al-Qur'an, Imam al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam
al-Qur'an adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya. Sedangkan inti
uraian satu surat difahami dari nama surat tersebut. Dengan demikian, maka
pengantar uraian peristiwa Isra’ Mi’raj adalah surat yang dinamai Tuhan dengan
sebutan al-Nahl, yang berarti “lebah”.
Pertanyaan yang kemudian
muncul adalah mengapa surat Al-Isra’ didahului oleh al-Nahl, mengapa lebah yang
mengantarkannya? lebah dipilih oleh Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya,
agar menjadi pengantar keajaiban pembuat-Nya dalam peristiwa Isra’ Mi’raj.
Lebah juga dipilih untuk menjadi pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia
seutuhnya, yaitu “Manusia Mukmin” yang menurut Nabi Muhammad Saw. adalah
bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah (kembang) dan tidak
menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna (madu).
Dari segi lain, dalam surat
Al-Isra’ dan an-Nahl (Q.S. An-Nahl Ayat: 8, 74, dan Q.S. Al-Isra' : 85)
berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap
yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut, diantaranya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak dapat menembus bumi dan tidak akan sampai setinggi gunung”. (QS.
Al-Isra’ : 36-37)
Pertanyaan yang lebih penting
lagi adalah mengapa peristiwa Isra’ Mi’raj mesti terjadi dalam sejarah
perjalanan Nabi? Jawabnya adalah al-Qur'an menekankan betapa pentingnya
pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta
konsolidasinya. Klimaksnya tergambar pada pribadi hamba Allah yang di Isra’
Mi’rajkan ini, yaitu Nabi Muhammad Saw, serta nilai-nilai yang diterapkannya
dalam masyarakat beliau. Begitu banyak petunjuk yang ditemukan dalam surat
al-Isra’ untuk membina diri dan membangun masyarakat dan bangsa ini (Nation Character Building), diantaranya:
Pertama, ditemukan petunjuk untuk
melakukan salat lima waktu, dan juga salat sunnah malam. (Q.S. al-Isra’/17 : 78
dan 79). “Salat” ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra’ dan
Mi’raj yang pada hakekatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia
seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia untuk mengejawantahkan diri
ketika berhubungan dengan Khaliqnya, Allah Swt. Salat juga dibutuhkan oleh
manusia, karena salat dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar
pembangunan, terutama pembangunan diri dan kepribadian. Sehingga merupakan
tanda bagi kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang
menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat ia didesak oleh kebutuhannya.
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang
ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra’ dan
Mi’raj, adalah membangun manusia seutuhnya menuju masyarakat adil dan makmur. (Q.S.
al-Isra/17: 16).
Ketiga, Petunjuk hidup untuk bersikap
“adil” dalam kesederhanaan dan larangan berfaham individualisme, materialisme,
konsumerisme, dan membangun budaya “hedonisme” kembali mendapatkan penekanan
dalam beberapa ayat berikutnya. (Q.S. Al-Isra/17: 26-27)
Ketiga, Mengambil jalan tengah dalam
setiap sikap hidup dan kehidupan, merupakan cermin kehendak Tuhan yang
menekankan betapa pentingnya “Persatuan masyarakat seluruhnya”. Dengan
demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas hidup sebaik-baiknya,
sesuai dengan bidang dan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama,
keyakinan, dan keimanan orang lain. Semoga kita mampu menangkap gejala dan
menyuarakan keyakinan tentang adanya Ruh Intelektualitas yang Maha Agung, Tuhan
yang Maha Esa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat
manusia untuk memuja-Nya, sekaligus mengabdi kepada–Nya.(Manado Post, Mei 2013)