Mengapa kamu tidak mau memakan
(binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya,
padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan
sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang
lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah
yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.
(Q.S. al-An’am/6:119)
Urgensi Makanan
Halal
Setiap muslim berkewajiban untuk memperhatikan masalah
makanannya, agar setiap sesuatu yang masuk kedalam rongga mulutnya adalah suatu
yang halal. Kehalalan makanan dalam kehidupan seorang muslim adalah perkara
yang sangat penting, karena akan berimplikasi kepada hal-hal yang lain dalam
tatanan kehidupannya, seperti ibadahnya, prilakunya, sampai masalah kehidupan
keluarganya.
Pada dasarnya setiap makanan dan minuman adalah
halal, tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang telah ditentukan keharamannya
oleh Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Perkara yang haram merupakan suatu yang
sedikit dan bisa dihitung, misalnya firman Allah Swt. dalam Q.S. al-An’am/6:119.
Sebaliknya yang halal itu sangat banyak dan tidak terhitung. Allah Swt. menegaskan
dalam banyak ayat misalnya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 128 dan 172, Q.S. al-A’raf/7:32.
Demikian pula beberapa riwayat yang menjelaskan
betapa pentingnya makanan halal, misalnya suatu ketika Rasulullah saw
bercerita tentang seorang yang melakukan perjalan yang panjang sehingga
rambutnya kusut dan pakaiannya lusuh dan berdoa kepada Allah seraya mengangkat
tangannya kelangit dan berkata; Ya Rab, Ya Rab, tapi makanannya haram, pakaiannya
haram, minumannya haram, dan mengkonsumsi makanan-makanan yang haram, bagaimana
doanya bisa di kabulkan? (HR.Imam Muslim).
Dalam hadits tersebut Rasulullah Saw. menjelaskan
kondisi seseorang yang bepergian dalam kondisi kusut masai dan mengangkat kedua
tangannya merendahkan diri untuk meminta kepada Allah agar doanya dikabulkan. Namun, Allah menolak doanya
karena makanan, pakaian, dan minumannya haram. Yusuf bin Asbath, seorang ulama
besar berkata, "Telah sampai kepada kami bahwa doa seorang hamba ditahan naik ke langit
lantaran buruknya makanan (makanannya tidak halal)". Demikian juga sahabat Sa'ad bin Abi Waqqash
yang terkenal memiliki doa mustajab, ketika
ditanya mengenai sebab doanya diterima beliau berkata, "Aku tidak
mengangkat sesuap makanan ke mulutku kecuali aku mengetahui dari mana datangnya
dan dari mana ia keluar".
Barangsiapa yang menginginkan jiwa yang bersih maka
harus diawali dengan mengkonsumsi makanan yang halal sejak kecil, hingga
tubuhnya tumbuh dari barang-barang yang bersih yang akan menghasilkan hati yang
lembut dan prilaku yang baik. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Nabi Musa as.
melewati seorang yang berdiri berdoa dengan penuh kerendahan dengan sangat
lama, Nabi Musa memperhatikan orang tersebut seraya berkata “Ya Rab, kenapa Engkau
tidak kabulkan doa orang ini? Kemudian Allah Swt. mewahyukan kepadanya: Wahai
Musa, sesungguhnya apabila dia menangis sampai dia meninggal dan mengangkat
tangannya hingga menjulang kelangit aku tidak akan terima doanya, kemudian Musa
bertanya: Apa sebabnya ya Allah? Kemudian Allah menjawab: Karena apa yang di
dalam perutnya haram, apa yang dipakai haram dan apa yang ada dirumahnya
haram.”
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya
Allah Swt. itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah
memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para Rasul dalam firman-Nya, 'Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' (QS. al-Mu'minun/23: 51).
Dalam ayat lain Allah juga menegaskan, "Hai orang-orang yang beriman,
makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu. (QS. Al
Baqarah: 172).
Kriteria Makanan Halal
Sesungguhnya, makanan atau pangan yang halal
dimakan adalah makanan yang halaalan,
thayyiban ditambah mubaarakan dan tidak terdiri dari najis
atau bercampur najis. Makanan halal tidak saja yang sudah tersaji di meja dan
siap disantap namun lebih dari itu setidaknya ada lima hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan halalnya suatu makanan yaitu:
Pertama, halal
zatnya. Dari sisi kehalalan zatnya, makanan yang dikonsumsikan manusia terbagi
tiga jenis, yaitu nabati, hayawani dan jenis olahan. Nabati, terdiri dari
tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Semua tumbuh-tumbuhan pada
dasarnya boleh dikonsumsi, kecuali yang mendatangkan bahaya atau bernajis atau
memabukkan baik secara langsung ataupun setelah melalui proses. Demikian juga
dengan buah-buahan, bila mengandung racun, memabukkan ataupun membahayakan,
hukum mengkonsumsinya adalah haram.
Hayawani, dilihat dari tempat hidupnya (habitat)
biasanya ahli Zoologi membagi binatang kepada tiga jenis, yaitu binatang darat
(barry) dan binatang laut (bahry) dan binatang yang hidup di dua tempat
(Barmaaiy). Semua binatang Barry halal zatnya untuk dikonsumsi, kecuali Babi
dan Anjing, Bangkai kecuali ikan dan belalang, Binatang yang bertaring/gading,
seperti gajah, harimau dan sebagainya. Binatang yang mempunyai kuku/cakar,
menangkap dan makan dengan menggunakan kuku/cakarnya, seperti burung hantu, elang
dan sebagainya. Binatang yang menjijikkan seperti kutu, lalat, ulat, biawak dan
sebagainya. Binatang yang disuruh untuk membunuhnya, sepetti ular, burung
gagak, tikus, anjing galak dan burung elang (lima macam). Binatang yang
dilarang agama membunuhnya seperti semut, lebah, burung hud-hud, burung pelatuk
dan sebagainya. Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup. Binatang
yang beracun dan mudharat bila dimakan. Juga segala bentuk najis seperti
bangkai, darah, khamar dan jenis-jenisnya, nanah dan semua yang keluar dari
qubul dan dubur adalah zatnya haram, maka tidak boleh dimakan.
Semua binatang Bahry halal zatnya kecuali yang
menyerupai binatang darat yang haram dimakan, seperti anjing laut, babi laut
dst.
Semua binatang Barmaaiy (Amphibia) tidak halal
zatnya untuk dimakan seperti seperti buaya, penyu, kura-kura, meskipun telur
penyu menurut jumhur ulama zatnya adalah halal untuk dimakan.
Kedua, halal cara
memperolehnya. Makanan yang halal zatnya untuk dapat dikonsumsikan, haruslah
diperoleh secara halal pula. Karena meskipun makanan itu sudah halal zatnya,
tapi kalau cara memperoleh haram, maka mengkonsumsi makanan tersebut menjadi
haram juga. Misalnya nasi yang secara ijma’ ulama menyatakan halal untuk
dimakan (halal zatnya), tapi kalau nasi itu hasil curian, artinya cara
memperoleh nasi itu adalah haram maka hukum mengkonsumsinya menjadi haram juga.
Ketiga, halal cara
memprosesnya. Sebagaimana dimaklumi, binatang yang halal dimakan tidak dapat
dimakan secara serta merta, tapi harus melalui proses penyembelihan, pengulitan
dan sebagainya. Proses-proses ini harus halal pula:
1)
Penyembelihan, kecuali Ikan dan Belalang. Semua binatang yang halal dimakan
harus disembelih. Untuk penyembelihan diperlukan sejumlah syarat, yaitu disembelih oleh orang Islam, baligh,
berakal dan mengetahui syarat-syarat penyembelihan. Binatang yang akan
disembelih haruslah binatang yang halal zatnya. Binatang tersebut harus
benar-benar masih hidup sebelum disembelih. Waktu disembelih, binatangnya
dihadapkan ke kiblat. Alat penyembelihannya harus tajam dan tidak terdiri dari
tulang, kuku atau gigi. Pada waktu penyembelihan, penyembelihnya harus membaca basmalah dan takbir.
Penyembelihannya dilakukan pada leher binatang dan harus memutuskan tenggorokan
(trachea) kerongkongan (oesophagus), pembuluh arteri dan vena
utama dibagian leher (Halqum dan Mari‘). kecuali dalam kedaan darurat, maka
dapat disembelih dimana saja di badannya, asal dapat mati karena luka itu.
Penyembelihan dilakukan dengan satu kali sembelih. Maksudnya, menaik-turunkan
mata pisau pada leher binatang sembelihan sampai terputus urat-urat lehernya
seperti tersebut diatas, tapi mata pisau itu tidak pernah terlepas dari leher
binatang.
2)
Pembersihan dan pematangan. Binatang yang hendak dibersihkan binatang yang sudah
mati setelah disembelih. Alat-alat yang
digunakan dalam proses selanjutnya, seperti pisau untuk menguliti, tempat
memotong, kuali, periuk dan sebagainya harus
suci, bersih dan halal. Air yang digunakan untuk membersihkan bahan
hendaklah air muthlaq, yang suci dan menyucikan. Tidak boleh mencampur-adukkan
dengan bahan-bahan atau ramuan yang tidak halal. Alat-alat memasak seperti belanga,
periuk, sendok dsb harus suci, bersih dan halal. Tempat membasuh segala
pekakas masakan dan hidangan hendaklah dipisahkan antara yang halal dengan yang
haram.
Keempat, halal pada
penyimpanannya. Semua bahan makanan yang disimpan hendaklah disimpan pada
tempat yang aman, seperti dalam lemari es, agar busuk dan tidak disimpan di
dalam tempat yang dapat bercampur dengan najis, seperti tuak, atau benda haram
lainnya. Dalam proses produksi tidak tercampur atau berdekatan atau menempel
dengan barang atau bahan yang haram seperti najis dan seterusnya.
Kelima, halal dalam
penyajiannya. Dalam mengedarkan dan menyajikan makanan penyajinya haruslah
bersih dari najis dan kotoran. Para supplier dan leveransir atau sales haruslah
orang yang sehat dan berpakaian bersih dan suci. Alat kemas atau bungkus atau
yang sejenisnya harus hygen, steril, bersih, suci dan halal. Perkakas atau alat hidangan seperti piring,
mangkok dan sebagainya haruslah suci, bersih dan halal.
Apabila semua ketentuan di atas telah terpenuhi
barulah pangan yang berasal dari tumbuhan dan hewan/ikan dapat dinyatakan halal
untuk dikonsumsikan oleh seseorang Islam. Kriteria kehalalan ini wajib
diketahui semua orang baik muslim maupun non muslim agar tidak ada ada lagi
kesan “terjebak” dalam sebuah momen “kebersamaan”, “toleransi” dan “saling
menghargai” karena ini merupakan persoalan prinsip yang tidak bisa
ditawar-tawar apapun alasannya. Misalnya, menu “Makanan Nasional” yang
disandingkan dengan “Makanan Khas” (baca: Babi) dalam sebuah resepsi. Seringkali
tidak ada penjelasan dan kejelasan tentang kehalalan makanan nasional tersebut.
Anggapan masyarakat, kalau makanan nasional berarti dijamin halal. Contoh lain
dalam sebuah acara bersama di kelas, sekolah, perusahaan, atau instansi, perusahaan
catering yang digunakan adalah catering umum atau non muslim yang penyajiannya
tidak ada jaminan kehalalan sesuai kriteria bagi umat Islam sebagaimana
penjelasan di atas, bahkan secara nyata perusahaan catering tersebut biasa
menyajikan “Makanan Khas”. Otomatis bukan saja menimbulkan keraguan bagi umat
Islam tapi jelas ketidak halalannya.
Solusinya, serahkan semua urusan makanan dalam sebuah
acara “makan bersama” kepada orang Islam agar tidak ada keraguan dalam
kehalalan makanan dan momen kebersamaan akan semakin bermakna, tidak menambah
kesenjangan apalagi hanya persoalan makanan. Setidaknya, apa yang akan
dikonsumsi oleh orang Islam disediakan sendiri oleh mereka, baik makanan, perlengkapan
makan dan lain-lain. Wallahu a’lamu
bissawwaab…(by: Kak Ippy-Dari berbagai sumber).