Minggu, 28 Oktober 2012

MAKANAN NASIONAL ≠ MAKANAN HALAL


Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.
(Q.S. al-An’am/6:119)
Urgensi Makanan Halal
Setiap muslim berkewajiban untuk memperhatikan masalah makanannya, agar setiap sesuatu yang masuk kedalam rongga mulutnya adalah suatu yang halal. Kehalalan makanan dalam kehidupan seorang muslim adalah perkara yang sangat penting, karena akan berimplikasi kepada hal-hal yang lain dalam tatanan kehidupannya, seperti ibadahnya, prilakunya, sampai masalah kehidupan keluarganya.
Pada dasarnya setiap makanan dan minuman adalah halal, tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang telah ditentukan keharamannya oleh Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Perkara yang haram merupakan suatu yang sedikit dan bisa dihitung, misalnya firman Allah Swt. dalam Q.S. al-An’am/6:119. Sebaliknya yang halal itu sangat banyak dan tidak terhitung. Allah Swt. menegaskan dalam banyak ayat misalnya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 128 dan 172, Q.S. al-A’raf/7:32.
Demikian pula beberapa riwayat yang menjelaskan betapa pentingnya makanan halal, misalnya suatu ketika Rasulullah saw bercerita tentang seorang yang melakukan perjalan yang panjang sehingga rambutnya kusut dan pakaiannya lusuh dan berdoa kepada Allah seraya mengangkat tangannya kelangit dan berkata; Ya Rab, Ya Rab, tapi makanannya haram, pakaiannya haram, minumannya haram, dan mengkonsumsi makanan-makanan yang haram, bagaimana doanya bisa di kabulkan? (HR.Imam Muslim).
Dalam hadits tersebut Rasulullah Saw. menjelaskan kondisi seseorang yang bepergian dalam kondisi kusut masai dan mengangkat kedua tangannya merendahkan diri untuk meminta kepada Allah agar doanya  dikabulkan. Namun, Allah menolak doanya karena makanan, pakaian, dan minumannya haram. Yusuf bin Asbath, seorang ulama besar berkata, "Telah sampai kepada kami bahwa  doa seorang hamba ditahan naik ke langit lantaran buruknya makanan (makanannya tidak halal)".  Demikian juga sahabat Sa'ad bin Abi Waqqash yang terkenal memiliki doa mustajab, ketika  ditanya mengenai sebab doanya diterima beliau berkata, "Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku kecuali aku mengetahui dari mana datangnya dan dari mana ia keluar".
Barangsiapa yang menginginkan jiwa yang bersih maka harus diawali dengan mengkonsumsi makanan yang halal sejak kecil, hingga tubuhnya tumbuh dari barang-barang yang bersih yang akan menghasilkan hati yang lembut dan prilaku yang baik. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Nabi Musa as. melewati seorang yang berdiri berdoa dengan penuh kerendahan dengan sangat lama, Nabi Musa memperhatikan orang tersebut seraya berkata “Ya Rab, kenapa Engkau tidak kabulkan doa orang ini? Kemudian Allah Swt. mewahyukan kepadanya: Wahai Musa, sesungguhnya apabila dia menangis sampai dia meninggal dan mengangkat tangannya hingga menjulang kelangit aku tidak akan terima doanya, kemudian Musa bertanya: Apa sebabnya ya Allah? Kemudian Allah menjawab: Karena apa yang di dalam perutnya haram, apa yang dipakai haram dan apa yang ada dirumahnya haram.”
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Swt. itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang  diperintahkannya kepada  para Rasul dalam firman-Nya, 'Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' (QS. al-Mu'minun/23: 51). Dalam ayat lain Allah juga menegaskan, "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu. (QS. Al Baqarah: 172).

Kriteria Makanan Halal
Sesungguhnya, makanan atau pangan yang halal dimakan adalah makanan yang halaalan, thayyiban ditambah mubaarakan dan tidak terdiri dari najis atau bercampur najis. Makanan halal tidak saja yang sudah tersaji di meja dan siap disantap namun lebih dari itu setidaknya ada lima hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan halalnya suatu makanan yaitu:
Pertama, halal zatnya. Dari sisi kehalalan zatnya, makanan yang dikonsumsikan manusia terbagi tiga jenis, yaitu nabati, hayawani dan jenis olahan. Nabati, terdiri dari tumbuh-tumbuhan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Semua tumbuh-tumbuhan pada dasarnya boleh dikonsumsi, kecuali yang mendatangkan bahaya atau bernajis atau memabukkan baik secara langsung ataupun setelah melalui proses. Demikian juga dengan buah-buahan, bila mengandung racun, memabukkan ataupun membahayakan, hukum mengkonsumsinya adalah haram.
Hayawani, dilihat dari tempat hidupnya (habitat) biasanya ahli Zoologi membagi binatang kepada tiga jenis, yaitu binatang darat (barry) dan binatang laut (bahry) dan binatang yang hidup di dua tempat (Barmaaiy). Semua binatang Barry halal zatnya untuk dikonsumsi, kecuali Babi dan Anjing, Bangkai kecuali ikan dan belalang, Binatang yang bertaring/gading, seperti gajah, harimau dan sebagainya. Binatang yang mempunyai kuku/cakar, menangkap dan makan dengan menggunakan kuku/cakarnya, seperti burung hantu, elang dan sebagainya. Binatang yang menjijikkan seperti kutu, lalat, ulat, biawak dan sebagainya. Binatang yang disuruh untuk membunuhnya, sepetti ular, burung gagak, tikus, anjing galak dan burung elang (lima macam). Binatang yang dilarang agama membunuhnya seperti semut, lebah, burung hud-hud, burung pelatuk dan sebagainya. Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup. Binatang yang beracun dan mudharat bila dimakan. Juga segala bentuk najis seperti bangkai, darah, khamar dan jenis-jenisnya, nanah dan semua yang keluar dari qubul dan dubur adalah zatnya haram, maka tidak boleh dimakan.
Semua binatang Bahry halal zatnya kecuali yang menyerupai binatang darat yang haram dimakan, seperti anjing laut, babi laut dst.
Semua binatang Barmaaiy (Amphibia) tidak halal zatnya untuk dimakan seperti seperti buaya, penyu, kura-kura, meskipun telur penyu menurut jumhur ulama zatnya adalah halal untuk dimakan.
Kedua, halal cara memperolehnya. Makanan yang halal zatnya untuk dapat dikonsumsikan, haruslah diperoleh secara halal pula. Karena meskipun makanan itu sudah halal zatnya, tapi kalau cara memperoleh haram, maka mengkonsumsi makanan tersebut menjadi haram juga. Misalnya nasi yang secara ijma’ ulama menyatakan halal untuk dimakan (halal zatnya), tapi kalau nasi itu hasil curian, artinya cara memperoleh nasi itu adalah haram maka hukum mengkonsumsinya menjadi haram juga.
Ketiga, halal cara memprosesnya. Sebagaimana dimaklumi, binatang yang halal dimakan tidak dapat dimakan secara serta merta, tapi harus melalui proses penyembelihan, pengulitan dan sebagainya. Proses-proses ini harus halal pula:
1) Penyembelihan, kecuali Ikan dan Belalang. Semua binatang yang halal dimakan harus disembelih. Untuk penyembelihan diperlukan sejumlah syarat, yaitu disembelih oleh orang Islam, baligh, berakal dan mengetahui syarat-syarat penyembelihan. Binatang yang akan disembelih haruslah binatang yang halal zatnya. Binatang tersebut harus benar-benar masih hidup sebelum disembelih. Waktu disembelih, binatangnya dihadapkan ke kiblat. Alat penyembelihannya harus tajam dan tidak terdiri dari tulang, kuku atau gigi. Pada waktu penyembelihan, penyembelihnya harus membaca basmalah dan takbir. Penyembelihannya dilakukan pada leher binatang dan harus memutuskan tenggorokan (trachea) kerongkongan (oesophagus), pembuluh arteri dan vena utama dibagian leher (Halqum dan Mari‘). kecuali dalam kedaan darurat, maka dapat disembelih dimana saja di badannya, asal dapat mati karena luka itu. Penyembelihan dilakukan dengan satu kali sembelih. Maksudnya, menaik-turunkan mata pisau pada leher binatang sembelihan sampai terputus urat-urat lehernya seperti tersebut diatas, tapi mata pisau itu tidak pernah terlepas dari leher binatang.
2) Pembersihan dan pematangan. Binatang yang hendak dibersihkan binatang yang sudah mati setelah disembelih. Alat-alat yang digunakan dalam proses selanjutnya, seperti pisau untuk menguliti, tempat memotong, kuali, periuk dan sebagainya harus suci, bersih dan halal. Air yang digunakan untuk membersihkan bahan hendaklah air muthlaq, yang suci dan menyucikan. Tidak boleh mencampur-adukkan dengan bahan-bahan atau ramuan yang tidak halal. Alat-alat memasak seperti belanga, periuk, sendok dsb harus suci, bersih dan halal. Tempat membasuh segala pekakas masakan dan hidangan hendaklah dipisahkan antara yang halal dengan yang haram.
Keempat, halal pada penyimpanannya. Semua bahan makanan yang disimpan hendaklah disimpan pada tempat yang aman, seperti dalam lemari es, agar busuk dan tidak disimpan di dalam tempat yang dapat bercampur dengan najis, seperti tuak, atau benda haram lainnya. Dalam proses produksi tidak tercampur atau berdekatan atau menempel dengan barang atau bahan yang haram seperti najis dan seterusnya.
Kelima, halal dalam penyajiannya. Dalam mengedarkan dan menyajikan makanan penyajinya haruslah bersih dari najis dan kotoran. Para supplier dan leveransir atau sales haruslah orang yang sehat dan berpakaian bersih dan suci. Alat kemas atau bungkus atau yang sejenisnya harus hygen, steril, bersih, suci dan halal. Perkakas atau alat hidangan seperti piring, mangkok dan sebagainya haruslah suci, bersih dan halal.
Apabila semua ketentuan di atas telah terpenuhi barulah pangan yang berasal dari tumbuhan dan hewan/ikan dapat dinyatakan halal untuk dikonsumsikan oleh seseorang Islam. Kriteria kehalalan ini wajib diketahui semua orang baik muslim maupun non muslim agar tidak ada ada lagi kesan “terjebak” dalam sebuah momen “kebersamaan”, “toleransi” dan “saling menghargai” karena ini merupakan persoalan prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar apapun alasannya. Misalnya, menu “Makanan Nasional” yang disandingkan dengan “Makanan Khas” (baca: Babi) dalam sebuah resepsi. Seringkali tidak ada penjelasan dan kejelasan tentang kehalalan makanan nasional tersebut. Anggapan masyarakat, kalau makanan nasional berarti dijamin halal. Contoh lain dalam sebuah acara bersama di kelas, sekolah, perusahaan, atau instansi, perusahaan catering yang digunakan adalah catering umum atau non muslim yang penyajiannya tidak ada jaminan kehalalan sesuai kriteria bagi umat Islam sebagaimana penjelasan di atas, bahkan secara nyata perusahaan catering tersebut biasa menyajikan “Makanan Khas”. Otomatis bukan saja menimbulkan keraguan bagi umat Islam tapi jelas ketidak halalannya.
Solusinya, serahkan semua urusan makanan dalam sebuah acara “makan bersama” kepada orang Islam agar tidak ada keraguan dalam kehalalan makanan dan momen kebersamaan akan semakin bermakna, tidak menambah kesenjangan apalagi hanya persoalan makanan. Setidaknya, apa yang akan dikonsumsi oleh orang Islam disediakan sendiri oleh mereka, baik makanan, perlengkapan makan dan lain-lain. Wallahu a’lamu bissawwaab…(by: Kak Ippy-Dari berbagai sumber).

Senin, 22 Oktober 2012

MAKNA SIMBOLIK IBADAH QURBAN


Dari perjalanan sejarah bisa dilihat bahwa tradisi qurban pra Islam oleh masyarakat Arab dilakukan sebagai penangkal bahaya agar tuhan mereka tidak marah, yaitu dengan cara menyiramkan darah binatang yang disembelih ke dinding ka’bah kemudian dagingnya dilemparkan ke depan pintunya. Mereka berasumsi bahwa tuhan menghendaki hal itu dan haus akan darah dan dagingnya. Bahkan tradisi dizaman jahiliah membawa dampak psikologis yang merugikan diri mereka sendiri seperti pengorbanan dengan obyek anak manusia.
Islam datang merubah tradisi jahiliah yang keliru dengan syariat berqurban yang tinggi dan penuh makna. Hewan qurban tidak diletakkan atau dilemparkan pada tempat tertentu tetapi daging hewan qurban itu dibagikan kepada manusia untuk dimanfaatkan sebaik mungkin. Inilah realisasi kepatuhan kepada Allah dan solidaritas sosial kepada sesama manusia. 
Ibadah qurban bermula ketika Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk menyembelih (mengorbankan) putranya, Ismail. Sebuah ujian yang berat bagi Ibrahim karena Ismail lebih dari sekedar seorang putra idaman hati dan pelipur lara. Inilah jihad akbar, jihad melawan hawa nafsu dan kemauan serta egoisme diri yang lebih sering menguasai manusia baik individu maupun kelompok.  Maka kesabaran, ketawakkalan dan ketaatan Nabi Ibrahim selanjutnya mendapatkan balasan dari Allah Yang Maha Rahman sebagaimana diabadikan dalam Alquran. (QS. As Shaffat : 102-109)
Qurban adalah simbol bagi manusia untuk taqarrub ilallah, atau mendekatkan diri kepada Allah bahkan menjadi sarana untuk taqarrub ilannaas, saling akrab dengan sesama manusia. Wujud qurban adalah hewan yang secara simbolik dipersembahkan pada Tuhan, namun bentuk solidaritas sosial itu diniatkan untuk mencari ridha Allah swt dengan penuh keikhlasan, bukan untuk dipuji, disanjung atau diagungkan orang lain sebagaimana tertulis dalam Alquran (QS. Al Hajj : 37) : ”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
 Secara psikologis, hewan yang dikurbankan melambangkan sifat kehewanan yang melekat ketat pada diri manusia, seperti kecenderungan memperturutkan hawa nafsu, rakus dan serakah, main seruduk, menghalalkan segala cara, mengikuti akal sesat, berjiwa penyamun dan prilaku buruk lainnya. Sifat-sifat itu perlu dibuang dengan tebusan penyembelihan hewan sebagai upaya memenuhi perintah Allah.
Darah yang mengalir dari hewan kurban menjadikan setiap muslim sadar bahwa hewan saja rela untuk mati demi mengikuti kemauan manusia yang menguasainya. Maka wajarlah jika setiap muslim berkurban di jalan Allah yang kekuasaanNya atas manusia jauh lebih besar dibandingkan kekuasaan manusia atas hewan.
Pendistribusian daging qurban kepada yang berhak itu juga mengandung implikasi makna sebagai terapi psikologis atas kesenjangan sosial, antara yang kaya dan yang miskin. Ibadah qurban juga menjadi wahana penghubung yang dilandasi pada rasa kemanusiaan, sehingga menimbulkan kasih sayang  antar sesama. Inilah ibadah yang mencerminkan pesan Islam, dimana manusia dapat dekat dengan Tuhannya jika ia mendekati saudara-saudaranya yang berkekurangan.:) (Manado Post, Rabu, 03 Desember 2008)