I.
PENDAHULUAN
Dalam
sejarah Islam Indonesia, pesantren memiliki peranan besar dalam membangun
masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Keberadaan pesantren,
madrasah dan sekolah Islam di Indonesia sering mendapat pujian, apalagi dari
masyarakat muslim sendiri. Pada saat yang sama, ketiga lembaga ini sering pula
mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat”
kemajuan Islam. Bahkan eksistensi pesantren “dituding” sebagai –maaf- “sarang
teroris”. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung
telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan.
Pandangan positif akan menempatkan
kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu
sendiri.
Dalam
membahas persoalan pesantren sebagai pelaksana atau pengemban teori
pembelajaran, diperlukan pendekatan historis untuk melihat sejauhmana
implementasinya dan penyempurnaan teori selanjutnya. Tulisan ini mencoba
mengulas bagaimana perkembangan pesantren sebagai pengemban teori pembelajaran
dengan pendekatan historis.
II.
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Historis Pesantren
Secara
terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi
bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di
Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan
pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem
tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya
istilah mengaji, langgar di Jawa atau surau di Minangkabau, rangkang
di Aceh bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India. (Steenbrink,1994)
Merujuk
pada pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pesantren berasal dari kata
“santri” yang berarti madrasah dan asrama tempat mengaji, belajar agama Islam.(Depdikbud,
1995) Sedangkan makna “santri’ itu sendiri ada beberapa pandangan. Zamakhsyari
Dhofier misalnya, sebagaimana pandangan
John menyebutkan bahwa “santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti
“guru mengaji”. Berg –dalam buku yang sama- berpendapat bahwa “santri” berasal
dari kata “shastri” dalam bahasa India yang berarti orang yang tahu
buku-buku suci agama Hindu, orang sarjana, ahli kitab suci agama Hindu.(Dhofier,
1984) Dalam Ensiklopedi Islam juga dijelaskan bahwa santri berarti orang yang
belajar agama Islam, sehingga pesantren diartikan sebagai tempat orang
berkumpul untuk belajar agama Islam.(Poerbakawatja, 1976) Menurut Nurcholis
Madjid, kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang
yang selalu mengikuti seorang guru kemana pergi.(Madjid, 1997) Namun bahasa
Jawa juga tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Hindu dan Budha dalam
pembentukannya.
Menurut Haidar,
sebelum kedatangan Islam, telah ada lembaga pendidikan Jawa Kuno yang disebut pawiyatan.
Di lembaga itu tinggal Ki Ajar dengan cantrik. Ki Ajar orang yang mengajar dan
cantrik orang yang diajar. Kedua
kelompok ini tinggal di satu kompleks dan di sini terjadi proses belajar
mengajar.(Daulay, 1997) Haidar tidak menjelaskan lebih rinci tentang metode dan
materi yang digunakan oleh lembaga pawiyatan tersebut, sehingga sulit
untuk mengasumsikan apakah lembaga itu juga yang dimasudkan Sumarsono Mestoko
sebagai lembaga pendidikan Hindu yang dikembangkan oleh pesantren.
Syukri
Zarkasyi menguraikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan
sistem asrama dan di dalamnya ada yang bertindak sebagai pendidik dan sentral
figurnya yaitu kyai, ajengan atau tuan guru, juga ada santri, asrama, ruang
belajar, dan masjid sebagai sentralnya.(Zarkasyi, 1990). Seperti pandangan
Zamakhsyari Dhofier, penulis cenderung setuju dengan pengertian ini karena
mencakup semua unsur yang ada di pesantren umumnya. Pondok, masjid, santri,
kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat
menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren.
Terlepas
dari berbagai polemik tentang keaslian asal usul pesantren –dari India atau
asli Indonesia- dengan berbagai argumentasinya, yang jelas bahwa pengembangan
sistem pesantren setelah kedatangan Islam dengan ciri khas padepokan dalam
masyarakat Hindu tersebut mampu bertahan. Hal ini karena sistem tersebut sudah
melembaga di masyarakat dan memiliki tokoh sentral dengan daya tarik pribadi
seperti ilmu yang mendalam, sifat mulia, bijaksana, luhur, taqwa, saleh, dan
semua sifat baik.(Mestoko, 1995). Bagi penulis, pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam setidaknya lahir dengan mengakomodir sistem yang telah ada di
masyarakat. Meskipun menggunakan sistem yang mirip dengan padepokan agama Hindu
atau pawiyatan Jawa Kuno, namun substansi materi dan rutinitas aktifitas
di dalamnya jelas berbeda. Alasan lainnya bahwa sistem pendidikan pesantren
juga terdapat dalam dunia Islam meskipun dengan bentuk yang agak berbeda.
B. Sistem Pembelajaran Pesantren
Tujuan
pendidikan pesantren tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu
untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya
dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat.(Azra,
2002)
Dasar
pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama tentu saja
adalah Al-Qur’an dan Hadis. Tujuan-tujuan yang lebih terinci dirumuskan melalui
materi, metode dan sistem evaluasi yang menekankan pada aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik.
Kyai
sebagai pendidik di pesantren menjadi figur sentral yang dipatuhi dan ditiru
oleh para santrinya. Kekuatan Kyai berakar pada
kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial yang
diinginkan.(Tafsir, 1994). Besar kecilnya atau dalam dangkalnya bahan studi
yang diberikan di pesantren tergantung kyai bersangkutan. Luas dan sempitnya
bahan studi juga tidak sama. Lama belajar pun demikian halnya. Ada yang belajar
selama satu tahun, ada yang mencapai sepuluh tahun atau lebih.
Sosok kyai pengasuh pesantren juga sekaligus sebagai
"kurikulum" dari pesantrennya. Artinya seluruh program akademik
sebuah pesantren yang pada umumnya berupa pengkajian kitab klasik, ditentukan
oleh klasifikasi keilmuan dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fiqh, maka
kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab fiqh, jika kyainya ahli ilmu tasawuf
maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-kitab tasawuf, begitu seterusnya.
Prinsip ini sebenarnya sangat modern, seperti yang berlaku di
universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa pembukaan suatu program
studi tergantung ada tidaknya Guru Besar dari cabang keilmuan tersebut.
Kyai memang tidak didasarkan pada jenjang pendidikan secara
ketat dan khusus. Menurut Muhammad Tholhah Hasan, ada 3 syarat kyai, yaitu
memiliki keilmuan agama yang cukup luas di atas ukuran rata-rata masyarakatnya,
memiliki integritas moral sehingga menjadi panutan masyarakatnya, dan mendapat
pengakuan yang kuat dari masyarakatnya (Hasan,
2003).
Di
pesantren, pelajaran utama yang diberikan adalah dogma keagamaan yaitu dasar
kepercayaan dan keyakinan Islam (Gunawan, 1995). Di sini juga diajarkan Al-Qur’an
dan Hadis, fiqh serta tasawuf. Agar dapat menguasainya maka diajarkan pula
bahasa Arab dari semua segi (gramatika, morfologi, fonetika dan sintaksis).
Literatur ilmu-ilmu tersebut menggunakan kitab klasik atau yang biasa dikenal
dengan kitab kuning. Model-model pembelajaran di pesantren (salafiyah) bersifat
non klasikal seperti wetonan dan sorogan. Wetonan, (proses
belajar kolektif) yaitu kyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dengan
santrinya membawa kitab yang sama, lalu
santri menyimak bacaan kyai. Sorogan, (proses belajar individual) yaitu
santri mengajukan suatu kitab kepada kyai untuk dibaca di hadapannya, kesalahan
bacaan langsung dibetulkan kyai (Mujib,
2006).
Pencarian,
penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan di pesantren sangat menekankan
pada nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini, kejujuran, sikap tawadhu,
menghormati sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting
yang perlu diperpegangi setiap pencari ilmu.
Tipologi pesantren dapat dibagi menjadi empat kelompok.
Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu,
disebut salafi. Kedua, Pesantren yang memadukan sistem lama dengan
sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren "modern". Ketiga
Pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya
diasramakan 24 jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu
agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan
kehidupan sehari-hari di asrama. Bahkan, Muhmidayeli membaginya dalam 5 Pola
Pesantren yaitu:
1) Pola Pesantren A dengan materi kitab-kitab klasik dan metode sorogan,
bandongan (wetonan) dan hafalan dengan penekanan pada aspek moral.
2) Pola Pesantren B seperti pola A dengan sistem sorogan dan pengangkatan
asisten dari santri senior untuk membantu kyai.
3) Pola Pesantren C yang memasukkan
beberapa sumber pengajaran seperti madrasah sebagai upaya sistematisasi sistem
pengajaran ilmu-ilmu agama.
4) Pola Pesantren D, memberikan prioritas terhadap ketrampilan yang terkadang
pesantren menjadi pilot project suatu kegiatan industri.
5) Pola Pesantren E mencakup sektor pendidikan keislaman klasik,
menyelenggarakan sekolah baik umum mapun agama dengan sistem pengajaran
beragam.(Muhmidayeli, 2007)
Pada umumnya pesantren telah menggunakan sistem klasikal
dengan mengadopsi madrasah sekaligus sebagai bagian integral dalam sistem
pendidikan dan proses pembelajarannya, bahkan tidak sedikit pesantren yang
telah membuka sekolah seperti SD, SMP, SMA.
Ciri yang masih tetap dipertahankan di pesantren adalah
pengajian kitab kuning oleh pengasuh pondok pesantren yang dilakukan di masjid.
Satu hal yang menarik bahwa metode sorogan dan wetonan yang
digunakan bisa tetap dipertahankan asalkan tidak menyalahi prinsip pengembangan
ilmu pengetahuan seperti interpretasi yang tidak up to date lagi untuk
diterapkan dalam konteks kekinian.
III. PENUTUP
Mengakhiri tulisan sederhana
ini, penulis mencoba menyimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan
yang lahir dari sistem pendidikan masyarakat Indonesia dengan sistem
pembelajaran sorogan dan wetonan yang kemudian berkembang dengan
sistem klasikal.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,
2002.
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi
tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.
Gunawan, Ary H., Kebijakan-kebijakan Pendidikan,
Cet. II; Jajkarta: PT. Rineka Cipta, 1995.
Hasan, Muhammad Tholhah, Islam dan Masalah Sumber
Daya Manusia, Cet. II; Jakarta: Lantabora Press, 2003.
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah
Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Mestoko, Sumarsono, dkk., Pendidikan di Indonesia
dari Jaman ke Jaman, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Muhmidayeli, et.al., Membangun Paradigma Pendidikan
Islam, Cet. I; Pekanbaru: PPs UIN Suska Riau, 2007.
Mujib, Abd., Ilmu Pendidikan Islam, Cet I;
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan,
Jakarta: Gunung Agung, 1976.
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah;
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Cet. II; Jakarta: LP3ES, 1994.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Zarkasyi, Abdullah Syukri, Pondok Pesantren Sebagai
Alternatif Kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam Asia
Tenggara, Surakarta: Unismuh Surakarta, 1990.