Minggu, 20 Juli 2014

RAMADHAN YOUTH CAMP 2014 ROHIS SMA NEGERI 9 MANADO





Ramadhan datang dengan sejuta harapan dan memberikan sebuah pola pembelajaran yang baik bagi orang-orang yang beriman. Pribadi yang baik akan tampak manakala proses belajar melalui pembiasaan itu berlangsung secara kontinyu dan teratur. Kehadiran Ramadhan diantaranya membawa pola pembiasaan berakhlak al-karimah, terutama bagi para peserta didik.
Hal tersebut diungkapkan Pembina Rohis SMA Negeri 9 Manado, Supriadi S.Ag., M.Pd.I., dalam acara Penutupan Ramadhan Youth Camp 2013 yang berlangsung di Balai Diklat Keagamaan Manado kemarin. Kurikulum 2013 yang menekankan pada pembentukan karakter peserta didik perlu ditunjang dengan kegiatan-kegiatan seperti ini agar mereka lebih terlatih afektif dan psikomotornya, lanjut Supriadi yang juga Ketua Musyawarah Guru  Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA se-Kota Manado.
Kegiatan yang bertujuan memupuk ukhuwah dan meningkatkan nilai-nilai ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa tersebut berlangsung selama tiga hari sejak Jumat - Minggu, 18- 20 Juli 2014 dibuka secara resmi oleh Kepala Sekolah SMA Negeri 9 Manado yang diwakili oleh Pembina ROHIS Supriadi. Menurutnya, dengan kegiatan tersebut diharapkan mampu menambah pemahaman serta penanaman nilai-nilai Islam bagi peserta didik muslim di SMA Negeri 9 Manado, khususnya bagi kelas X yang baru saja bergabung. Pihak sekolah, lanjutnya merasa bangga bahwa kegiatan religius yang digagas oleh Rohis senantiasa mendapat apresiasi yang tinggi dari berbagai pihak. Ketika perubahan zaman dan arus global semakin deras, maka nilai-nilai religius diperlukan guna mengantisipasi dan membentengi generasi muda dari aneka pengaruh negatif. Pihaknya akan terus mendukung kegiatan-kegiatan yang bernuansa religius dan mengedepankan nilai-nilai karakter, lanjutnya. Hal ini terbukti mulai tahun ajaran 2014/2015, SMAN 9 Manado telah memiliki Mushalla (tempat salat) selain ruang Keimanan Agama Islam. 
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari tersebut merupakan ajang pengenalan Rohis bagi para peserta didik baru di SMA Negeri 9 Manado sekaligus penanaman nilai-nilai religious yang bukan saja menjadi sebuah ritualitas, tapi melatih spiritualitas peserta. Ketua Panitia Ayu Widya Ismail yang didampingi sekretaris panitia Reza Lufna menyatakan bahwa RYC 2014 juga menjadi upaya menjalin dan mempererat ukhuwah diantara peserta didik muslim yang baru di SMA Negeri 9 Manado, serta berupaya memantapkan amaliah-amaliah Ramadhan yang diharapkan akan terus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari terlebih lagi bagi 96 peserta. Rohis sebagai salah satu organisasi sub OSIS terbilang sangat aktif dalam melaksanakan berbagai kegiatan keislaman yang tentunya berdampak pada proses pembentukan religius culture di SMA Negeri 9 Manado.

Sabtu, 12 Juli 2014

MISTERI LAILATUL QADAR




 

"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) saat Lailatul Qadar (malam kemuliaan).
Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan.
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala uuusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. "
(Q.S. Al-Qadr: 1-5)
Malam Kemuliaan atau disebut juga Lailatul Qadar merupakan sebuah momen dalam bulan suci Ramadhan. Rujukan awal guna memahaminya tentu saja dengan membaca al-Qur’an, dalam hal ini  Q.S. al-Qadar ayat 1 – 5 seperti tercantum di atas.
Para ahli Tafsir seperti Ibnu Hajar al-Asqalani yang dikutip HAMKA dalam  tafsirnya Al-Azhar menjelaskan bahwa malam itu dinamakan Lailatul Qadar karena keagungan nilainya dan keutamaannya di sisi Allah swt. Juga, karena pada saat itu ditentukan ajal, rizki, dan lainnya selama satu tahun, sebagaimana firman Allah: "Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (Q.S. Ad-Dukhaan: 4). Beribadah di malam itu dengan ketaatan, shalat, tilawah, dzikir, do'a dsb. sama dengan beribadah selama seribu bulan di waktu-waktu lain. Seribu bulan sama dengan 83 tahun 4 bulan.

Allah pun memberitahukan keutamaannya yang lain, juga berkahnya yang melimpah dengan banyaknya malaikat yang turun di malam itu, termasuk Jibril AS. Mereka turun dengan membawa semua perkara, kebaikan maupun keburukan yang merupakan ketentuan dan takdir Allah. Mereka turun dengan perintah dari Allah. Selanjutnya, Allah menambahkan keutamaan malam tersebut dengan firman-Nya: "Malam itu (penuh) kesejahteraan hingga terbit fajar" (Al-Qadar: 5)

Maksudnya, malam itu adalah malam keselamatan dan kebaikan seluruhnya, tak sedikit pun ada kejelekan di dalamnya, sampai terbit fajar. Di malam itu, para malaikat-termasuk malaikat Jibril mengucapkan salam kepada orang-orang beriman. Dalam satu hadits shahih, Rasulullah saw. menyebutkan keutamaan melakukan qiyamul lail di malam tersebut.
Beliau bersabda: "Barangsiapa melakukan shalat malam pada saat Lailatul Qadar karena iman dan
mengharap pahala Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. " (Hadits Muttafaq'Alaih)

Tentang waktunya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Carilah Lailatul Qadar pada (bilangan) ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan." (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya). Maksud dari malam-malam ganjil yaitu malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dan malam dua puluh sembilan. Adapun qiyamul lail di dalamnya yaitu menghidupkan malam tersebut dengan shalat tarawih, sholat tahajjud, membaca Al-Qur'anul Karim, dzikir, do'a, istighfar dan taubat kepada Allah Ta 'ala.

Misteriusnya Lailatul Qadar memberikan sebuah motivasi bagi umat Islam agar terus beribadah khususnya pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Tidak ada seorangpun yang bisa memastikan kapan Lailatul Qadar itu. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri hanya mampu memberikan rentang waktunya saja tanpa mampu menentukan kapan tepatnya malam itu.
Dengan demikian setiap orang diharapkan berusaha secara individu untuk meraih yang terbaik selama Ramadhan. Itu sebabnya, hanya mereka yang bersungguh-sungguh yang mampu mendapatkan ketenangan beribadah apalagi pada malam-malam terakhir di bulan Ramadhan. Wallahu a’lam bishawab

Rabu, 30 April 2014

ROHIS SMA NEGERI 9 MANADO MENEBAR KASIH


Islam sebagai agama yang universal, telah memberikan nilai kehidupan yang mengagumkan bagi umat manusia. Keteladanan yang dicontohkan Nabi Muhammad saw. dalam seluruh aspek kehidupan beliau mampu menciptakan sebuah peradaban besar yang akan terus memberikan kontribusinya hingga akhir zaman.
Salah satu contoh teladan beliau adalah kepedulian terhadap sesama, khususnya kaum dhuafa –yang lemah-, fakir, dan miskin. Beliau juga peduli dengan lingkungan dan alam sekitar. Begitu banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan sesama, saling membantu, tolong menolong dan peduli dengan lingkungan, misalnya Q.S. at-Taubah ayat 60 dan al-Isra ayat 26-27.  Nilai-nilai inilah yang harus terus dikembangkan dalam konteks kekinian agar menjadi sebuah sikap mental yang baik terutama bagi generasi muda. Kepekaan ini perlu dilatih dan dipertajam melalui keterlibatan langsung di masyarakat agar kelak generasi bangsa ini mampu menjadi pemimpinpemimpin bangsa yang peduli dan peka dengan kondisi sosial yang ada.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pembina Rohis Supriadi S.Ag., M.Pd.I dalam Pembukaan kegiatan Bakti Sosial dan Dakwah Wisata 1435 H/2014 M. Rohis SMA Negeri 9 Manado yang bertempat di Desa Likupang II Kecamatan Likupang Timur Kabupaten Minahasa Utara Provinsi Sulawesi Utara pada hari Sabtu, 26 April 2014. Menurut Ketua Rohis, Reynaldy Makalalag, yang didampingi Ketua Panitia Ilham Alif, acara yang mengambil tema “Menjalin ukhuwah dan solidaritas sosial” itu dijadwalkan berlangsung hingga hari Ahad, 27 April 2014 dengan dua agenda penting yaitu Khitanan Massal dan Pembagian Sembako kepada masyarakat yang kurang mampu. Adapun tujuan dari kegiatan yang menjadi agenda tahunan Rohis SMA Negeri 9 Manado itu adalah untuk mempererat silaturahmi dan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah insaniyah, meningkatkan pemahaman nilai-nilai dakwah Islam bagi peserta didik dan menambah wawasan serta meningkatkan solidaritas sosial  terhadap sesama manusia.
Kepala SMA Negeri 9 Manado Dra. Nelly Roosje Tani yang melepas rombongan sebelum menuju lokasi menyatakan pihak sekolah senantiasa mendukungan penuh kegiatan-kegiatan positif seperti yang digagas Rohis. Baginya, antara kegiatan ekstrakurikuler dan Proses Kegiatan Pembelajaran sama pentingnya sehingga ke depannya perlu dibijaksanai agar kegiatan ini tidak semata-mata menjadi rutinitas dan tidak bermakna.
Sementara itu, Sarjan Maramis yang mewakili pemerintah setempat mengungkapkan rasa syukurnya atas kegiatan yang diselenggarakan tersebut. Menurutnya, kepedulian terhadap sesama yang digagas Rohis SMA Negeri 9 Manado tersebut perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak, khususnya mereka yang mampu dan peduli dengan sesama. Dalam kesempatan itu telah dilakukan khitanan terhadap 24 anak dan pembagian 100 paket sembako terhadap masyarakat kurang mampu.

Kamis, 17 April 2014

JUMAT AGUNG DAN KEAGUNGAN JUMAT

Setiap tahun, umat Kristen memperingati Hari Kematian Yesus Kristus yang disebut Jumat Agung dan Hari Kebangkitan Yesus Kristus yang disebut Paskah. Bagi umat Kristen, Peringatan Jumat Agung sangat berarti karena dengan peristiwa itu menjadi awal keselamatan. Bahkan sebagian umat Kristen menilai Jumat Agung dan Paskah justru lebih berarti dari Natal.
Disaat umat Kristen akan memasuki Jumat Agung, dengan segala maknanya, di satu sisi sesungguhnya bagi umat Islam, Hari Jumat itu sendiri juga sangat penuh makna dan sarat dengan keutamaan. Hal ini seringkali terabaikan sehingga kedatangan Jumat tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Berikut diantara keutamaan hari Jumat:
Pertama, hari yang paling utama di dunia dan penghulu dari hari-hari. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan Rasulullah Saw., dalam hadisnya: Dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah Saw., bersabda: "Sebaik-baik hari adalah hari Jum'at, pada hari itu Nabi Adam As., diciptakan, pada hari itu dia dimasukkan ke surga, pada hari itu dia dikeluarkan dari surga, dan hari kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum'at.” (HR. Muslim no. 854, dan yang lainnya). Dalam "al-Musnad" hadits dari Abu Lubabah bin Abdul Munzir, dari Nabi Saw., Beliau bersabda: "Penghulunya hari adalah hari Jum'at, ia adalah hari yang paling utama disisi Allah Swt., lebih agung disisi Allah Swt., dari pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, pada hari Jum'at tersebut terdapat lima keistimewaan: Nabi Adam As., diciptakan, Nabi Adam As.,diturunkan ke dunia, Nabi Adam As., diwafatkan, Pada hari itu terdapat suatu waktu, tidaklah seorang hamba meminta kepada Allah pada saat tersebut melainkan pasti akan dikabulkan oleh Allah Swt., selama yang diminta bukan yang haram, Pada hari itu akan terjadi kiamat, Tidak ada satupun dari malaikat, bumi, angin, laut, gunung maupun pepohonan kecuali mereka takut pada hari Jum'at.” (HR. Ahmad dalam al-musnad, 3/430, Ibnu Majah 1084, sedangkan syekh al-Albany mendha'ifkannya dalam Dha'iiful jaami', 3317).
Kedua, Waktu yang mustajab untuk berdo’a. Rasulullah Saw., sangat memuliakan hari ini, menghormatinya, dan mengkhususkannya untuk beribadah dibandingkan hari-hari lainnya. Hari ini senantiasa penuh dengan ibadah. Dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah Saw., menyebut hari Jum’at lalu beliau Rasulullah Saw., bersabda, “Di hari jum’at itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.” Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu. (HR. Bukhari Muslim).
Ketiga, dosa-dosanya diampuni antara jum’at tersebut dengan jum’at sebelumnya. Dari Salman Al-Farisi ra., mengatakan bahwa Nabi Saw., bersabda: “Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyak, atau mengoleskan minyak wangi dari rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat yang sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan (dengan seksama) ketika imam berkhutbah melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara jum’at tersebut dan jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari)
Begitu pentingnya hari Jumat sehingga Allah Swt., mengabadikan Jumat sebagai salah satu nama surat dalam Alquran, surah al-Jumu’ah. Salah satu penjelasan di dalamnya adalah menyangkut perintah salat Jumat dan meninggalkan jual beli. ”Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al Jumu’ah, 62:9). Lebih jauh lagi, jual beli dimaknai dengan aktifitas secara umum. Artinya, apapun aktifitas yang kita lakukan, ketika azan memanggil untuk salat Jumat maka selayaknya dan seharusnya ditinggalkan. Pengecualian yang diberikan hanyalah kepada empat golongan sebagaimana hadis Nabi Saw., "Shalat Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjama’ah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit." (HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih) Jadi tidak ada alasan lain bagi seorang muslim untuk meninggalkan salat Jumat.
Puncak dari hari Jumat itu sesungguhnya ada pada pelaksanaan salat Jumat. Sehingga pada saat khatib sedang berkhutbah, wajib untuk mendengarkan dan tidak boleh berkata-kata sekalipun hanya mengatakan ”diamlah”. Tidak juga menghindari berbicara dengan tidur pada saat khutbah berlangsung.  Betapa banyak fadilah atau keutamaan yang digambarkan pada hari Jumat. Itu sebabnya merugilah orang yang tidak mampu memanfaatkan dengan baik momen jumat yang hanya datang seminggu sekali. Sebab begitu terlewati, belum tentu jumat berikutnya akan ditemui lagi. Jumat akan datang setiap minggunya, namun apakah kita selaku hamba akan mampu untuk bertemu dengannya? Wallaahu a’lam.:) Makassar, 06 April 2009.

Kamis, 13 Februari 2014

TOLAK PERAYAAN VALENTINE DAY

Dear all, seperti yang kita ketahui, bulan Februari dikenal dengan bulan "deklarasi cinta". Sangat membooming, bahkan seluruh penduduk di berbagai belahan dunia turut merayakannya, dari yang muda, dewasa bahkan kaum tua sekalipun turut serta. Bunga mawar, coklat, boneka, dan berbagai atribut bernuansa pink menjadi ciri khasnya. Namun banyak hal yang perlu kita telisik lebih jauh dari Valentine days, terutama bagi umat Islam. Bagaimana sejarahnya dan hukumnya bagi umat Islam yang turut merayakan. Berikut ini, kutipan penjelasan yang saya ambil di website dakwah

Valentine days, No Ways!!!


Boleh jadi tanggal 14 Pebruari setiap tahunnya merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak remaja, baik di negeri ini maupun di berbagai belahan bumi lainnya. Sebab hari itu banyak dipercaya orang sebagai hari untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Itulah hari valentine, sebuah hari di mana orang-orang di barat sana menjadikannya sebagai fokus untuk mengungkapkan rasa 'kasih sayang', walau pun pada hakikatnya bukan kasih sayang melainkan hari 'making love'.

Dan seiring dengan masuknya beragam gaya hidup barat ke dunia Islam, perayaan hari valentine pun ikut mendapatkan sambutan hangat, terutama dari kalangan remaja ABG. Bertukar bingkisan valentine, semarak warna pink, ucapan rasa kasih sayang, ungkapan cinta dengan berbagai ekspresinya, menyemarakkan suasan valentine setiap tahunnya, bahkan di kalangan remaja muslim sekali pun.

Sejarah Valentine
Valentine’s Day menurut literatur ilmiyah dan kalau mau dirunut ke belakang, sejarahnya berasal dari upacara ritual agama Romawi kuno. Adalah Paus Gelasius I pada tahun 496 yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani, sehingga sejak itu secara resmi agama Nasrani memiliki hari raya baru yang bernama Valentine’s Day.

The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan sebagai berikut: “Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Encylopedia 1998).

Keterangan seperti ini bukan keterangan yang mengada-ada, sebab rujukannya bersumber dari kalangan barat sendiri. Dan keterangan ini menjelaskan kepada kita, bahwa perayaan hari valentine itu berasal dari ritual agama Nasrani secara resmi. Dan sumber utamanya berasal dari ritual Romawi kuno.

Sementara di dalam tatanan aqidah Islam, seorang muslim diharamkan ikut merayakan hari besar pemeluk agama lain, baik agama Nasrani ataupun agama paganis (penyembah berhala) dari Romawi kuno.

Katakanlah, "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Kalau dibanding dengan perayaan natal, sebenarnya nyaris tidak ada bedanya. Natal dan Valentine sama-sama sebuah ritual agama milik umat Kristiani. Sehingga seharusnya pihak MUI pun mengharamkan perayaan Valentine ini sebagaimana haramnya pelaksanaan Natal bersama.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haramnya umat Islam ikut menghadiri perayaan Natal masih jelas dan tetap berlaku hingga kini. Maka seharusnya juga ada fatwa yang mengharamkan perayaan valentine khusus buat umat Islam.

Mengingat bahwa masalah ini bukan semata-mata budaya, melainkan terkait dengan masalah aqidah, di mana umat Islam diharamkan merayakan ritual agama dan hari besar agama lain.

Valentine Berasal dari Budaya Syirik.
Ken Swiger dalam artikelnya “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan, “Kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti, “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa”. Kata ini ditunjukan kepada Nimroe dan Lupercus, tuhan orang Romawi”.

Disadari atau tidak ketika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Icon si “Cupid (bayi bersayap dengan panah)” itu adalah putra Nimrod “the hunter” dewa matahari.

Disebut tuhan cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri. Islam mengharamkan segala hal yang berbau syirik, seperti kepercayaan adanya dewa dan dewi. Dewa cinta yang sering disebut-sebut sebagai dewa Amor, adalah cerminan aqidah syirik yang di dalam Islam harus ditinggalkan jauh-jauh. Padahal atribut dan aksesoris hari valentine sulit dilepaskan dari urusan dewa cinta ini.

Walhasil, semangat Valentine ini tidak lain adalah semangat yang bertabur dengan simbol-simbol syirik yang hanya akan membawa pelakunya masuk neraka, naudzu billahi min zalik.

Semangat valentine adalah Semangat Berzina
Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.

Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, petting bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan nafsu libido biasa.

Bahkan tidak sedikit para orang tua yang merelakan dan memaklumi putera-puteri mereka saling melampiaskan nafsu biologis dengan teman lawan jenis mereka, hanya semata-mata karena beranggapan bahwa hari Valentine itu adalah hari khusus untuk mengungkapkan kasih sayang.

Padahal kasih sayang yang dimaksud adalah zina yang diharamkan. Orang barat memang tidak bisa membedakan antara cinta dan zina. Ungkapan make love yang artinya bercinta, seharusnya sedekar cinta yang terkait dengan perasan dan hati, tetapi setiap kita tahu bahwa makna make love atau bercinta adalah melakukan hubungan kelamin alias zina. Istilah dalam bahasa Indonesia pun mengalami distorsi parah.

Misalnya, istilah penjaja cinta. Bukankah penjaja cinta tidak lain adalah kata lain dari pelacur atau menjaja kenikmatan seks?

Di dalam syair lagu romantis barat yang juga melanda begitu banyak lagu pop di negeri ini, ungkapan make love ini bertaburan di sana sini. Buat orang barat, berzina memang salah satu bentuk pengungkapan rasa kasih sayang. Bahkan berzina di sana merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang.

Bahkan para orang tua pun tidak punya hak untuk menghalangi anak-anak mereka dari berzina dengan teman-temannya. Di barat, zina dilakukan oleh siapa saja, tidak selalu Allah SWT berfirman tentang zina, bahwa perbuatan itu bukan hanya dilarang, bahkan sekedar mendekatinya pun diharamkan.

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Isra’: 32)

http://khutbahjumatideologis.blogspot.in/2011/02/jumat-2-112011-tolak-perayaan-valentin.html

Rabu, 22 Januari 2014

PROFESIONALISME GURU PASCA SERTIFIKASI

Kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 % membuat banyak kalangan khususnya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan girang. Berbagai kebijakan berkaitan dengan dunia pendidikan nampaknya mengarah pada perubahan ke arah yang lebih baik. Para guru yang menjadi ujung tombak pendidikan di berbagai pelosok pun bersyukur. Apalagi mereka yang dinyatakan lulus dalam sertifikasi. Terlepas dari lulus murni, ikut diklat atau remedial, yang jelas ada kebanggaan tersendiri setelah “dikukuhkan” sebagai guru profesional. Artinya, guru yang memiliki kompetensi dalam melaksanakan tugas pokoknya mempersiapkan generasi bangsa ini ke depan. Guru yang layak menerima tunjangan sebagai upaya perbaikan nasibnya agar profesi yang dijalaninya selama ini “diakui” sebagai profesi dan “disamakan” dengan profesi-profesi lainnya yang dianggap layak sebagai profesi. Bukan profesi “ikhlas beramal”, “lillahi ta’ala”, “kerja bakti dan bagimu negeri” atau istilah sejenis lainnya seperti “pahlawan tanpa tanda jasa”. Guru benar-benar sebagai sosok yang siap untuk digugu dan ditiru, siap memenuhi panggilan tugas dan kewajiban dengan segala tanggungjawabnya, kemudian siap menerima tunjangan sebagai konsekuensi dari sebuah profesionalitas.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah tingkat profesionalisme guru pasca sertifikasi. Setelah ada jaminan kesejahteraan yang lebih baik dari sebelumnya, apakah mereka yang telah disertifikasi itu lebih baik dari sebelumnya? Atau bagaimana perbandingannya dengan guru yang belum disertifikasi? Pertanyaan ini sekedar untuk menggugah saja, terutama tanggungjawab moral dalam membina generasi ke depan. Hal ini mungkin tidak hanya untuk profesi guru, tapi apapun profesinya perlu dilandasi dengan tanggungjawab moral terutama dengan Sang Pencipta. Jika setiap profesi dilandasi dengan kesadaran ini, maka tidak akan ada penyelewengan-penyelewengan dalam profesinya. Guru tidak akan makan gaji buta karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Kepala sekolah tidak akan menyelewengkan anggaran yang ada dan memanipulasi pelaporan. Atasan tidak akan “menyunat” anggaran yang “sedikit” itu untuk “lain-lain” dan menekan bawahan agar menutupi dengan pengeluaran fiktif. Boleh jadi, “kebohongan struktural” seperti ini sering terjadi di lingkungan kita termasuk dunia pendidikan tetapi sulit untuk menghindarinya apalagi meninggalkannya. Kebingungan akan terjadi pada tingkat paling bawah karena begitu banyak yang harus ditutupi. Tidak heran kalau ada siswa yang menipu orang tua dengan berbagai kebutuhan fiktif sekolah. Ada pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Kalau guru sudah kencing berlari, bagaimana kencing muridnya? 
Terlepas dari itu semua, perbaikan nasib guru melalui sertifikasi dan tunjangan lainnya menjadikan profesi ini kembali diminati sekalipun tingkat kualitasnya masih tetap harus dipertanyakan. Rekruitmen guru tidak saja pada segi kuantitasnya tapi juga kualitasnya. Sekalipun fakultas keguruan kembali diminati, namun sangat jarang –kalau bisa dibilang tidak ada dan mungkin terpaksa- dijumpai bahwa siswa yang menduduki rangking atas masuk ke sana. Mereka cenderung ke fakultas lain yang dianggap lebih menjamin masa depannya. Sekalipun begitu tetap harus ada rasa syukur sebagai hamba yang mendapatkan anugrah sertifikasi. Rasa syukur yang diwujudkan melalui kerja profesional dan tanggungjawab moral terhadap profesi yang dijalani…
Makassar, 25 Februari 2009

PESANTREN SEBAGAI PENGEMBAN TEORI PEMBELAJARAN

I.  PENDAHULUAN
Dalam sejarah Islam Indonesia, pesantren memiliki peranan besar dalam membangun masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Keberadaan pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia sering mendapat pujian, apalagi dari masyarakat muslim sendiri. Pada saat yang sama, ketiga lembaga ini sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Bahkan eksistensi pesantren “dituding” sebagai –maaf- “sarang teroris”. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Dalam membahas persoalan pesantren sebagai pelaksana atau pengemban teori pembelajaran, diperlukan pendekatan historis untuk melihat sejauhmana implementasinya dan penyempurnaan teori selanjutnya. Tulisan ini mencoba mengulas bagaimana perkembangan pesantren sebagai pengemban teori pembelajaran dengan pendekatan historis.

II.  PEMBAHASAN
A. Tinjauan Historis Pesantren
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji, langgar di Jawa atau surau di Minangkabau, rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India. (Steenbrink,1994)
Merujuk pada pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti madrasah dan asrama tempat mengaji, belajar agama Islam.(Depdikbud, 1995) Sedangkan makna “santri’ itu sendiri ada beberapa pandangan. Zamakhsyari Dhofier misalnya, sebagaimana pandangan  John menyebutkan bahwa “santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Berg –dalam buku yang sama- berpendapat bahwa “santri” berasal dari kata “shastri” dalam bahasa India yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, orang sarjana, ahli kitab suci agama Hindu.(Dhofier, 1984) Dalam Ensiklopedi Islam juga dijelaskan bahwa santri berarti orang yang belajar agama Islam, sehingga pesantren diartikan sebagai tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.(Poerbakawatja, 1976) Menurut Nurcholis Madjid, kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana pergi.(Madjid, 1997) Namun bahasa Jawa juga tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Hindu dan Budha dalam pembentukannya.
Menurut Haidar, sebelum kedatangan Islam, telah ada lembaga pendidikan Jawa Kuno yang disebut pawiyatan. Di lembaga itu tinggal Ki Ajar dengan cantrik. Ki Ajar orang yang mengajar dan cantrik orang yang diajar.  Kedua kelompok ini tinggal di satu kompleks dan di sini terjadi proses belajar mengajar.(Daulay, 1997) Haidar tidak menjelaskan lebih rinci tentang metode dan materi yang digunakan oleh lembaga pawiyatan tersebut, sehingga sulit untuk mengasumsikan apakah lembaga itu juga yang dimasudkan Sumarsono Mestoko sebagai lembaga pendidikan Hindu yang dikembangkan oleh pesantren.
Syukri Zarkasyi menguraikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama dan di dalamnya ada yang bertindak sebagai pendidik dan sentral figurnya yaitu kyai, ajengan atau tuan guru, juga ada santri, asrama, ruang belajar, dan masjid sebagai sentralnya.(Zarkasyi, 1990). Seperti pandangan Zamakhsyari Dhofier, penulis cenderung setuju dengan pengertian ini karena mencakup semua unsur yang ada di pesantren umumnya. Pondok, masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren.
Terlepas dari berbagai polemik tentang keaslian asal usul pesantren –dari India atau asli Indonesia- dengan berbagai argumentasinya, yang jelas bahwa pengembangan sistem pesantren setelah kedatangan Islam dengan ciri khas padepokan dalam masyarakat Hindu tersebut mampu bertahan. Hal ini karena sistem tersebut sudah melembaga di masyarakat dan memiliki tokoh sentral dengan daya tarik pribadi seperti ilmu yang mendalam, sifat mulia, bijaksana, luhur, taqwa, saleh, dan semua sifat baik.(Mestoko, 1995). Bagi penulis, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya lahir dengan mengakomodir sistem yang telah ada di masyarakat. Meskipun menggunakan sistem yang mirip dengan padepokan agama Hindu atau pawiyatan Jawa Kuno, namun substansi materi dan rutinitas aktifitas di dalamnya jelas berbeda. Alasan lainnya bahwa sistem pendidikan pesantren juga terdapat dalam dunia Islam meskipun dengan bentuk yang agak berbeda.

B.  Sistem Pembelajaran Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat.(Azra, 2002)
Dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama tentu saja adalah Al-Qur’an dan Hadis. Tujuan-tujuan yang lebih terinci dirumuskan melalui materi, metode dan sistem evaluasi yang menekankan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Kyai sebagai pendidik di pesantren menjadi figur sentral yang dipatuhi dan ditiru oleh para santrinya. Kekuatan Kyai berakar pada  kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan.(Tafsir, 1994). Besar kecilnya atau dalam dangkalnya bahan studi yang diberikan di pesantren tergantung kyai bersangkutan. Luas dan sempitnya bahan studi juga tidak sama. Lama belajar pun demikian halnya. Ada yang belajar selama satu tahun, ada yang mencapai sepuluh tahun atau lebih.
Sosok kyai pengasuh pesantren juga sekaligus sebagai "kurikulum" dari pesantrennya. Artinya seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya berupa pengkajian kitab klasik, ditentukan oleh klasifikasi keilmuan dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fiqh, maka kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab fiqh, jika kyainya ahli ilmu tasawuf maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-kitab tasawuf, begitu seterusnya. Prinsip ini sebenarnya sangat modern, seperti yang berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya Guru Besar dari cabang keilmuan tersebut.
Kyai memang tidak didasarkan pada jenjang pendidikan secara ketat dan khusus. Menurut Muhammad Tholhah Hasan, ada 3 syarat kyai, yaitu memiliki keilmuan agama yang cukup luas di atas ukuran rata-rata masyarakatnya, memiliki integritas moral sehingga menjadi panutan masyarakatnya, dan mendapat pengakuan yang kuat dari masyarakatnya  (Hasan, 2003).
Di pesantren, pelajaran utama yang diberikan adalah dogma keagamaan yaitu dasar kepercayaan dan keyakinan Islam (Gunawan, 1995). Di sini juga diajarkan Al-Qur’an dan Hadis, fiqh serta tasawuf. Agar dapat menguasainya maka diajarkan pula bahasa Arab dari semua segi (gramatika, morfologi, fonetika dan sintaksis). Literatur ilmu-ilmu tersebut menggunakan kitab klasik atau yang biasa dikenal dengan kitab kuning. Model-model pembelajaran di pesantren (salafiyah) bersifat non klasikal seperti wetonan dan sorogan. Wetonan, (proses belajar kolektif) yaitu kyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dengan santrinya membawa  kitab yang sama, lalu santri menyimak bacaan kyai. Sorogan, (proses belajar individual) yaitu santri mengajukan suatu kitab kepada kyai untuk dibaca di hadapannya, kesalahan bacaan langsung dibetulkan kyai  (Mujib, 2006).
Pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan di pesantren sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini, kejujuran, sikap tawadhu, menghormati sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu diperpegangi setiap pencari ilmu.
Tipologi pesantren dapat dibagi menjadi empat kelompok.
Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu,
disebut salafi. Kedua, Pesantren yang memadukan sistem lama dengan
sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren "modern". Ketiga
Pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya
diasramakan 24 jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu
agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Bahkan, Muhmidayeli membaginya dalam 5 Pola Pesantren yaitu:
1)      Pola Pesantren A dengan materi kitab-kitab klasik dan metode sorogan, bandongan (wetonan) dan hafalan dengan penekanan pada aspek moral.
2)      Pola Pesantren B seperti pola A dengan sistem sorogan dan pengangkatan asisten dari santri senior untuk membantu kyai.
3)      Pola Pesantren C  yang memasukkan beberapa sumber pengajaran seperti madrasah sebagai upaya sistematisasi sistem pengajaran ilmu-ilmu agama.
4)      Pola Pesantren D, memberikan prioritas terhadap ketrampilan yang terkadang pesantren menjadi pilot project suatu kegiatan industri.
5)      Pola Pesantren E mencakup sektor pendidikan keislaman klasik, menyelenggarakan sekolah baik umum mapun agama dengan sistem pengajaran beragam.(Muhmidayeli, 2007)
Pada umumnya pesantren telah menggunakan sistem klasikal dengan mengadopsi madrasah sekaligus sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan dan proses pembelajarannya, bahkan tidak sedikit pesantren yang telah membuka sekolah seperti SD, SMP, SMA.
Ciri yang masih tetap dipertahankan di pesantren adalah pengajian kitab kuning oleh pengasuh pondok pesantren yang dilakukan di masjid. Satu hal yang menarik bahwa metode sorogan dan wetonan yang digunakan bisa tetap dipertahankan asalkan tidak menyalahi prinsip pengembangan ilmu pengetahuan seperti interpretasi yang tidak up to date lagi untuk diterapkan dalam konteks kekinian.

III. PENUTUP
Mengakhiri tulisan sederhana ini, penulis mencoba menyimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang lahir dari sistem pendidikan masyarakat Indonesia dengan sistem pembelajaran sorogan dan wetonan yang kemudian berkembang dengan sistem klasikal.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002.
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.
Gunawan, Ary H., Kebijakan-kebijakan Pendidikan, Cet. II; Jajkarta: PT. Rineka Cipta, 1995.
Hasan, Muhammad Tholhah, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Cet. II; Jakarta: Lantabora Press, 2003.
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Mestoko, Sumarsono, dkk., Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Muhmidayeli, et.al., Membangun Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I; Pekanbaru: PPs UIN Suska Riau, 2007.
Mujib, Abd., Ilmu Pendidikan Islam, Cet I; Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976.
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Cet. II; Jakarta: LP3ES, 1994.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Zarkasyi, Abdullah Syukri, Pondok Pesantren Sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta: Unismuh Surakarta, 1990.