Rabu, 21 Januari 2015

MENYUSURI JEJAK ISLAM DI SULAWESI UTARA (Bagian 2)

f.         Masjid Raya Achmad Yani Sulawesi Utara
Peserta Laseda di depan masjid Achmad Yani Sulut
 Masjid ini pertama dibangun pada tahun 1961 sebagai masjid kebanggaan masyarakat Sulawesi Utara. Masjid ini dibangun lagi dan diperluas seperti sekarang ini. Di sebelah timur terdapat Islamic Center yang merupakan bangunan monumental Musabaqah Tilawatil Qur’an ke-10 tahun 1977 di Manado. Islamic Centre diresmikan bersama dengan Pesantren Pondok Karya Pembangunan di Kombos oleh mantan Presiden RI almarhum H. Soeharto pada tahun 1978.
a.         Masjid Awal Fathul Mubin Kampung Islam
Setelah beristirahat, makan siang dan menonton film dokumenter di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, kamipun melanjutkan ke Kampung Islam tepatnya di Masjid Awal Fathul Mubin.
Inilah masjid tertua di kota Manado yang didirikan sekitar tahun 1802 yang terletak di Kampung Islam. Disebut Kampung Islam karena dulunya wilayah tersebut seluruh penduduknya beragama Islam. Pada masa pendudukan Jepang baru terjadi perubahan komposisi penduduk. Namun demikian, sampai saat ini 80 % penduduk kampung ini masih beragama Islam. Ada beragam komunitas yang menempati wilayah ini dan semuanya turut berperan dalam pengembangan Islam, seperti orang-orang Arab, Gujarat, Ternate, Jawa dan sebagainya. Salah satu bukti historis bahwa masjid ini adalah yang tertua yaitu dengan adanya makam orang Jawa di pemakaman Kampung Islam yang bertahun 1800-an.
Masjid Awwal Fathul Mubin yang dibangun sekitar tahun 1802

Peserta menerima penjelasan di serambi masjid
 Sejak didirikan hingga kini, masjid ini telah mengalami beberapa kali renovasi bahkan bisa dibilang rekonstruksi. Bangunan masjid ini diarsiteki dan dikerjakan oleh pendatang dari Jawa, menurut beberapa sumber mereka adalah pengikut Pangeran Diponegoro yang dibuang Belanda ke Manado dan mendiami daerah seputar masjid.
Dr. Gayda Bachmid, salah satu tokoh Kampung Islam
g.        Masjid al-Masyhur Kampung Arab
Komunitas Kampung Arab (sekarang Kelurahan Istiqlal). ada sejak masa kolonial Belanda yang merupakan para pedagang dari daerah Hadramaut Yaman. Mereka tertarik untuk menetap tidak jauh dari kota pelabuhan bersama masyarakat Islam Manado di wilayah Timur Benteng Amsterdam tak jauh dari pelabuhan. 
 
Peserta LASEDA di depan masjid Masyhur Kel. Istiqlal (Kampung Arab)

Pada tahun 1804 orang-orang Arab mulai mendirikan mesjid yang dinamakan al-Masyhur. Hal ini karena tanah tempat masjid didirikan itu merupakan tanah wakaf dari keluarga al-Masyhur. Arsitektur masjid yang bergaya Timur Tengah terlihat sangat mendominasi masjid berlantai tiga dengan menara yang menjulang ini.
Ada beberapa marga yang ada di Kampung Arab seperti Bahmid, Jibran, Wakid, dan sebagainya. Dari kampung inilah kemudian orang-orang Arab di Manado melakukan penyebaran ke Minahasa seperti ke Belang, Kotabunan, Amurang, Tondano dan Bolaang Mongondow. (Manado, 4 Juli 2012)

BERATNYA AMANAH



Rasulullah sebagai teladan umat manusia dalam segala aspeknya telah memberikan contoh kehidupan. Sifat sidiq, amanah, tablig, dan fatonah baginda Nabi hendaknya menjadi pedoman bagi umat dalam mengisi kehidupannya. Memang sekarang ini menjadi  orang baik dan benar bukanlah hal yang mudah. Tetapi juga bukan hal yang susah, jika kita memang telah meneguhkan hati merambah kebaikan. Kisah berikut barangkali bisa memotivasi kita meneladani sifat al-amin-nya Rasulullah saw.

Alkisah, Tersebutlah seorang pemuda perantau yang papa. Ia tinggalkan pekarangan rumah dan kebunnya di desa menuju sebuah kota yang menjadi pengharapan bagi para pendatang dari berbagai penjuru desa. Selayaknya perantau, pemuda ini tidak banyak membawa bekal kecuali keluguan dan kesederhanaan dan sedikit kemampuan mengaji ala kadarnya.  Jangankan tempat tinggal, uang saku pun telah habis untuk ongkos perjalanan. Setelah sekian hari menggelandang, akhirnya ia diperbolehkan menetap di salah satu kamar di bagian masjid dengan berbagai macam tugas dan kewajiban. Adzan, bila waktu shalat tiba dan  menyapu jika kotoran bertebaran, juga menjadi tukang parkir jika kebetulan ada tamu jama’ah.

Hari berlalu silih berganti, kadang hari terasa nyaman karena tersedia makanan, kadang kala juga hari-hari menyedihkan tanpa apapun yang dapat dimakan, tidak juga uang sekedar untuk membelinya. Maklumlah pada hari ini belum genap sebulan ia tinggal di sana. Sehingga belum ada uang gaji dan juga belum banyak teman pula. Terhitung sudah dua hari ini ia tidak makan, tiada apapun dapat mengisi perutnya. Keinginan meminta-minta adalah pantangan baginya. Apalagi mengambil yang bukan haknya. Meskipun ia menjaga kotak amal, tak pernah terbersitpun di hatinya untuk menggunakan uang di dalamnya. Di hari ketiga kepayahan benar-benar melanda. dia merasa bahwa hidupnya akan segera berakhir karena kelaparan. Ia berfikir apa yang akan dilakukannya, bukankah saat seperti ini yang dinamakan dharurat? kondisi terpaksa yang membolehkannya memakan bangkai atau mencuri sekadar untuk bisa menegakkan tulang punggungnya?  Itulah pendapatnya ketika rasa lapar mengalahkan logika berpikirnya.

Ia mulai berpikir, rumah siapakah yang berada dibalik dinding masjid itu? Sepertinya rumah itu besar dan kurang begitu ramai. Mungkin ada makanan di sana, sekedar untuk menyambung hidup saja. ia bertekad tidak akan mengambil barang berharga. Pokoknya hanya makanan saja. tembok pembatas di belakang masjid itu, tidaklah terlalu tinggi. Tidak susah untuk seorang pemuda menaikinya. Hanya dengan sedikit tenaga dorongan dan loncat, dapatlah ia melihat ruang belakang rumah itu, yang kebetulan adalah dapur yang sepi tiada orangnya. Maka, pemuda itupun mencoba melewati dinding dan meloncat di dalam dapur itu. Dengan hati berdebar dan kaki gemetar. Ini pertama kali dia melakukan pencurian selama masa hidupnya. Dengan hati yang terus berbisik ‘bagaimana bisa kau mencuri? Sepanjang umurmu kau tak pernah lakukan itu? Sekarang ketika kau tinggal di masjid, malah hendak melakukannya? Namun kaki itu terus melangkah dengan hukum dharurat yang difahaminya. Hanya  alasan inilah yang membuat tangannya meraba sebuah roti bakar di atas meja lalu menguatkan giginya untuk sekedar memotong di bagian ujungnya. Namun ketika selai coklat-strawbery melekat dilidahnya, dan hendak meluncur melalui tenggorakan, pemuda itu teringat kembali bahwa yang dilakukannya adalah pencurian dan sebuah kebodohan. Seolah ia baru tersadarkan bagaimana bisa ia melakukan ini semua, bukankah ia seorang penjaga masjid? Bukankah selama ini ia terbiasa menahan lapar? Kemudian diletakkanlah roti pada tempatnya semula. Lalu ia meloncat tembok pembatas dan kini telah berada di serambi masjid.

Sambil terlentang, pikirannya mengawang-menerawang  merekam kembali apa yang telah dikerjakannya. Air matanya sedikit mengalir membasahi pipinya, namun perutnya terus meronta meminta segera diisi dan badannya telah lemas terkulai. Iapun kini berada di alam setengah sadar-setengah pingsan karena lapar. Lamat-lamat telinganya menerima suara dari luar. Suara pengajian ibu-ibu mingguan yang dipandu seorang kyai sesepuh masjid itu. Namun karena terlalu lapar dia tidak dapat memahami apa yang dia dengar.
Ketika pengajian itu usai, masjid telah kembali sunyi. Tinggal kyai dan seorang perempuan jama’ahnya yang terlihat asyik berbincang. Sang pemuda tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakannya. Karena posisinya yang terlalu jauh, juga karena kesadarannya yang telah direnggut oleh rasa lapar yang mendaulat perutnya. Namun ia tahu ketika kyai itu itu menebarkan mata menyapu segala penjuru dan sudut-sudut masjid. Hingga pandangan itu tertumbuk pada dirinya.  Sesosok pemuda yang tidur terlentang di serambi sebelah kanan masjid. Dengan isyarat tangan kyai itu memintanya untuk mendekat. Dengan langkah yang berat, dengan sisa tenaga yang ada ia segarkan wajahnya yang telah kuyu. Ia belalakkan matanya yang telah layu. Ia pendam jauh-jauh rasa lapar yang menggelayuti perutnya.

'Apakah kamu sudah menikah?' begitu Tanya kyai ketika ia telah mendekat. 'Belum,' jawabnya. Kyai itu bertanya lagi, 'Apakah kau ingin menikah?'. Pemuda itu diam. Lalu kyai itu mengulangi lagi pertanyaannya. Sebenarnya pemuda ini tidak begitu konsentrasi menjawab pertanyaan sang kyai. Pikirannya hanya tertuju pada rasa lapar dan cara menaklukkannya. Bisa jadi pemuda ini hanya menganggap pertanyaan kyai itu sekedar basa-basi. Akhirnya pemuda itu angkat bicara, 'Ya  kyai, demi Allah! Aku tidak punya uang untuk membeli roti, bagaimana aku akan menikah?. Kyai itu menjawab, 'Wanita ini telah ditinggal mati suaminya, dan dia tidak memiliki sesiapa pun di dunia kecuali seorang paman yang sudah tua dan miskin', kata kyai itu sambil melihat kerah perempuan yang sedang duduk di sampingnya.  Kyai itu melanjutkan pembicaraannya, 'wanita ini mengharapkan seorang lelaki sebagai pendamping hidupnya, untuk menemaninya menjalani kehidupan dan menjaga bila tetjadi sesuatu dengannya. Maukah kau menikah dengannya? Pemuda itu menjawab 'Ya, lah kyai'. Kemudian kyai bertanya kepada wanita itu, 'Apakah engkau mau menerimanya sebagai suamimu?', ia menjawab 'Ya'. Maka kyai itu mendatangkan pamannya dan dua orang saksi kemudian melangsungkan akad nikah dan membayarkan mahar untuk pemuda penjaga masjid itu.
Pernikahan selesai, kemudian sang istri mengajak nya pulang ke rumahnya. Setelah keduanya masuk ke dalam rumah dan mereka mulai berkomunikasi berakrab-akraban. Tampaklah oleh pemuda itu, bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik. Beberapa saat kemudian sang istri mengajak suaminya si penjaga masjid itu dan memperkenalkannya dengan berbagai ruangan di dalam rumah itu. Ada ruang keluarga, ada kamar tempat mereka tidur, ada kamar mandi, dan ada pula ruang makan yang menyatu dengan dapur paling belakang. Ketika menatap dinding yang melatari dapur itu, suami itu langsung menengadahkan mukanya ke atas mengawasi batasan tembok dan ia merasa tidak asing dengan kondisi ruang ini. Iapun merasa mengenal dinding itu. Lalu ia menemukan jawabnya bukankah di belakang tembok pembatas ini adalah masjid yang didiaminya? Rupanya pemuda itu baru sadar bahwa rumah itu adalah rumah yang tadi ia masuki.

Belum selesai pertanyaan dalam pikiran itu, sang isteri datang menghampiri dan bertanya, 'Kau ingin makan?' 'Ya' jawabnya. ‘Duduklah, kita akan makan bersama di meja ini untuk kali pertama’. kata sang istri dengan nada romantisnya. Lalu dia buka tutup maknan di atas meja. Saat melihat sepotong roti isi coklat-strowbery yang telah cuil diujungnya,  sang istri berkata dengan heran: 'lho kok roti ini cuil ujungnya? Siapa yang mengigitnya? Bukankah kucing tak doyan roti?. Maka pemuda yang kini telah menjadi suami itu menangis dan menceritakan segala kisahnya.  Lalu sang isterinya berkata, 'Ini adalah buah dari sifat amanah, kau jaga kehormatanmu dan kau tinggalkan roti yang haram itu, lalu Allah berikan rumah ini semuanya berikut pemiliknya dalam keadaan halal. Barang siapa yang meninggalkan sesuatu ikhlas karena Allah, maka akan Allah ganti dengan yang lebih baik dari itu.

Demikian nasib pemuda itu. Ia berhasil mengalahkan keburukan dengan kebesaran jiwanya. Dengan keyakinannya. Demikian juga dengan kita. Yakinlah, bahwa ketika hendak melakukan sebuah keburukan, hati kecil kita selalu berontak, minimal mempertanyakannya. Bukankah yang akan aku kerjakan ini sebuah keburukan? Bukankah ini sebuah kejahatan?. Namun sayang sekali, seringkali kita mengalahkan dan mengabaikan bisikan-bisikan hati kecil itu. Yang berarti pula kita kita menghianati Allah swt dan Rasul-Nya. dalam Q.S. al-Anfal/8 ayat 27:

$pkšr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qçRqèƒrB ©!$# tAqߧ9$#ur (#þqçRqèƒrBur öNä3ÏG»oY»tBr& öNçFRr&ur tbqßJn=÷ès? ÇËÐÈ
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui

Sekarang kita tahu betapa beratnya menjaga amanah itu. Menjaga amanah terberat adalah menjaga amanah Allah swt yang dititipkan kepada kita berupa baik harta, keluarga, negara dan jiwa kita sendiri. Namun demikian Rasulullah saw adalah penjaga amanah tersukses di sepanjang sejarah kehidupan manusia yang mendapatkan julukan al-amiin.

Mudah-mudahan, mereka yang dipercaya memegang amanah rakyat Indonesia, mampu menjaganya dengan baik. Semoga kita senantiasa mendapatkan pertolongan dari Allah swt untuk berteguh hati menjaga amanah dari-Nya. Amien

MENTRADISIKAN KEMBALI NILAI ISLAM DI PESANTREN



Sejarah Islam di Indonesia merekam dengan jelas bahwa pesantren memiliki peranan besar dalam membangun masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Eksistensi pesantren di Indonesia sering mendapat pujian, apalagi dari masyarakat muslim sendiri. Pada saat yang sama, lembaga ini sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Bahkan eksistensi pesantren “dituding” sebagai –maaf- “sarang teroris”. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Kondisi tersebut pun tidak lepas dari perjalanan panjang Pesantren Pondok Karya Pembangunan Manado yang kini berusia 37 tahun. Hampir empat dekade Pesantren PKP berkiprah dan mencatatkan diri sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang layak untuk diperhitungkan di Sulawesi Utara. Sejak awal berdirinya -sebagai salah satu bangunan monumental MTQ ke-X Tahun 1977 di Manado-, Pesantren PKP tentu mengalami dinamisasi dalam proses perkembangan santri dan pembinaannya. Pola pembinaan yang harus menyesuaikan dengan kondisi kekinian adalah sebuah tantangan demi tetap tegak dan lestarinya pesantren. Dari sisi ini, dibutuhkan sebuah semangat baru untuk sebuah perubahan demi kemajuan pesantren. Sama halnya dengan Islam yang perlu menyesuaikan dengan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai keislaman itu sendiri. Majunya pesantren bukan saja terletak pada berubahnya bangunan fisik semata, tapi juga sikap dan prilaku santri yang mencerminkan dan mentradisikan akhlak mulia baik di lingkungan pesantren maupun di luar.
Ibarat tanaman, guna menghasilkan panen yang baik sebagai sebuah produk unggulan, banyak hal yang perlu diperhatikan. Bibit yang unggul belumlah cukup jika sistem dan cara pengolahannya asal-asalan. Jika bibit yang baik ini dirawat, dipelihara dan dipupuki, diolah dengan baik, maka akan menghasilkan tanaman yang baik pula.
Secara sederhana, tidak semua orangtua berharap anaknya yang nyantri menjadi ulama, tapi setidaknya mereka paham dan mampu mengaplikasikan cara menjadi muslim yang baik. Inilah sesungguhnya keunggulan pesantren dibandingkan sekolah lainnya. Pola pembiasaan yang kemudian menjadi tradisi yang baik selama berada di lingkungan pesantren akan memberikan pengaruh positif ketika santri tidak lagi bermukim di pesantren.
Peran kyai sebagai salah satu unsur penting dari sebuah pesantren, ikut menentukan maju mundurnya pesantren. Kyai sebagai pendidik di pesantren menjadi figur sentral yang dipatuhi dan ditiru oleh para santrinya. Secara teoretis, Kekuatan Kyai berakar pada  kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan. Semakin sepuh seorang kyai, semakin tinggi wibawa yang dimilikinya dan tentu saja berimbas pada kewibawaan pesantren. Bisa dibilang bahwa kewibawaan kyai dan pesantren adalah seperti koin dengan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan.  
Santri angkatan ke-6 pasca EBTAN Tahun 1987
Santri baru tahun 2012 usai kegiatan Pramuka

Kyai memang tidak didasarkan pada jenjang pendidikan secara ketat dan khusus. Para ahli mengemukakan setidaknya ada 3 syarat kyai, yaitu memiliki keilmuan agama yang cukup luas di atas ukuran rata-rata masyarakatnya, memiliki integritas moral sehingga menjadi panutan masyarakatnya, dan mendapat pengakuan yang kuat dari masyarakatnya. Itu sebabnya perlu sebuah proses yang panjang dan teruji untuk layak menjadi kyai dan memimpin sebuah pesantren.
Tulisan sederhana ini mencoba untuk mengajak semua komponen yang peduli dengan pesantren PKP Manado untuk mereview perjalanan panjang pesantren yang diresmikan oleh mantan Presiden R.I. alm. H. Soeharto kurun waktu hampir empat dekade.   Congratulation, Dirgahayu pondokku LPI PKP Manado.