Minggu, 26 Juli 2020

INDAHNYA PERDAMAIAN DENGAN MUJAHADAH AN-NAFS

MATERI KELAS X SMA SMK SEMESTER GANJIL



Al-Qur’an menegaskan bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Setan selalu menggoda manusia agar terjerumus ke dalam perbuatan dosa hingga masuk ke neraka. Kita harus berlindung kepada Allah Swt. dari godaan setan, yakni dengan membaca ta’awudz. Selain setan, manusia juga digoda oleh nafsu ammarah untuk melakukan perbuatan melanggar syariat Allah Swt. Seseorang yang perilakunya dikendalikan oleh nafsu ammarah akan hidup sengsara di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang beriman untuk mengendalikan dan menahan hawa nafsu supaya hidupnya diridhai Allah Swt.
Perilaku kontrol diri (mujahadah an-Nafs) akan menjadikan seseorang hidup damai di masyarakat. Kedamaian di masyarakat akan semakin kokoh jika dibarengi dengan sikap selalu berprasangka baik (husnuzhan) kepada sesama, serta menjaga semangat persaudaraan (ukhuwwah). Tentunya setiap orang ingin hidup berdampingan secara damai. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, perilaku mulia ini perlu dijaga dengan sebaik-baiknya demi meraih kedamaian hidup di masyarakat.
Perhatikan Q.S. Al-Hujurat(49):12 berikut:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Terjemah
12.  Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.


Asbabunnuzul Q.S. al-Hujurat/49: 12
Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij, bahwa ayat ini (al-Hujurat/49: 12) turun berkenaan dengan Salman al-Farisi yang bila selesai makan, suka tidur sambil mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang menggunjing perbuatannya. Maka turunlah ayat ini (al- Hujurat/49: 12) yang melarang seseorang mengumpat dan menceritakan 'aib orang lain


Menelaah Tafsir Q.S. al-Hujurat/49: 12
Dalam Q.S. al-Hujurat/49:12 terkandung larangan untuk ber­prasangka buruk (su’uzhan) kepada orang lain, berbuat tajassus, dan (ghi­bah). Tajassus berarti mencari-cari ke­salahan orang lain, dan ghibah berarti menggunjing orang lain.
Prasangka buruk dilarang karena prasangka buruk adalah suatu sikap/budi bekerti yang tidak berdasar pada fakta yang tepat. Seperti tidak bijak ketika membaca berita di media yang memberitakan kejelekan orang lain. Padahal, kita diingatkan untuk menjauhi prasangka buruk dan mencari-cari kesalahan orang lain. Sebaliknya, kita diperintahkan untuk menyibukkan dengan mencari kesalahan dan keburukan diri kita sendiri agar kita dapat berinstropeksi diri terhadap kekurangan kita. Tentu saja agar kita memperbaiki kekurangan dan kesalahan kita. Perhatikan sabda Nabi saw. berikut ini:

Dari al-A’raj ia berkata; Abu Hurairah berkata; Satu warisan dari Nabi Saw., beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian prasangka, sebab prasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari 'aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara.“ (H.R. Bukhari )

Selanjutnya, Rasulullah Saw. menjelaskan apa itu ghibah sebagaimana tercantum dalam hadis berikut ini:

“Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?”. Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul- Nya yang lebih mengetahui”. Nabi Saw. berkata: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi Saw. ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya? Nabi Saw. menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”. (H.R. Muslim)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa ghibah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Dapat juga dikatakan bahwa ghibah adalah membicarakan dan menyebutkan kejelekan orang lain. Tentu tidak ada satu orang pun yang senang dibicarakan oleh orang lain. Orang yang melakukan ghibah tidak berniat untuk mencari kebenaran, tetapi hanya untuk sekedar melampiaskan dan memuaskan hawa nafsu untuk membicarakan kejelekan orang lain. Dengan maksud mempermalukan seseorang di depan orang lain. Dan seseorang yang melakukan ghibah berarti memiliki sifat takabur. Merasa dirinya lebih hebat dari orang lain
Di antara penyebab utama prasangka buruk, mencari kesalahan orang lain, dan ghibah adalah adanya kebencian atau sakit hati terhadap orang tertentu. Oleh karena itu, perilaku ini harus dijauhi karena walaupun kejelekan tersebut memang sebuah kenyataan, tetapi hal ini sangat berbahaya dan bisa menjadi fitnah.
Fitnah adalah menyampaikan berita palsu (hoax) atau berita salah, tidak sesuai dengan kenyataan. Perbuatan fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Oleh karena itu, fitnah merupakan perbuatan keji yang harus dijauhi. Akibat buruk dari fitnah di antaranya adalah mencoreng nama baik seseorang, dan menyebabkan perpecahan satu orang dengan orang yang lain. Bahkan, akibat buruk fitnah ini sangat sulit untuk dibenahi. Jika berita bohong sudah terlanjur tersebar, sangat sulit mencabutnya. Seseorang yang sudah terlanjur membaca berita bohong belum tentu membaca ralat beritanya, padahal ralat berita ini dimaksudkan untuk meluruskan berita bohong tersebut. Penyebab fitnah biasanya terjadi karena beberapa hal, di antaranya adalah tidak melakukan pengecekan kebenaran berita (tabayyun), dan adanya kebencian pada seseorang.
Jadi, pada dasarnya antara ghibah dan fitnah memiliki perbedaan, yaitu ghibah menyampaikan keburukan orang lain, dan keburukan tersebut memang kenyataan. Akan tetapi fitnah menyampaikan data atau berita palsu dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Keduanya merupakan perilaku tercela yang harus dijauhi.
Perbuatan buruk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjing dalam kehidupan sehari-hari sulit dihindari karena adanya penyakit hati dalam diri kita. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk mengontrol diri (mujahadah an-nafs) dari perbuatan dosa. Yaitu, mengontrol diri kita agar mencegah hawa nafsu untuk berprasangka buruk, agar tidak mencari-cari kesalahan orang lain, dan j tidak menggunjing orang lain.
Hawa nafsu memiliki kecenderungan untuk mencari berbagai macam kesenangan dengan tidak mempedulikan aturan agama. Jika kita menuruti hawa nafsu, sesungguhnya hati kita telah tertawan dan diperbudak oleh hawa nafsu itu. Jihad melawan hawa nafsu merupakan jihad yang besar. Mengapa demikian?. Hal ini dikarenakan jihad melawan nafsu, berarti jihad melawan keinginan terhadap hal-hal yang buruk dan menimbulkan bahaya bagi kemanusiaan. Bukankah menghindari sesuatu yang kita senangi jauh lebih berat daripada menghindari sesuatu yang kita benci?
Selain kontrol diri, seorang muslim hendaknya berprasangka baik (husnuzhan) kepada Allah Swt., diri sendiri, dan kepada sesama manusia.

1) Husnuzhan kepada Allah Swt.

Berprasangka baik (husnuzhan) kepada Allah, artinya bahwa Allah Swt. memiliki sifat Maha sempurna, Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Pengasih dan Penyayang kepada semua ciptaan-Nya.
Rasulullah Saw. bersabda dalam baik, justru sesungguhnya berakibat buruk atau sebaliknya yang dianggap buruk, sesungguhnya merupakan hal yang baik baginya. Perwujudan husnuzhan kepada Allah Swt. antara lain:

                        Husnuzhan dalam bertaqwa kepada Allah Swt.

Bertaqwa pada Allah Swt. artinya melaksanakan segala perintah- Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Husnuzhan dalam bertaqwa pada Allah Swt. artinya meyakini bahwa semua perintah Allah Swt. adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Begitu juga semua larangan-Nya pasti akan berakibat buruk apabila dilanggar.

                        Husnuzhan dalam berdoa

Berdoa merupakan permohonan atas segala yang diinginkan seseorang. Seorang muslim yang memahami Husnuzhan pada Allah Swt. dalam berdoa akan yakin bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah Swt., namun bila belum dikabulkan, maka ia akan berfikir inilah yang terbaik dan ia akan menerimanya dengan penuh keikhlasan.

                        Husnuzhan dalam berikhtiar dan bertawakal

Ikhtiar merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan hal yang dicita-citakan. Dalam berikhtiar sikap Husnuzhan kepada Allah Swt. harus dikembangkan, karena tidak semua ikhtiar yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam berikhtiar harus selalu digandengkan dengan sikap tawakal yaitu menyerahkan hasil ikhtiarnya hanya kepada Allah Swt. semata, sehingga ketika ikhtiarnya berhasil maka ia akan bersyukur dan ketika gagal ia akan bersabar dengan tidak berputus asa.

2) Husnuzhan kepada orang lain
Husnuzhan kepada orang lain artinya seluruh ucapan, sikap dan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang akan diterima apa adanya tanpa diringi oleh prasangka atau dugaan-dugaan yang bersifat negatif.
Mengembangkan sikap husnuzhan kepada orang lain dapat dilakukan dengan cara berusaha untuk melihat kebaikan orang lain dan mengakuinya dengan jujur atas segala kelebihan yang dimilikinya. Sebaliknya, berusahalah untuk melupakan segala keburukan orang lain yang pernah dilakukannya kepada diri kita. Begitu juga, berusahalah untuk mengingat keburukan yang pernah kita lakukan pada orang dan berusahalah untuk tidak mengulangnya kembali. Sebaliknya, berusahalah untuk mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah orang lakukan untuk kita. Sebagai muslim, juga harus hidup berdampingan dengan sesama muslim yang lain serta menghormati hak dan kewajibannya. Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Seorang muslim (yang sejati) adalah orang yang dengan muslim lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya.” (H.R. Tirmidzi)

Hadis tersebut menjelaskan seorang muslim harus menjaga lisannya. Ucapan kepada orang lain terutama sesama muslim, harus lemah lembut dan tidak mengandung kebohongan. Guna menghindari buruk sangka terhadap seseorang, Islam mengajarkan untuk melakukan tabayyun bila mendapat informasi negatif tentang seseorang, Islam sangat melarang umatnya untuk secara gegabah mempercayai apalagi merespon negatif sebuah informasi tanpa melakukan pengecekan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar informasi yang didengar tidak menimbulkan prasangka buruk yang berakibat buruk pada orang yang diberitakan. Muslim sejati selalu menjaga lisannya sebagai bentuk husnuzhan kepada orang lain.

3) Husnuzhan kepada diri sendiri

Seseorang yang berprasangka baik kepada diri sendiri, akan menyadari bahwa setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, seharusnya manusia senantiasa mensyukuri apapun yang sudah diberikan oleh Allah Swt. dan tidak perlu merasa rendah diri di hadapan orang lain. Boleh jadi kekurangan yang dimiliki oleh seseorang justru itulah kelebihan yang dimilikinya.
Dengan menyadari kelebihan yang ada pada dirinya, maka timbul sikap yang penuh harapan, tidak mudah putus asa ketika menghadapi tantangan hidup bahkan bersikap optimis dengan bekerja keras, kerja ikhlas, kerja cerdas, kerja mawas, dan kerja tuntas. Dengan menyadari kekurangan pada dirinya, maka berusaha untuk memperbaikinya dan menjadikannya sebagai sebuah kekuatan.
Seseorang akan mendapatkan banyak hikmah dari perilaku kontrol diri dan berprasangka baik (husnuzhan).
Di antara hikmah perilaku kontrol diri (mujahadah an-nafs) sebagai berikut:
1) meningkatnya sifat sabar, dengan tidak cepat memberikan reaksi terhadap permasalahan yang timbul
2) dapat mencegah perilaku buruk atau negatif dari seseorang
3) mendapatkan penilaian yang positif dari lingkungan
4) terbinanya hubungan baik dalam berinteraksi sosial dengan sesama.

Sedangkan hikmah perilaku berprasangka baik (husnuzhan) di antaranya sebagai berikut:

1) senantiasa bersikap optimis dalam menghadapi kehidupan
2) terbentuknya sifat percaya diri dalam diri seseorang
3) gigih, ulet, tangguh dalam melakukan ikhtiarnya, sehingga tidak mudah putus asa ketika menghadapi kegagalan
4) rida terhadap takdir Allah Swt., karena tugas manusia hanya berusaha dan yang menentukan adalah Allah Swt.


Menerapkan Perilaku Kontrol Diri (Mujahadah an-Nafs) dan Pra-sangka Baik (Husnuzhan) untuk Meraih Hidup Bahagia

Kontrol diri dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.
1) Menghindari dan menjauhi perbuatan dosa dan maksiat

Renungkanlah dampak negatif perbuatan dosa dan maksiat, dan renungkanlah akibat positif beramal saleh. Setiap perbuatan dosa dan maksiat, akan berakibat buruk bagi diri sendiri, misalnya hati gelisah, tidak tenang, dan merasa jauh dari Allah Swt. Sebaliknya, amal saleh akan berakibat positif bagi dirinya, misalnya hidup tenang, optimis, merasa dekat dengan Allah Swt.

2) Mengarahkan seluruh aktivitas hidup untuk meraih rida Allah Swt.

Seluruh aktivitas hidup manusia akan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Maka, niatkan dan arahkan seluruh aktivitas hidup untuk beribadah guna meraih ridha Allah Swt.

3) Menahan dan mengendalikan hawa nafsu

Jika ada bisikan hawa nafsu untuk melakukan maksiat, maka segera minta perlindungan Allah Swt. dengan membaca ta’awudz.

4) Memperbanyak dan membiasakan dzikir kepada Allah Swt. (dzikrullah)
Dzikir akan membuat hati tenang dan dekat dengan Allah Swt. Ketenangan hati akan menjadikan diri kita kuat menahan godaan hawa nafsu. Kedekatan kita dengan Allah Swt. akan semakin menambah kekuatan dalam melawan hawa nafsu.

Sedangkan husnuzhan kepada Allah Swt. dapat dilakukan dengan tiga sikap, yaitu sebagai berikut:
a. Selalu yakin bahwa Allah Swt. akan senantiasa memberi yang terbaik bagi hamba-Nya
b. Selalu mensyukuri nikmat dari Allah Swt. Rasa syukur dapat diungkapkan dengan mengucapkan hamdalah, dan menggunakan nikmat tersebut sesuai kehendak Allah Swt.
c. Bersikap tawakal, sabar, dan ikhlas atas semua cobaan dan ujian dari Allah Swt. Ingatlah bahwa Allah Swt. tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya dan semua cobaan yang diberikan oleh Allah Swt. pasti ada hikmahnya

Husnuzhan kepada orang lain dapat dilakukan dengan sikap sebagai berikut:
1) Melihat seseorang dari sisi baiknya, ditunjukkan dengan rasa senang, dan berpikir positif
2) Selalu memaafkan kesalahan yang dilakukan orang lain terhadap dirinya
3) Bersikap hormat pada orang lain tanpa ada rasa curiga, dengki, dan perasaan tidak senang tanpa alasan yang jelas
4) Selalu mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan oleh seseorang
5) Melupakan kesalahan yang dilakukan orang lain terhadap dirinya.

Husnuzhan kepada diri sendiri dapat dilakukan dengan sikap sebagai berikut.
1) Yakin bahwa dirinya mampu melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain
2) Selalu yakin dapat menyelesaikan semua masalah, tantangan hidup, dan tidak mudah putus asa bila menemui kesulitan atau kegagalan

3) Berusaha sekuat tenaga untuk mencapai semua keinginan dengan kerja cerdas, kerja ikhlas, dan kerja tuntas, penuh dengan inisiatif untuk meraih cita-cita

Sumber: Buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMA SMK Kelas X, Kementerian Agama R.I. 2019

TUGAS 1
1.      Bacalah dengan baik penjelasan tentang kontrol diri dan prasangka baik
2.      Salinlah QS. Al-Hujurat ayat 12 dan terjemahnya dengan baik di buku catatanmu
      
       TUGAS 2
       1. Bacalah Q.S. al-Hujurat ayat 12 sebanyak mungkin (70 x) dengan baik dan lancar
       2. Videokan bacaanmu yang baik dan lancar tersebut




Rabu, 22 Juli 2020

HORMATI DAN PATUHI ORANG TUA





MATERI KELAS XI

Hormat dan patuh kepada orang tua adalah kewajiban setiap anak. Dalam agama Islam mengajarkan berbakti kepada orang tua adalah hal yang sangat penting. Istilah lain berbakti kepada orang tua adalah bir al-walidain. Maksud berbakti, menurut al-Atsari adalah menaati kedua orang tua dengan melakukan semua apa yang mereka perintahkan selama hal tersebut tidak bermaksiat kepada Allah Swt.
Bukti nyata perhatian Islam terhadap perintah berbakti kepada orang tua, setidaknya ada empat ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang perintah berbakti kepada orang tua disandingkan dengan larangan menyekutukan Allah Swt., di antaranya dalam Q.S. al-Isra/17: 23-24.



Terjemah
23.  Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.
24.  Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”

Dari Q.S. al-Isra ayat 23, ada kata qadha, kalau dilihat dari beberap tafsir mempunyai makna yang berbeda. Misalnya, Ibnu Katsir mengartikan dengan mewasiatkan, sedangkan al-Qurtuby mengartikan dengan memerintahkan, menetapkan, dan mewajibkan.
Secara umum, ayat di atas menegaskan perintah untuk berbuat baik kepada orang tua. Apalagi melihat redaksi ayat tersebut, sebelum perintah berbuat baik kepada orang tua, dilarang menyekutukan Allah Swt. Asy-Syaukani dalam hal ini menjelaskan, “Allah memerintahkan untuk berbuat baik dan beribadah kepada-Nya. Ini pemberitahuan tentang betapa besar haq mereka berdua, sedangkan membantu urusan-urusan mereka, maka ini adalah perkara yang tidak bersembunyi lagi (perintahnya).”
Bagaimana bentuk berbuat baik kepada orang tua? Setidaknya ada lima hal yang dapat kita ambil pelajaran dari Q.S. al-Isra/17:23-24, yaitu, sebagai berikut:

a. Jangan engkau mengatakan kepada keduanya uf
Dalam Q.S. al-Isra ayat 23 di atas, seorang anak dilarang mengatakan uf. Menurut Quraisy Syihab, bukan karena kata itu, tetapi kandungan kata itu oleh masyarakat Arab, hal tersebut dianggap penghinaan. Sedangkan menurut Imam Ja’far Shadiq mengatakan jika ada perkataan yang lebih ringan dari “ah”, maka Allah akan menyebutkan kata itu. Dalam Al-Qur’an dan terjemahnya yang dikeluarkan Kementerian Agama, kata uf diartikan dengan ah.
Mengapa tidak boleh? karena kata tersebut di masyarakat dinilai sebagai ucapan kekesalan dan penghinaan. Pertanyaannya, berkata ah saja tidak boleh, apalagi kata yang lebih panjang yang menyakiti hati orang tua?

b. Jangan membentak keduanya (walaa tanharhumaa)
Ayat ini melarang anak membentak kepada orang tua, baik berupa lisan maupun sikap. Dengan membentak tentunya orang tua akan sakit hati, padahal orang tua yang merawat, membesarkan,
dan mendidik anaknya.

c. Bertutur kata dengan perkataan yang baik (waqul lahumaa qaulan karima)
Ini adalah perintah anak kepada orang tua agar bertutur kata dengan ucapan yang baik. Jangan sampai melakukan yang diungkap sebelumnya, yaitu berkata ah atau membentaknya.

d. Merendahkan diri kepada orang tua dengan penuh kasih saying (wakhfidz lahumaa janaaha al-dzulli min ar-rahmah)
Meskipun orang tuanya secara pendidikan lebih rendah, anak tidak boleh merasa sombong. Dengan kata lain, kita dilarang merendahkan diri kepada orang tua baik lisan maupun tindakan.

e. Selalu mendoakan orang tua
Sebagai anak shaleh dan shalehah, tentunya kita selalu mendoakan orang tua. Bagi yang masih hidup, didoakan semoga selalu diberi kesehatan, kemudahan dalam mencari rezeki, dan selalu dalam bimbingan Allah Swt. Sedangkan bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia, didoakan, semoga diampuni segala dosanya dan diberi kenikmatan di alam barzakh.
Terkait perintah berbuat baik kepada orang tua, tidak hanya dalam Al-Qur’an, tetapi juga ada di hadits Nabi Muhammad Saw. diantaranya:

Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah bersabda: Ridha Allah terletak kepada ridha orang tua. Murka Allah terletak pada kemurkaan orang tua (HR. Tirmidzi).

Dari hadits di atas menegaskan agar anak harus berbuat baik kepada orang tua. Jangan sampai ada anak durhaka dengan orang tua. Apalagi dalam hadits ini ada hubungannya dengan Allah Swt. Makanya, seorang anak harus berbakti kepada orang tua.

Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah Saw. “Amalan apakah yang dicintai oleh Allah Swt.” Beliau menjawab, “Salat pada waktunya.” Kemudian apa? Beliau menjawab, “Berbakti kepada orang tua.”, kemudian apa? Beliau menjawab, “Jihad _ Sabilillah.” (HR. Bukhari)

Dari hadits di atas menjelaskan bahwa posisi berbakti kepada orang tua menempati ranking kedua amalan yang dicintai Allah Swt. Ranking pertama adalah salat pada waktunya. Yang menarik amalan jihad _ sabililah berada posisi setelah birrul walidain.

Manfaat Hormat dan Patuh kepada Orang Tua
Berikut di antara manfaat hormat dan patuh kepada orang tua.
a. Berbuat baik kepada orang tua merupakan amalan yang utama. Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, perintah berbuat baik disandingkan dengan larangan menyekutukan Allah Swt. Bahkan
dalam hadits Nabi Muhammad Saw., berbuat baik kepada orang tua termasuk amalan utama yang dicintai Allah Swt., setelah amalan shalat pada waktunya;
b. Berbuat baik kepada orang tua mengantarkan kita mendapatkan ridha dari Allah Swt. Hal ini ditegaskan dalam hadits Nabi Muhammad Saw., bahwa ridha Allah terletak pada ridha orang tua;
c. Berbuat baik kepada orang tua dapat menghindari dari murka Allah Swt. karena murka Allah terletak pada murka orang tua sebagaimana dalam hadits yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya;
d. Salah satu sebab diampuni dosanya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya telah menimpa kepadaku dosa yang besar, apakah masih ada pintu taubat bagi saya? Maka Rasulullah bersabda: “Apakah ibumu masih hidup? berkata dia: “Tidak.” Bersabda Rasullah Saw: “Kalau bibimu masih ada?” dia berkata: “Ya”, bersabda Rasulullah: “Berbuatlah baiklah kepadanya.”
(H.R. Tirmidzi)
e. Berbuat baik kepada orang tua menjadi sebab masuknya ke surga. Hal ini se suai hadits Nabi Muhammad Saw. “Dari Mu’awiyah bin Jahimah r.a. Bahwasanya Jahimah datang kepada Rasul Saw. kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada Anda. Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Apakah kamu masih memiliki Ibu?” Berkata dia: “Ya”. Bersabda Rasulullah Saw.: “Surga itu di bawah telapak kakinya.” (H.R. an-Nasai)

2. Hormati dan Patuhi Guru
Guru mempunyai dua tugas yang mulia, yaitu menyampaikan ilmu pengetahuan dan membentuk karakter peserta didik. Dalam kajian Islam, guru disebut dengan murabbi, mu’alim, dan mu’addib. Chabib Thoha memberikan pengertian murabbi adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat rabbani yaitu nama bagi orang-orang yang bijaksana dan terpelajar dalam bidang pengetahuan. Sedangkan mu’alim bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan atau keterampilan. Sementara mua’adib adalah memberi adab dan mendidik peserta didik. Antara ketiga hal tersebut, seharusnya menjadi satu kesatuan yang harus dimiliki guru.

a. Manfaat Hormat dan Patuh Kepada Guru
Di antara manfaat hormat dan patuh kepada guru adalah.
1) Ilmu yang telah diterima akan lebih bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
2) Memudahkan dalam memahami materi pembelajaran yang sedang dipelajari. Karena dengan hormat dan patuh kepadanya, maka guru dengan senang hati menjelaskan materi pembelajaran.
3) Guru akan selalu mendoakan peserta didik dalam setiap doanya
agar diampuni segala dosanya dan diberi kemudahan dalam menjalankan amanah.

b. Cara Berbakti kepada Orang Tua
Di bawah ini adalah cara berbakti kepada orang tua. Dalam berbakti kepada orang tua dibagi menjadi dua, yaitu orang tua yang masih hidup dan orang tua yang sudah meninggal dunia. Di bawah ini adalah penjelasannya:

1) Di antara cara berbakti kepada orang tua yang masih hidup dalam kehidupan sehari-hari adalah:
a) sebelum berangkat sekolah bersalaman dengan orang tua, mohon doa restunya;
b) bertutur kata yang sopan dengan kedua orang tua baik di rumah maupun di luar rumah;
c) bersikap santun kepada orang tua baik di rumah maupun di luar rumah;
d) membantu kedua orang tua di rumah, misalnya: menyapu;
e) melaksanakan amanah orang tua untuk belajar dengan giat;
f ) mengikuti keinginan dan saran orang tua dalam aspek kehidupan, tentunya dengan catatan selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam;
g) mendoakan kedua orang tua, minimal setelah salat wajib;
h) merendahkan diri di hadapan orang tua dengan penuh kasih sayang;
i) mendahulukan berbakti kepada ibu setelah itu baru ayah.

2) Di antara cara berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal dunia adalah:
a) merawat jenazahnya dengan baik, yaitu memandikan, mengafani, menshalati, dan menguburkan;
b) mendoakan orang tua, semoga diampuni segala dosanya;
c) menjaga nama baik orang tua dengan selalu berbuat baik;
d) melaksanakan amanah orang tua untuk belajar yang sungguh-sungguh;
e) menjalin silaturrahim yang sudah dijalin orang tua waktu masih hidup;
f) menunaikan janji kedua orang tua, selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam;

c. Cara Berbakti kepada Guru
Dalam berbakti kepada guru dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, guru yang sekarang masih mengajar di sekolahmu dankedua, guru yang pernah mengajarmu pada jenjang sebelumnya.
Dari keduanya akan dijelaskan sebagai berikut.
1) Di antara cara berbakti kepada guru yang masih mengajar di sekolahmu, adalah:
a) saat bertemu di sekolah ataupun di luar sekolah, menyampaikan senyum, salam, dan sapa;
b) membantu menyiapkan persiapan pembelajaran di kelas, misalnya menghapus tulisan di papan tulis;
c) memperhatikan guru saat menjelaskan materi pembelajaran;
d) apabila bertanya, disampaikan dengan cara yang santun;
e) melaksanakan tugas pelajaran dengan sebaik-baiknya.
2) Di antara cara berbakti kepada guru yang pernah mengajar pada jenjang sebelumnya adalah:
a) apabila bertemu menyampaikan senyum, salam, dan sapa;
b) bertutur kata dan bersikap sopan dan santun;
c) menjalin silaturrahim;
d) mendoakannya semoga selalu diberi kesehatan, kemudahan, dan kesuksesan;
e) melaksanakan amanah yang diberikan untuk menjadi anak yang shaleh dan shalehah.


TUGAS 1
1.    Salinlah QS. Al-Isra ayat 23-24 lengkap dengan terjemahannya
2.    Bacalah ayat tersebut dengan tartil lalu videokan.

Sumber: Buku Pendidikan Agama Islam SMA SMK Kelas XI, Kementerian Agama R.I., 2019