Rabu, 22 Januari 2014

PROFESIONALISME GURU PASCA SERTIFIKASI

Kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 % membuat banyak kalangan khususnya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan girang. Berbagai kebijakan berkaitan dengan dunia pendidikan nampaknya mengarah pada perubahan ke arah yang lebih baik. Para guru yang menjadi ujung tombak pendidikan di berbagai pelosok pun bersyukur. Apalagi mereka yang dinyatakan lulus dalam sertifikasi. Terlepas dari lulus murni, ikut diklat atau remedial, yang jelas ada kebanggaan tersendiri setelah “dikukuhkan” sebagai guru profesional. Artinya, guru yang memiliki kompetensi dalam melaksanakan tugas pokoknya mempersiapkan generasi bangsa ini ke depan. Guru yang layak menerima tunjangan sebagai upaya perbaikan nasibnya agar profesi yang dijalaninya selama ini “diakui” sebagai profesi dan “disamakan” dengan profesi-profesi lainnya yang dianggap layak sebagai profesi. Bukan profesi “ikhlas beramal”, “lillahi ta’ala”, “kerja bakti dan bagimu negeri” atau istilah sejenis lainnya seperti “pahlawan tanpa tanda jasa”. Guru benar-benar sebagai sosok yang siap untuk digugu dan ditiru, siap memenuhi panggilan tugas dan kewajiban dengan segala tanggungjawabnya, kemudian siap menerima tunjangan sebagai konsekuensi dari sebuah profesionalitas.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah tingkat profesionalisme guru pasca sertifikasi. Setelah ada jaminan kesejahteraan yang lebih baik dari sebelumnya, apakah mereka yang telah disertifikasi itu lebih baik dari sebelumnya? Atau bagaimana perbandingannya dengan guru yang belum disertifikasi? Pertanyaan ini sekedar untuk menggugah saja, terutama tanggungjawab moral dalam membina generasi ke depan. Hal ini mungkin tidak hanya untuk profesi guru, tapi apapun profesinya perlu dilandasi dengan tanggungjawab moral terutama dengan Sang Pencipta. Jika setiap profesi dilandasi dengan kesadaran ini, maka tidak akan ada penyelewengan-penyelewengan dalam profesinya. Guru tidak akan makan gaji buta karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Kepala sekolah tidak akan menyelewengkan anggaran yang ada dan memanipulasi pelaporan. Atasan tidak akan “menyunat” anggaran yang “sedikit” itu untuk “lain-lain” dan menekan bawahan agar menutupi dengan pengeluaran fiktif. Boleh jadi, “kebohongan struktural” seperti ini sering terjadi di lingkungan kita termasuk dunia pendidikan tetapi sulit untuk menghindarinya apalagi meninggalkannya. Kebingungan akan terjadi pada tingkat paling bawah karena begitu banyak yang harus ditutupi. Tidak heran kalau ada siswa yang menipu orang tua dengan berbagai kebutuhan fiktif sekolah. Ada pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Kalau guru sudah kencing berlari, bagaimana kencing muridnya? 
Terlepas dari itu semua, perbaikan nasib guru melalui sertifikasi dan tunjangan lainnya menjadikan profesi ini kembali diminati sekalipun tingkat kualitasnya masih tetap harus dipertanyakan. Rekruitmen guru tidak saja pada segi kuantitasnya tapi juga kualitasnya. Sekalipun fakultas keguruan kembali diminati, namun sangat jarang –kalau bisa dibilang tidak ada dan mungkin terpaksa- dijumpai bahwa siswa yang menduduki rangking atas masuk ke sana. Mereka cenderung ke fakultas lain yang dianggap lebih menjamin masa depannya. Sekalipun begitu tetap harus ada rasa syukur sebagai hamba yang mendapatkan anugrah sertifikasi. Rasa syukur yang diwujudkan melalui kerja profesional dan tanggungjawab moral terhadap profesi yang dijalani…
Makassar, 25 Februari 2009

PESANTREN SEBAGAI PENGEMBAN TEORI PEMBELAJARAN

I.  PENDAHULUAN
Dalam sejarah Islam Indonesia, pesantren memiliki peranan besar dalam membangun masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Keberadaan pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia sering mendapat pujian, apalagi dari masyarakat muslim sendiri. Pada saat yang sama, ketiga lembaga ini sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Bahkan eksistensi pesantren “dituding” sebagai –maaf- “sarang teroris”. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Dalam membahas persoalan pesantren sebagai pelaksana atau pengemban teori pembelajaran, diperlukan pendekatan historis untuk melihat sejauhmana implementasinya dan penyempurnaan teori selanjutnya. Tulisan ini mencoba mengulas bagaimana perkembangan pesantren sebagai pengemban teori pembelajaran dengan pendekatan historis.

II.  PEMBAHASAN
A. Tinjauan Historis Pesantren
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji, langgar di Jawa atau surau di Minangkabau, rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India. (Steenbrink,1994)
Merujuk pada pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti madrasah dan asrama tempat mengaji, belajar agama Islam.(Depdikbud, 1995) Sedangkan makna “santri’ itu sendiri ada beberapa pandangan. Zamakhsyari Dhofier misalnya, sebagaimana pandangan  John menyebutkan bahwa “santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Berg –dalam buku yang sama- berpendapat bahwa “santri” berasal dari kata “shastri” dalam bahasa India yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, orang sarjana, ahli kitab suci agama Hindu.(Dhofier, 1984) Dalam Ensiklopedi Islam juga dijelaskan bahwa santri berarti orang yang belajar agama Islam, sehingga pesantren diartikan sebagai tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.(Poerbakawatja, 1976) Menurut Nurcholis Madjid, kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana pergi.(Madjid, 1997) Namun bahasa Jawa juga tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Hindu dan Budha dalam pembentukannya.
Menurut Haidar, sebelum kedatangan Islam, telah ada lembaga pendidikan Jawa Kuno yang disebut pawiyatan. Di lembaga itu tinggal Ki Ajar dengan cantrik. Ki Ajar orang yang mengajar dan cantrik orang yang diajar.  Kedua kelompok ini tinggal di satu kompleks dan di sini terjadi proses belajar mengajar.(Daulay, 1997) Haidar tidak menjelaskan lebih rinci tentang metode dan materi yang digunakan oleh lembaga pawiyatan tersebut, sehingga sulit untuk mengasumsikan apakah lembaga itu juga yang dimasudkan Sumarsono Mestoko sebagai lembaga pendidikan Hindu yang dikembangkan oleh pesantren.
Syukri Zarkasyi menguraikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama dan di dalamnya ada yang bertindak sebagai pendidik dan sentral figurnya yaitu kyai, ajengan atau tuan guru, juga ada santri, asrama, ruang belajar, dan masjid sebagai sentralnya.(Zarkasyi, 1990). Seperti pandangan Zamakhsyari Dhofier, penulis cenderung setuju dengan pengertian ini karena mencakup semua unsur yang ada di pesantren umumnya. Pondok, masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren.
Terlepas dari berbagai polemik tentang keaslian asal usul pesantren –dari India atau asli Indonesia- dengan berbagai argumentasinya, yang jelas bahwa pengembangan sistem pesantren setelah kedatangan Islam dengan ciri khas padepokan dalam masyarakat Hindu tersebut mampu bertahan. Hal ini karena sistem tersebut sudah melembaga di masyarakat dan memiliki tokoh sentral dengan daya tarik pribadi seperti ilmu yang mendalam, sifat mulia, bijaksana, luhur, taqwa, saleh, dan semua sifat baik.(Mestoko, 1995). Bagi penulis, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya lahir dengan mengakomodir sistem yang telah ada di masyarakat. Meskipun menggunakan sistem yang mirip dengan padepokan agama Hindu atau pawiyatan Jawa Kuno, namun substansi materi dan rutinitas aktifitas di dalamnya jelas berbeda. Alasan lainnya bahwa sistem pendidikan pesantren juga terdapat dalam dunia Islam meskipun dengan bentuk yang agak berbeda.

B.  Sistem Pembelajaran Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat.(Azra, 2002)
Dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama tentu saja adalah Al-Qur’an dan Hadis. Tujuan-tujuan yang lebih terinci dirumuskan melalui materi, metode dan sistem evaluasi yang menekankan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Kyai sebagai pendidik di pesantren menjadi figur sentral yang dipatuhi dan ditiru oleh para santrinya. Kekuatan Kyai berakar pada  kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan.(Tafsir, 1994). Besar kecilnya atau dalam dangkalnya bahan studi yang diberikan di pesantren tergantung kyai bersangkutan. Luas dan sempitnya bahan studi juga tidak sama. Lama belajar pun demikian halnya. Ada yang belajar selama satu tahun, ada yang mencapai sepuluh tahun atau lebih.
Sosok kyai pengasuh pesantren juga sekaligus sebagai "kurikulum" dari pesantrennya. Artinya seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya berupa pengkajian kitab klasik, ditentukan oleh klasifikasi keilmuan dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fiqh, maka kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab fiqh, jika kyainya ahli ilmu tasawuf maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-kitab tasawuf, begitu seterusnya. Prinsip ini sebenarnya sangat modern, seperti yang berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya Guru Besar dari cabang keilmuan tersebut.
Kyai memang tidak didasarkan pada jenjang pendidikan secara ketat dan khusus. Menurut Muhammad Tholhah Hasan, ada 3 syarat kyai, yaitu memiliki keilmuan agama yang cukup luas di atas ukuran rata-rata masyarakatnya, memiliki integritas moral sehingga menjadi panutan masyarakatnya, dan mendapat pengakuan yang kuat dari masyarakatnya  (Hasan, 2003).
Di pesantren, pelajaran utama yang diberikan adalah dogma keagamaan yaitu dasar kepercayaan dan keyakinan Islam (Gunawan, 1995). Di sini juga diajarkan Al-Qur’an dan Hadis, fiqh serta tasawuf. Agar dapat menguasainya maka diajarkan pula bahasa Arab dari semua segi (gramatika, morfologi, fonetika dan sintaksis). Literatur ilmu-ilmu tersebut menggunakan kitab klasik atau yang biasa dikenal dengan kitab kuning. Model-model pembelajaran di pesantren (salafiyah) bersifat non klasikal seperti wetonan dan sorogan. Wetonan, (proses belajar kolektif) yaitu kyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dengan santrinya membawa  kitab yang sama, lalu santri menyimak bacaan kyai. Sorogan, (proses belajar individual) yaitu santri mengajukan suatu kitab kepada kyai untuk dibaca di hadapannya, kesalahan bacaan langsung dibetulkan kyai  (Mujib, 2006).
Pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan di pesantren sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini, kejujuran, sikap tawadhu, menghormati sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu diperpegangi setiap pencari ilmu.
Tipologi pesantren dapat dibagi menjadi empat kelompok.
Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu,
disebut salafi. Kedua, Pesantren yang memadukan sistem lama dengan
sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren "modern". Ketiga
Pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya
diasramakan 24 jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu
agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Bahkan, Muhmidayeli membaginya dalam 5 Pola Pesantren yaitu:
1)      Pola Pesantren A dengan materi kitab-kitab klasik dan metode sorogan, bandongan (wetonan) dan hafalan dengan penekanan pada aspek moral.
2)      Pola Pesantren B seperti pola A dengan sistem sorogan dan pengangkatan asisten dari santri senior untuk membantu kyai.
3)      Pola Pesantren C  yang memasukkan beberapa sumber pengajaran seperti madrasah sebagai upaya sistematisasi sistem pengajaran ilmu-ilmu agama.
4)      Pola Pesantren D, memberikan prioritas terhadap ketrampilan yang terkadang pesantren menjadi pilot project suatu kegiatan industri.
5)      Pola Pesantren E mencakup sektor pendidikan keislaman klasik, menyelenggarakan sekolah baik umum mapun agama dengan sistem pengajaran beragam.(Muhmidayeli, 2007)
Pada umumnya pesantren telah menggunakan sistem klasikal dengan mengadopsi madrasah sekaligus sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan dan proses pembelajarannya, bahkan tidak sedikit pesantren yang telah membuka sekolah seperti SD, SMP, SMA.
Ciri yang masih tetap dipertahankan di pesantren adalah pengajian kitab kuning oleh pengasuh pondok pesantren yang dilakukan di masjid. Satu hal yang menarik bahwa metode sorogan dan wetonan yang digunakan bisa tetap dipertahankan asalkan tidak menyalahi prinsip pengembangan ilmu pengetahuan seperti interpretasi yang tidak up to date lagi untuk diterapkan dalam konteks kekinian.

III. PENUTUP
Mengakhiri tulisan sederhana ini, penulis mencoba menyimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang lahir dari sistem pendidikan masyarakat Indonesia dengan sistem pembelajaran sorogan dan wetonan yang kemudian berkembang dengan sistem klasikal.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002.
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.
Gunawan, Ary H., Kebijakan-kebijakan Pendidikan, Cet. II; Jajkarta: PT. Rineka Cipta, 1995.
Hasan, Muhammad Tholhah, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Cet. II; Jakarta: Lantabora Press, 2003.
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Mestoko, Sumarsono, dkk., Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Muhmidayeli, et.al., Membangun Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I; Pekanbaru: PPs UIN Suska Riau, 2007.
Mujib, Abd., Ilmu Pendidikan Islam, Cet I; Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976.
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Cet. II; Jakarta: LP3ES, 1994.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Zarkasyi, Abdullah Syukri, Pondok Pesantren Sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta: Unismuh Surakarta, 1990.

PERUSAK ISLAM

Dalam kehidupan ini, ada orang-orang yang bisa digolongkan atau dianggap sebagai perusak agama Islam. Ironisnya mereka adalah berasal dari golongan Islam itu sendiri. Kemunculan golongan ini merupakan bencana bagi Islam karena mereka memiliki sifat Al Wahan atau cinta dunia takut mati. Mereka tidak bisa menjalankan syariat Allah dengan baik dan cenderung menyelewengkan syariat itu sendiri. Siapakah mereka itu ?
Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya menyatakan :

“Ada tiga orang yang bisa dianggap sebagai perusak agama yaitu ulama yang menyeleweng, penguasa yang zalim dan ahli ibadah yang jahil” (HR. Imam Ad Dailami dari Ibnu Abbas)

Pertama, Ulama yang menyeleweng. Menyeleweng artinya menyimpang dari kebenaran. Ulama yang menyeleweng artinya yang suka berbuat maksiat atau membela kemaksiatan, tidak punya pendirian dan mudah didikte atau dipengaruhi oleh orang yang tidak suka akan kebenaran. Yang lebih berbahaya lagi jika ulama seperti ini dikuasai oleh penguasa yang tidak benar, maka ia akan memberika fatwa-fatwa dan argumentasi demi berlangsungnya proyek maksiat tersebut.
Masyarakat awam yang tidak memahami tentu akan menganggap bahwa maksiat yang mereka lakukan boleh saja karena ulama yang mereka anggap lebih tahu tentang hukum, justru melakukannya. Mereka tidak sadar bahwa ulama panutan mereka itu hanya mementingkan diri sendiri dibandingkan kepentingan umat. Ulama seperti inilah yang menjadi penyebab tertutupnya suatu kebenaran dan dianggap sebagai perusak agama.

Kedua adalah Penguasa yang zalim. Penguasa (umara) sebenarnya sama dengan ulama karena menjadi panutan masyarakat dan kepadanya juga biasanya orang mengadu untuk mendapatkan keadilan. Namun jika penguasa sudah berlaku zalim, bertindak sewenang-wenang, berbuat maksiat bahkan bertindak sebagai pelindung tempat maksiat, cenderung menyalahkan yang benar dan membela yang jelas salah, maka akan terjadi kesengsaraan terhadap orang yang dipimpinnya.
Penguasa seperti ini tidak bisa dijadikan panutan sebab bagaimana mungkin dia melindungi rakyatnya dari kezaliman, sedang ia sendiri banyak menzalimi orang lain. Kebenaran akan bisa ditegakkan di tengah-tengah umat jika ulama dan penguasanya adalah orang yang berada dalam kebenaran.

Ketiga, ahli ibadah yang jahil. Hadits Rasulullah menjelaskan bahwa ahli ibadah yang dimaksud adalah orang yang kuat dan banyak beribadah, baik yang wajib ataupun yang sunah. Namun ia jahil atau bodoh terhadap ajaran agamanya seperti masalah halal haram, antara yang sah dan batal, rukun dan sunah dalam suatu amal ibadah. Kalaupun beribadah, dilaksanakan tanpa ilmu dan hanya ikut-ikutan saja. Tidak ada usaha untuk mencari tahu dan mempelajari tentang amal ibadah yang dikerjakannya. Mereka tidak mau mencari guru untuk belajar ataupun membaca buku. Jika ditanya, tentu ia tidak bisa menjawab karena memang dia bodoh dan tidak mau belajar. Hal ini bisa membahayakan karena bisa menyesatkan orang lain.
Dari ketiga golongan perusak agama tersebut, Rasulullah saw mendahulukan ulama karena bahayanya lebih besar dibandingkan yang lain. Namun bukan berarti dua golongan lainnya tidak penting dan diabaikan. Ketiganya perlu mendapat perhatian yang sama agar kemurnian Islam tetap terjaga dengan benar. (Dari berbagai sumber)
Makassar, 6 April 2009

HIJRAH: MOMENTUM PERUBAHAN

Peringatan Tahun Baru setiap tanggal 1 Muharam tidak bisa lepas dari peristiwa hijrah. Kepindahan Nabi Muhammad Saw dan kaum muslimin dari Mekkah ke Madinah akibat pressure dan intimidasi kafir Quraisy merupakan upaya strategis pengembangan Islam sebagai agama misi. Sejarah membuktikan, bahwa Madinah kemudian menjadi pusat pemerintahan Islam yang mampu memberikan nilai-nilai toleransi dalam heterogenitas sosial baik antar suku maupun agama.
Sekalipun peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rabiul Awwal, namun tidak bisa dipisahkan begitu saja dari bulan Muharam yang seakan-akan ”identik” dengan hijrah. Hal ini bukan berarti menganggap bahwa peristiwa hijrah terjadi pada bulan Muharam. Tetapi nilai-nilai dari peristiwa itulah yang diambil sebagai pelajaran pada bulan Muharam.  Umar bin Khattab adalah orang pertama yang menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan dalam tahun Hijriyah setelah bermusyawarah dengan para sahabat. Umar beralasan bahwa hijrah adalah peristiwa yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Sedangkan bulan Muharam dipilih sebagai awal kalender Hijriyah karena bulan ini datang sesudah  Dzulhijjah dimana syariat haji dilakukan oleh kaum muslimin sebagai rukun yang terakhir dalam rukun Islam. Penetapan ini terjadi pada tahun ke-7 atau 8 H.
Hijrah itu sendiri memiliki makna yang luas. Al Qur’an memberikan gambaran hijrah dalam QS. An Nisa (4): 100: ”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menurut Prof. Dr. Mahmoud Syaltout, guru besar Universitas Al Azhar Kairo, ada dua macam hijrah yaitu hijrah badaniyah dan hijrah qalbiyah. Jika dikembangkan, hal ini bisa dimaknai dengan hijrah secara lahir dan batin atau hijrah fisik dan psikis. Dengan berhijrah, orang akan mendapatkan suatu pengalaman dan wawasan baru yang bisa dijadikan pelajaran untuk menjadikan dirinya sebagai orang yang beruntung –hari ini lebih baik dari hari kemarin-. Ia tidak akan menjadi seperti katak dalam tempurung yang tidak pernah tahu betapa besarnya kerbau.
Hijrah memberikan sebuah semangat baru, semangat perubahan. Tentu saja perubahan ke arah positif mulai dari pola pikir, tingkah laku, pakaian, gaya hidup dan sebagainya. Pola pikir yang positif, tidak saling menyakiti, sikut menyikut dan sikat menyikat, berprasangka buruk dan sejenisnya akan membawa perubahan tingkah laku menjadi santun dalam segala hal. Pakaian yang sopan akan menghindarkan diri dari pelecehan. Begitu pula gaya hidup yang hedonis dan konsumtif mengurangi kepekaan sosial. Pada akhirnya, semangat perubahan ini akan bermuara pada semangat untuk memberikan yang terbaik dari diri ini semata-mata karena penghambaan terhadap Sang Pencipta. Itulah teladan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. untuk umat manusia.:)
Makassar, 6 April 2009

Selasa, 21 Januari 2014

MUHASABAH AWAL TAHUN

Ada dua momen penting yang akan dihadapi dalam minggu ini, pertama,  Tahun Baru 1 Muharam 1430 H, yang peringatannya biasa diisi dengan ceramah, tabligh akbar, zikir bersama dan semacamnya.  Kedua, Tahun Baru 1 Januari 2009 M. yang umumnya diperingati dengan meriah mulai tengah malam hingga pagi dengan berbagai acara hura-hura, kembang api, petasan dan semacamnya. Dua tahun baru yang terkesan kontradiktif dalam peringatannya. Bagi mereka yang memahami akan nilai-nilai religius, tentu akan membatasi diri dalam kegiatan yang bersifat hura-hura dan pemborosan, apapun alasannya karena hal tersebut lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat. Mereka lebih berpikir untuk bertafakur dan bermuhasabah atas bertambahnya umur, karena sesungguhnya dengan bertambah umur, pada  hakekatnya adalah berkurang kesempatan untuk hidup di dunia ini.
Muhasabah memang harus dilakukan setiap hari, setiap saat karena kita tidak tahu kapan maut menjemput. Namun inilah wujud syukur selaku hamba terhadap nikmat kesempatan yang diberikan Allah Swt. untuk bisa menikmati sisa hidup. Umur adalah modal berharga dalam kehidupan manusia di dunia yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Rasulullah saw bersabda: ”Tidak akan tergelincir kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum menjawab empat pertanyaan: tentang umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya digunakan untuk apa, tentang hartanya darimana diperoleh dan kemana dibelanjakan, dan ilmunya sudahkan diamalkan?” (HR. Bazar dan Thabrani)
Kalaulah umur adalah amanat Tuhan, tentu setiap muslim berkewajiban memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Banyak hal bisa dilakukan melalui berbagai kesalehan, apakah kesalehan individual atau kesalehan sosial, baik dalam pengertian yang sempit ataupun dalam arti yang luas. Singkatnya, setiap orang hendaklah menjadikan kehidupannya berkualitas. Dan kualitas seseorang bukan terletak pada panjang pendeknya usia, tapi pada amal ibadahnya. Rasulullah saw bersabda: ”Manusia yang paling baik adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya. Manusia yang buruk adalah yang paling panjang umurnya tapi amalnya buruk” (H.R. Ahmad)
Orang-orang yang senantiasa bermuhasabah tentu menyadari bahwa waktu yang berlalu setiap hari, tak ubahnya seperti lemari-lemari kosong yang lewat di hadapannya. Terserah kepada setiap individu, apakah akan mengisinya dengan hal-hal yang baik ataukah yang buruk, mengisinya dengan amal yang saleh ataukah amal yang salah. Atau bahkan membiarkannya lewat begitu saja dengan sia-sia.
Betapa banyak ayat Allah dalam Al-Quran yang mengisyaratkan tentang waktu. Semuanya mengindikasikan kepada pemanfaatan waktu dengan sebaik-baiknya, agar manusia tidak termasuk pada golongan orang yang merugi. Salah satunya adalah sebagaimana firman Allah dalam surat Al Asr : 1 – 3 : ”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al Asr : 1-3)
Banyak orang yang beruntung dengan umur yang dimilikinya, namun tidak sedikit pula yang celaka karena tertipu dengan umurnya. Inilah yang ditegaskan Nabi saw :”Dua nikmat yang tertipu olehnya kebanyakan manusia; nikmat sehat dan nikmat waktu luang” (H.R. Bukhari). Momen tahun baru, memberikan kesempatan bagi kita untuk bermuhasabah, melihat kembali diri ini sambil memperhitungkan dan memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah. Orang yang tidak menyibukkan dirinya dengan kebaikan dan kebenaran, maka ia akan menyibukkan dirinya dengan kejahatan dan kebatilan sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i Rahimahullahu: ”Jika anda tidak menyibukkan diri anda dengan kebenaran, maka ia akan menyibukkan anda dengan kebatilan.” Nabi saw. menganjurkan umatnya untuk memeriksa umurnya setiap kali menyadari umurnya bertambah pada setiap pergantian tahun.
Umur adalah rahasia Allah yang tiada seorangpun mengetahuinya. Bersyukurlah mereka yang mampu memanfaatkannya dan merugilah bagi yang melewatkannya. Selaku hamba Allah, kita hanya mampu bermohon dan berharap bahwa apa yang kita lakukan dalam mengisi kehidupan ini senantiasa menjadi amal saleh dan bernilai ibadah di mata Allah swt, Mudah-mudahan, memasuki dua tahun baru ini kita mampu untuk menjadi hamba Allah yang pandai mensyukuri akan kasih sayang yang diberikanNya. Amiin ya rabbal ’alamiin
Makassar, 20 Desember 2008

SANG MAHA KASIH

Allah swt adalah Sang Maha Kasih, dengan kasih sayangNya yang tak terbatas. Allah memberikan kasihNya kepada semua makhluk  (manusia,  hewan, tumbuhan dan sebagainya), tanpa pilih kasih apalagi pandang bulu. Kalau saja Allah swt memandang bulu dalam memberikan kasihNya, tentu makhluk berbulu yang paling banyak menerima kasihNya.  Kalau saja Allah swt melihat besar kecilnya makhluk, barangkali mereka yang bertubuh besar yang banyak menerima kasihNya. Begitulah Allah Yang Maha Kasih membagi kasih sayangNya dengan seadil-adilnya kepada semua, tidak peduli apakah Islam, Kristen, Yahudi ataukah tidak menyembah Tuhan sekalipun, semuanya tetap mendapatkan kasih sayang Allah swt.
Sebagai wujud terima kasih terhadap semua kasih yang diberikan Allah, sudah selayaknya kita senantiasa bersyukur dengan saling mengasihi sesama manusia bahkan dengan hewan ataupun tumbuhan dan alam sekitar kita. Barang siapa mengasihi yang di bumi maka Yang Dilangit akan mengasihinya. Demikianlah sunnatullah berlaku atas diri kita selaku hamba Allah. Ketika kita saling mengasihi maka Allahpun takkan tanggung-tanggung menambahkan kasihNya kepada kita. Saat kita tidak mengasihi alam dan lingkungan kita maka otomatis yang akan menerima akibatnya adalah kita juga. Kepedulian kita dalam membagi kasih sesama antara lain dengan menyantuni kaum dhu’afa dan anak yatim, apalagi di bulan Muharam dimana Rasulullah saw sebagai teladan ummat mencontohkan untuk membagi kasih sesama. Sebagai suri teladan yang baik (uswatun hasanah) Rasulullah adalah orang yang sangat peduli dengan kaum dhu’afa dan anak yatim bahkan beliau berdoa kepada Allah agar senantiasa bersama mereka, orang-orang miskin dan anak yatim.    Bagaimana dengan kita?
Makassar 01 November 2009

MENGHORMATI GURU SEBAGAI TELADAN RASULULLAH SAW


Guru adalah profesi yang luar biasa. Selaku orang yang berhadapan langsung dengan peserta didik, merekalah yang membentuk anak-anak Indonesia menjadi cerdas dan berkualitas sesuai dengan tujuan dari Pendidikan Nasional. Guru bisa dibilang adalah sosok yang paling berjasa dalam kehidupan ini. Dengan usaha yang gigih dan jerih payah yang tiada kenal lelah itulah kemudian muncul para cendekiawan, ulama dan ahli dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ingatlah bait-bait lagu yang sering dinyanyikan ketika kecil dulu dan sering muncul di layar kaca :
Kita bisa pandai menulis dan membaca karena siapa…
Kita bisa tahu beraneka bidang ilmu karena siapa…
Kita bisa pintar dibimbing pak guru… kita bisa pandai dibimbing bu guru
Gurulah pelita penerang dalam gulita.. Jasamu tiada tara…
Syair lagu tersebut sangat menggugah perasaan bagi siapa saja yang mendengarkan dan menghayati dengan baik. Apalagi setelah melalui suatu perenungan yang mendalam akan timbul suatu kesadaran untuk menghormati dan memuliakan guru. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam bahwa menghormati dan memuliakan guru adalah suatu kewajiban. Kelahiran Rasulullah Muhammad Saw. membawa perubahan yang luar biasa dalam segala sisi kehidupan manusia. Beliau tidak saja sebagai seorang suami, ayah dan pemimpin umat manusia tetapi lebih dari itu beliau teladan yang baik dalam berbagai peran dan profesi. Firman Allah Swt. dalam QS. Al Ahzab (33):21 : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah saw. memberikan suatu perintah dalam sabdanya: “Muliakanlah orang-orang yang kamu belajar daripadanya” atau “Barangsiapa yang menghormati orang-orang yang berilmu (alim) berarti ia menghormatiku
Bagaimanapun guru telah berusaha keras untuk mengajar dan mendidik guna memberi bekal dalam bidang ilmu pengetahuan, ketrampilan dan akhlak al-karimah (budi pekerti yang baik) sebagai bekal dan pedoman hidup. Sedangkan yang namanya “pak guru” atau “bu guru” tidak pernah meminta imbalan dari peserta didiknya. Itulah sebabnya guru kemudian mendapat gelar “Pahlawan tanpa tanda jasa”.  Bahkan dalam Islam guru adalah pewaris para Nabi dan rasul-rasul Allah karena tugasnya memberi penerangan serta pendidikan kepada manusia agar mengalami perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil, berakhlak mulia dan sebagainya.
Dengan demikian, sudah sepantasnyalah guru dihormati dan dimuliakan sebagaimana menghormati dan memuliakan kedua orang tua. Salah satu caranya adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw “Pelajarilah ilmu dan ajarilah manusia dan rendahkanlah diri kepada guru-guru serta berlaku lemah lembutlah terhadap murid-muridmu”. (HR. Tabrani)
Paling tidak, ada empat perintah dalam hadits tersebut yang harus dilakukan oleh setiap muslim, yaitu mempelajari ilmu, mengajarkan ilmu itu, hormat kepada guru dan berlaku lemah lembut terhadap peserta didik.
Perubahan zaman telah menjadikan nilai-nilai tersebut berkurang dari lingkungan pendidikan kita. Guru tidak lagi menjadi orang yang digugu dan ditiru sehingga peserta didik tidak lagi menghormatinya. Guru tidak lagi berupaya meningkatkan kemampuan profesinya. Transfer ilmu tidak dibarengi dengan transfer nilai kepada peserta didik. Beberapa kasus guru memukul peserta didiknya menjadi indikator hilangnya kesabaran dan kelemahlembutan  yang harus dimiliki seorang guru. Imbasnya, peserta didik tidak lagi menaruh hormat terhadap gurunya. Boleh jadi hal ini karena pertama, guru itu sendiri yang tidak memposisikan dirinya sebagai orang yang pantas dan harus dihormati. Kedua, karena memang dasarnya peserta didik itu sendiri yang terpengaruh dengan pergaulan dari luar  dunia pendidikan yang tidak sesuai dengan norma-norma agama. Padahal yang diinginkan seorang guru adalah sangat sederhana saja yaitu agar peserta didiknya rajin belajar, berakhlak mulia dan berhasil dalam hidupnya. Inilah kebanggaan seorang guru yang tidak bisa digantikan oleh materi apapun. Sebaliknya guru akan merasa malu dan tidak berhasil manakala peserta didiknya terjerumus kedalam kemaksiatan, tindakan kriminal dan prilaku negatif lainnya. Keberhasilan peserta didik adalah keberhasilan guru juga dan inilah yang kemudian akan menjadikan bangsa ini maju dan bemartabat dihadapan bangsa-bangsa lain. :) (Manado, 26 November 2011)


Ramadhan: Upaya Meng “up grade” Iman

Ramadhan kembali hadir dengan membawa sejuta harapan bagi mereka yang ingin memprbaiki diri dan menata kehidupan rohaninya. Spritualitas orang yang beriman akan semakin marak dengan kehadiran Ramadhan. Tepatlah jika Dr. Muhammad Al Bahi dalam bukunya “Al Islam fi Hayatil Muslim”, menyatakan bahwa bulan suci Ramadhan adalah layak diberikan predikat Syahrur ruuhi wal iman (bulan yang mengandung nilai-nilai rohaniah dan keimanan).
Bulan Ramadhan sebagai syahrul Qur’an memberikan kesempatan kepada orang yang beriman untuk membaca dan mengkaji kedalaman maknanya. Salah satu hal yang mampu meningkatkan iman seseorang adalah ketika mempelajari Al Qur’an dan mendapatkan informasi tentang betapa pedihnya azab kubur atau betapa dahsyatnya Hari Kiamat serta betapa merana dan menderitanya penghuni neraka yang senantiasa disiksa setiap saat. Ada perasaan bergidik dan perasaan yang membuat bulu kuduk merinding, ketakutan setengah mati serta berdoa agar kiranya kepedihan itu tidak dirasakan. Lalu muncul tekad untuk memperbaiki diri dan tidak ingin merasakan kepedihan dan kesengsaraan tersebut.  Kondisi ini mengindikasikan bahwa masih ada sesuatu yang biasa disebut ”Iman”.
Iman adalah soal kepercayaan dan keyakinan. Jika sudah menyangkut keyakinan –dalam segala hal- maka seseorang tidak akan terpengaruh dengan apapun. Seorang siswa akan merasa “pede” dengan mode rambutnya yang seperti durian, sekalipun teman-temannya mengejek dan memperingatkan dia agar hati-hati dengan penjual balon.  Ini masalah keyakinan. Apapun tidak akan merubah pendirian seseorang yang merasa yakin dengan suatu hal. Perlu alasan-alasan yang logis, rasional dan benar-benar kuat untuk merubah suatu keyakinan.
Bagi seorang muslim, iman itu bertambah dan berkurang, seperti layaknya grafik bagi orang yang ”koma” di rumah sakit. Bagi malaikat, keimanannya cenderung stabil karena malaikat tidak dibekali nafsu dan hanya memiliki akal. Para nabi dan aulia, grafik keimanannya cenderung naik seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Al Qur’an memberikan sebuah gambaran bahwa iman itu laksana sebuah pohon yang akarnya menghujam kuat ke bumi dan rantingnya menggapai ke langit. Iman yang baik senantiasa teruji dengan berbagai persoalan kehidupan dan lingkungan yang mempengaruhinya. 
Ada dua perumpamaan, sebut saja A dan B. Si A tinggal di Makkah, rajin shalat, gaul dan ibadah lainnya. Adapun B tinggal di Los Angeles dengan segala kondisinya tapi tetap rajin shalat “say hello” dan beribadah lainnya. Di antara A dan B, manakah yang imannya lebih kuat? Si A rajin shalat karena lingkungannya mendukung. Masjidil haram dan segala ketentuan syariat Islam yang berlaku di kota itu membuat A semakin tebal imannya. Ini adalah kondisi yang wajar. Si B punya pengaruh lingkungan yang buruk (obrolan di kampus, bisa berakhir di tempat tidur) tapi tetap teguh memegang ajaran Islam dengan segala aturan mainnya. Ini hal yang sangat sulit. Semakin tinggi sebuah pohon akan semakin kencang angin menerpanya. Disinilah kualitas kekuatan pohon tersebut diuji. Sangat berbeda dengan pohon yang tidak pernah diterpa angin. Pohon tersebut hanya akan terlihat biasa-biasa saja. Seorang santri di pesantren yang senantiasa membaca Al Qur’an, belajar dengan tekun, ibadah yang rajin, sangat mungkin memelihara imannya. Tapi bagaimana dengan siswa di sekolah umum yang setiap harinya dipengaruhi oleh lingkungan yang maksiatnya bervariasi? bagaimana bisa mempertahankan iman di tengah pengaruh buruk yang ada?
Ibarat hape yang low bat, ia perlu dicharge. Komputer yang berkurang kemampuannya, perlu diupgrade. Ada beberapa cara untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt. diantaranya:
Pertama, sisihkan waktu untuk menghadiri majelis ilmu. Pahamilah majelis ilmu dengan segala keutamaannya. Dengan mendengar informasi-informasi keagamaan melalui HP, atau televisi atau media lainnya yang mendukung untuk mewujudkan peningkatan iman kepada Allah Swt.
Kedua, membaca Al Qur’an (tadabbur). Membaca Al Qur’an bukanlah sekedar melafazkan ayat demi ayat, juz demi juz hingga khatam, tetapi lebih dari itu mencari makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut melalui terjemahan. Kalau dengan terjemahan masih belum mengerti, bukalah tafsir. Tadabbur itu bisa melalui Al Qur’an dengan mengkaji ayat-ayat yang tertulis di dalamnya atau melalui alam sekitar yang dilihat dan diamati serta dinikmati sehari-hari.
Ketiga, Meninggalkan hal-hal yang menodai iman, dalam hal ini tentu saja dosa dan kemusyrikan. Imam Al Ghazali memperingatkan bahwa hati manusia seperti sebuah cermin yang jika tidak dibersihkan, maka setiap harinya akan semakin banyak debu yang menempel bahkan lama kelamaan akan sulit dikeluarkan dan tidak bisa bercermin lagi karena kabur. Antara fluktuasi iman dengan maksiat itu memiliki kaitan yang erat. Jadi, harus berikhtiar, berjuang meninggalkan maksiat kepada Allah Swt.
Keempat, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna yang seringkali menjadi prioritas ketimbang persoalan lain yang bermanfaat. Sebut saja ngobrol dengan teman. Bukannya tidak bole, tapi perlu diperhatikan materi pembicaraan yang tidak relevan untuk dibicarakan. Sekiranya hanya membahas setiap orang yang lewat atau hanya membicarakan kejelekan orang, sebaiknya ditinggalkan atau mengganti topik pembicaraan dengan sesuatu yang lebih berguna.
Kelima, hiasilah diri dengan zikir. Senantiasa mengingat Allah dalam segala bentuk baik lisan maupun perbuatan. Zikir amali (perbuatan) adalah lebih penting dan perlu diperhatikan. Banyak orang bisa melaksanakannya kalau hanya sekedar zikir lisan seperti Alhamdulillah, subhanallah, masya Allah, astaghfirullah dan sebagainya.
Semua itu merupakan sarana kita untuk mempertebal dan meningkatkan keimanan kita kepada Allah swt agar diakhir kehidupan kita benar-benar ada manfaat dan memperoleh akhir yang baik (husnul khatimah), Amiin… Wallahu a’lam (Makassar, 15 Agustus 2010)

MEMBERI DAN MEMINTA MAAF

Memaafkan (kesalahan) orang lain adalah salah satu anjuran Islam dan merupakan perbuatan yang amat mulia. Namun memaafkan (kesalahan) orang lain tidaklah mudah diwujudkan. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin ada hal-hal yang menyinggung perasaan orang lain, baik secara sengaja maupun tanpa disengaja. Tetapi, satu hal yang pasti, manusia sebagai makhluk yang dhaif, pasti pernah berbuat salah, karena manusia bukanlah makhluk bebas dari dosa (ma’shum). Ini tidak berarti tindakan pembenaran (justifikasi) terhadap perbuatan manusia yang boleh melakukan kesalahan. Karena merupakan sunnatullah bahwa makhluk Allah yang terus menerus berbuat salah adalah setan.
            Sebagai makhluk yang lemah, manusia tidak mungkin bisa menghindarkan diri dari godaan untuk berbuat salah. Karena memang sudah menjadi komitmen iblis untuk senantiasa menjerumuskan manusia yang mendekatkan diri kepada Allah swt. FirmanNya dalam QS. An Naas, 114 : 4-6 “Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.”
Dalam QS. Ali Imran, 3:133,  Allah swt berfirman : 
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”
Dari ayat ini, paling tidak ada dua syarat yang mesti dilakukan oleh manusia jika hendak memperoleh ampunan Allah. Pertama, menyadari kesalahan atas perbuatan yang lalai memenuhi panggilan Allah, karena itu segera memohon ampun. Kedua, ampunan Allah secara otomatis, jika sesama manusia telah saling memaafkan.
            Upaya untuk saling memaafkan diantara sesama manusia adalah merupakan perbuatan yang sulit. Untuk itu, setiap orang mempelajari dan mengenali kehidupan spritual masing-masing. Karena persoalan maaf memaafkan bukan sekedar perkataan tapi juga adanya suasana batin (moods) yang enak, sehingga mampu mendorong terciptanya kesadaran yang tulus untuk memberi dan menerima maaf. Dengan begitu batin kita benar-benar merasakan ketentraman.
            Menyatakan maaf sebaiknya dilakukan dengan sesegera mungkin, ketika merasa melakukan kesalahan. Karena menunda untuk meminta maaf seperti momentum pada bulan Syawal setiap tahun, dipandang sebagai perbuatan yang kurang bijak. Karena boleh jadi, usia kita tidak sampai Syawal tahun depan. Rasulullah saw membuat tradisi maaf memaafkan antara sesama ketika akan memasuki bulan Ramadhan, sehingga ketika berpuasa, diri kita telah bersih dari noda dan dosa.
            Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”. Karena itu muncul sebuah pertanyaan menarik: Adakah Allah mengampuni  dosa seseorang bilamana antara sesama manusia masih berdosa, belum saling memaafkan, tanpa terkecuali antara tua dan muda? Bila yang tua berbuat salah, maka harus lebih dulu mengulurkan tangan, jangan merasa ”mentang-mentang” lebih tua lalu ”sok menunggu” didatangi. Demikian juga antara atasan dan bawahan. Kalau atasan berbuat salah, segeralah minta maaf kepada bawahan. Jangan ”mentang-mentang” atasan, merasa benar melulu, sehingga tradisi memintakan maaf hanya berlaku bagi bawahan. Demikian sebaliknya, bila bawahan berbuat salah, segeralah minta maaf.
Bulan Syawal sebagai bulan peningkatan, menjadi momen yang tepat bagi kita untuk membina hubungan baik sesama manusia. Setelah sebulan lamanya terfokus untuk membina hablum minallah, maka inilah saatnya menyeimbangkan dengan hablum minannas. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan hidup dan bermuara pada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Aamiin.:) Wallahu a’lam. (Makassar, 25 November 2009)

LOYALITAS SANTRI TERHADAP KIAY

LOYALITAS SANTRI TERHADAP KIAY
(Menyoal Kiay sebagai Kepala Pemerintahan)


Fenomena kiay –ulama- menjadi kepala pemerintahan bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum Nabi Muhammad Saw., Nabi Daud telah memberikan sebuah contoh nyata bahwa di samping sebagai seorang Nabi (Pemimpin Agama) beliau juga sebagai seorang Raja (Pemimpin Negara). Posisi ini bahkan diturunkan kepada Nabi Sulaiman yang tentunya capable dalam mengemban amanah tersebut. Sejarah Islam telah menulis dengan tinta emas, betapa Rasulullah Muhammad Saw., pun melakukan hal yang sama bahkan dalam kurun waktu yang singkat mampu membangun sebuah sistem kenegaraan dengan posisi ganda beliau sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin Negara. Empat khalifah sesudah beliau –Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib- juga mengemban tugas yang sama, hingga para khalifah dinasti Umayah dan Abbasiyah.
Masa kerajaan Islam di nusantara tidak kalah dengan masa pemerintahan Umayah dan Abbasiyah. Di Kesultanan Yogyakarta misalnya, seorang Sultan juga merupakan pemimpin agama sehingga Sultan yang bersurban bukanlah suatu hal yang aneh. Di masa pra kemerdekaan, berapa banyak ulama yang menjadi menteri –selain menteri Agama- dan jabatan pemerintahan lainnya, bahkan pasca reformasi, Gus Dur sebagai seorang kiay membuktikan bahwa kiay layak untuk menjadi presiden dan mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia. Jadi, seorang pemimpin agama yang menjadi kepala pemerintahan atau sebaliknya bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan. Syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah memiliki kapabilitas dalam dua hal tersebut.
Dalam sejarah Islam Indonesia, pesantren memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Eksistensi pesantren di Indonesia sebagai lembaga yang banyak mencetak kader Islam, sering mendapat pujian, apalagi dari masyarakat muslim sendiri. Pada saat yang sama, lembaga ini sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Bahkan eksistensi pesantren dituding sebagai –maaf- “sarang teroris”. Tidak jarang pesantren “diobok-obok” pihak keamanan untuk mencari “teroris” yang diduga bersembunyi di pesantren. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Kiay yang nota bene berasal dari pesantren sesungguhnya memiliki keunggulan loyalitas dari santrinya dibanding pemimpin lainnya. Jika disingkap tabir kepesantrenan maka akan bisa dilihat betapa “doktrin” loyalitas yang dibangun adalah sangat kuat. Konsep ketaatan terhadap kiay sepertinya mampu menjadikan perekat yang sangat erat antara kiay dan santri terutama secara intelektual, emosional, dan spiritual.  Dalam kehidupan pesantren –dengan berbagai problematikanya- kiay adalah figur sentral yang memegang kendali penuh pesantren. Terlepas dari berbagai latar belakang kepemilikan pesantren, milik perorangan atau yayasan dan badan lainnya, tetap saja kiay tidak bisa dilepaskan dari pesantrennya.
Pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan di pesantren sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini, kejujuran, sikap tawadhu, menghormati sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu diperpegangi setiap pencari ilmu (santri). Itu sebabnya kiay benar-benar dihormati dan ditaati karena kiay merupakan sumber pengetahuan. Bahkan sosok kyai pengasuh pesantren juga sekaligus sebagai "kurikulum" dari pesantrennya. Artinya seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya berupa pengkajian kitab klasik, ditentukan oleh klasifikasi keilmuan dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fikih, maka kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab fikih, jika kyainya ahli ilmu tasawuf maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-kitab tasawuf, begitu seterusnya. Prinsip ini sebenarnya sangat modern, seperti yang berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya Guru Besar dari cabang keilmuan tersebut.
Kyai memang tidak didasarkan pada jenjang pendidikan secara ketat dan khusus. Menurut Muhammad Tholhah Hasan, ada 3 syarat kyai, yaitu memiliki keilmuan agama yang cukup luas di atas ukuran rata-rata masyarakatnya, memiliki integritas moral sehingga menjadi panutan masyarakatnya, dan mendapat pengakuan yang kuat dari masyarakatnya. Menurut hemat penulis, seseorang yang disebut kiay sudah barang tentu memiliki kemampuan sehingga mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Kiay tidak akan menyebut dirinya dengan “Kiay” jika bukan masyarakat yang menyandangkan gelar itu padanya. Betapa banyak orang yang pintar, memiliki pengetahuan di atas rata-rata tapi tidak disebut “Kiay”.
Dari sini mulai tergambarkan bahwa santri yang benar-benar “mondok” tidak akan pernah melawan atau membangkang terhadap kiaynya. Apa yang diperintahkan kiay adalah sebuah titah yang harus dilaksanakan dengan asumsi bahwa kiay tidak akan memberikan perintah untuk maksiat atau menzalimi orang lain. Jika polisi, -dengan pendidikan awal beberapa bulan itu- mampu mengatakan “Siap!” untuk perintah komandannya, atau kader partai yang rela berjibaku demi pemimpin dan partainya, bagaimana dengan santri yang bertahun-tahun digembleng kiaynya? Wallahu a’lam. (Makassar, 10 Aril 2010)




KISAH SEBATANG BAMBU

Sebatang bambu yang indah tumbuh di halaman rumah seorang petani. Batang bambu ini tumbuh tinggi menjulang di antara batang-batang bambu lainnya.
Suatu hari datanglah sang petani yang empunya pohon bambu itu.
Dia berkata kepada batang bambu,” Wahai bambu, maukah engkau kupakai untuk menjadi pipa saluran air, yang sangat berguna untuk mengairi sawahku?”
Batang bambu menjawabnya, “Oh tentu aku mau bila dapat berguna bagi engkau, Tuan. Tapi ceritakan apa yang akan kau lakukan untuk membuatku menjadi pipa saluran air itu.”
Sang petani menjawab, “Pertama, aku akan menebangmu untuk memisahkan engkau dari rumpunmu yang indah itu. Lalu aku akan membuang cabang-cabangmu yang dapat melukai orang yang memegangmu. Setelah itu aku akan membelah-belah engkau sesuai dengan keperluanku. Terakhir aku akan membuang sekat-sekat yang ada di dalam batangmu, supaya air dapat mengalir dengan lancar.
Apabila aku sudah selesai dengan pekerjaanku, engkau akan menjadi pipa yang akan mengalirkan air untuk mengairi sawahku sehingga padi yang kutanam dapat tumbuh dengan subur.”
Mendengar hal ini, batang bambu lama terdiam….. , kemudian dia berkata kepada petani, “Tuan, tentu aku akan merasa sangat sakit ketika engkau menebangku. Juga pasti akan sakit ketika engkau membuang cabang-cabangku, bahkan lebih sakit lagi ketika engkau membelah-belah batangku yang indah ini, dan pasti tak tertahankan ketika engkau mengorek-ngorek bagian dalam tubuhku untuk membuang sekat-sekat penghalang itu. Apakah aku akan kuat melalui semua proses itu, Tuan?”
Petani menjawab batang bambu itu, ” Wahai bambu, engkau pasti kuat melalui semua itu, karena aku memilihmu justru karena engkau yang paling kuat dari semua batang pada rumpun ini. Jadi tenanglah.”
Akhirnya batang bambu itu menyerah, “Baiklah, Tuan. Aku ingin sekali berguna bagimu. Ini aku, tebanglah aku, perbuatlah sesuai dengan yang kau kehendaki.”
Setelah petani selesai dengan pekerjaannya, batang bambu indah yang dulu hanya menjadi penghias halaman rumah petani, kini telah berubah menjadi pipa saluran air yang mengairi sawahnya sehingga padi dapat tumbuh dengan subur dan berbuah banyak.
Pernahkah kita berpikir bahwa dengan masalah yang datang silih berganti tak habis-habisnya, mungkin Allah sedang memproses kita untuk menjadi indah di hadapan-Nya? Sama seperti batang bambu itu, kita sedang ditempa, Allah sedang membuat kita sempurna untuk di pakai menjadi penyalur berkat. Dia sedang membuang kesombongan dan segala sifat kita yang tak berkenan bagi-Nya. Tapi jangan kuatir, kita pasti kuat karena Allah tak akan memberikan beban yang tak mampu kita pikul. Jadi maukah kita berserah pada kehendak Allah, membiarkan Dia bebas berkarya di dalam diri kita untuk menjadikan kita alat yang berguna bagi-Nya?
Seperti batang bambu itu, mari kita berkata, ” Ini aku Allah, perbuatlah sesuai dengan yang Kau kehendaki.”

http://gerakjalanesq.wordpress.com/2008/07/04/kisah-sebatang-bambu/

KARTINI DAN DUNIA PENDIDIKAN

Momen Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlepas dari pro dan kontra yang muncul dalam berbagai media, Kartini tetaplah sosok wanita inspiratif bagi berbagai kalangan, khususnya dunia pendidikan. Begitu pentingnya cita-cita R. A. Kartini dalam mewujudkan emansipasi wanita sehingga kaum Hawa saat ini bisa merasakan kemerdekaan dalam mewujudkan cita-citanya tanpa ada diskriminasi.  
Kartini barangkali hanyalah salah satu dari sekian banyak wanita luar biasa yang “dipublikasikan” sebagai perempuan yang mampu menginspirasi banyak kalangan untuk sebuah perubahan. Kartini sendiri barangkali tidak pernah membayangkan bahwa apa yang diperjuangkannya dahulu akan menjadi seperti saat ini. Pemikirannya akan pentingnya pendidikan untuk kaum perempuan sudah selayaknya dijadikan referensi untuk pengembangan dunia pendidikan saat ini.
Peringatan Hari Kartini oleh anak-anak perempuan dengan busana tradisional dan  berpakaian yang menggambarkan sebuah profesi, seperti polisi, dokter, hakim, guru, paramedis, dan lain sebagainya, sesungguhnya memberikan makna bahwa anak perempuan atau kaum perempuan boleh punya mimpi dan bercita-cita tinggi seperti layaknya laki-laki dengan berbagai profesinya namun tetap memegang teguh nilai-nilai budaya Indonesia, seperti yang diperjuangkan oleh Kartini. Bagi penulis, soal pendidikan perempuan adalah sesuatu yang wajib diperjuangkan. Islam sendiri membuka kesempatan seluas-luasnya bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan setinggi mungkin jauh sebelum Kartini dilahirkan.
Sekaranglah saatnya pendidikan perempuan Indonesia diperjuangkan tanpa ada batasan dan bentuk diskriminasi lainnya. Fakta masih banyaknya anak jalanan, gelandangan dan pengemis yang berkeliaran perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Kepedulian terhadap pendidikan anak-anak akan menentukan nasib bangsa ini ke depannya. Cukuplah angka-angka dan ranking kualitas pendidikan yang diurutkan itu menjadi data yang “mempermalukan” bangsa ini. Namun upaya untuk mencerdaskan bangsa ini tidak boleh berhenti.
Saatnya perempuan-perempuan masa kini sebagai pewaris cita-cita Kartini mulai berfikir untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia. Jika Kartini pada masanya bisa berjuang dari hadangan kolonialisme, maka tidak ada alasan bagi perempuan sekarang tidak bisa melanjutkan perjuangan Kartini. Tunjukkan bahwa perempuan Indonesia mampu mewarisi semangat kartini khususnya dalam bidang pendidikan sehingga mampu membawa setetes penyegaran di tengah dahaganya kualitas pendidikan Indonesia yang memprihatinkan. Dengan begitu Kartini tidak akan pernah mati, Kartini akan selalu ada dari masa ke masa, dari jaman ke jaman, bagaimanapun bentuk dan wujudnya. (Manado, 19 April 2012)


GENERASI RABBANI DAN RAMADHANI


Ramadhan telah berlalu dengan meninggalkan berbagai kesan bagi tiap-tiap mukmin dan muslim yang menemuinya. Kadar kesalehan yang meningkat –baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial- merupakan salah satu indikasi bahwa Ramadhan memberikan dampak positif yang luar biasa bagi mereka yang melaluinya. Masjid yang selalu ramai dikunjungi, bahkan pada setiap waktu salat memberikan isyarat bahwa Ramadhan adalah benar-benar sebagai bulan peningkatan. Di berbagai tempat dan media bertebaran kajian-kajian keislaman yang menunjukkan betapa kaum muslimin haus akan ilmu dan pengetahuan yang bersifat ukhrawi.
Persoalan yang muncul adalah berbaliknya kondisi seperti itu pasca Ramadhan. Bahkan ketika akhir Ramadhan mulai tampak fenomena menurunnya tingkat kesalehan itu. Kesibukan menjelang Idul Fitri sempat melalaikan sebagian muslim untuk memanfaatkan momen akhir Ramadhan. Kesibukan demi kesibukan dalam mempersiapkan hari raya melupakan orang untuk tetap tarwih dan tadarus Al Qur’an. Dan, kemeriahan Hari Raya menambah daftar panjang kelalaian sebagian muslim untuk semakin mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Para ulama kemudian memberikan tuntunan agar kaum muslimin tidak menjadi generasi yang Ramadhani, yaitu generasi yang hanya beribadah pada bulan Ramadhan saja. Namun lebih jauh lagi yaitu generasi yang Rabbani. Artinya, generasi yang konsisten beribadah sepanjang hidupnya, tidak terbatas pada waktu-waktu tertentu seperti bulan Ramadhan saja. Jadi, kembali ke diri kita masing-masing apakah termasuk dalam generasi yang Rabbani ataukah Ramadhani. Wallaahu a’lam.:) (Makassar, 25 September 2009)

Urgensi Ekstrakurikuler PAI

 A. Pendahuluan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.[1]
Sejalan dengan tujuan tersebut, dalam Bab X Pasal 36 disebutkan bahwa kurikulum yang disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia hendaklah memperhatikan beberapa hal, diantaranya peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia dan agama. Lebih khusus lagi ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 1 dan 3 bahwa pendidikan agama wajib diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.[2] Ketentuan ini menempatkan pendidikan agama pada posisi yang amat strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dewasa ini pendidikan agama menjadi sorotan tajam masyarakat. Banyaknya perilaku menyimpang peserta didik pada sekolah yang tidak sesuai dengan norma agama akhir-akhir ini mendorong berbagai pihak mempertanyakan efektivitas pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. Seringnya media cetak dan elektronik menayangkan perilaku amoral peserta didik di sekolah -mulai dari penyalahgunaan narkoba, miras, seks bebas hingga tawuran yang sangat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat- seakan menambah panjang daftar “buku dosa” kalangan pendidik sebagai salah satu unsur yang berpengaruh dalam proses pendidikan.
Fenomena tersebut seakan menunjukkan rendahnya kualitas Pendidikan Agama Islam di sekolah sebagai mata pelajaran yang mengedepankan pendidikan di bidang akhlak dan perilaku. Walaupun rendahnya kualitas Pendidikan Agama Islam di sekolah bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya penyimpangan perilaku siswa sebagaimana dijelaskan di atas, namun peran PAI harus menjadi agen perubahan (agent of change) dalam merubah perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Hal ini karena dalam PAI terdapat pesan moral yang didasarkan pada ajaran luhur Ilahiah.
Memang tidak adil menimpakan tanggung jawab munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu kepada pendidikan agama di sekolah, sebab pendidikan agama di sekolah bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan dalam pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. Meskipun demikian, perlu diakui bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama masih terdapat kelemahan-kelemahan yang mendorong dilakukannva inovasi pembelajaran terus menerus.
Pada persoalan keagamaan, tentu perlu mendapatkan perhatian lebih bagi semua komponen pendidikan, mengingat waktu penerapan secara khusus untuk pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah relatif sempit, yaitu hanya dua jam pelajaran dalam seminggu. Sebagian pihak memang tidak mempersoalkan keterbatasan alokasi waktu tersebut. Namun, setidaknya memberikan isyarat kepada pihak yang bertanggungjawab untuk memikirkan secara ekstra pola pembelajaran agama di luar kegiatan formal di sekolah.
Peran aktif dan kreatif guru sangat dituntut untuk menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menunjang pembelajaran PAI terutama pembinaan akhlak peserta didik, melalui keteladanan dan praktek nyata di lingkungannya. Tanggungjawab dalam menyiapkan generasi yang akan datang harus dipikirkan dan direncanakan secara matang. Islam sebagai ajaran yang komplit memberikan gambaran sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Nis±'/4 : 9:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Keberhasilan peserta didik dalam memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai agama Islam melalui pembelajaran PAI di sekolah perlu didukung keterlibatan orang tua dalam membina anaknya di rumah, termasuk memotivasi untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler PAI di luar jam pelajaran sekolah. Hal ini karena sebagian besar kehidupan peserta didik berlangsung di luar sekolah. Dalam satu minggu peserta didik menerima pembelajaran PAI selama 2 jam pelajaran atau 2 x 45 menit = 90 menit. Jika dipersentase, maka hanya 0,90 % pembinaan agama Islam di sekolah, dan 99,10% pembinaan agama Islam berlangsung di luar sekolah baik dalam keluarga maupun masyarakat.[3]
Dalam menyikapi hal tersebut -meskipun ada juga yang tidak mempersoalkan alokasi waktu PAI di sekolah- PAI selayaknya mendapatkan alokasi waktu yang proporsional. Adanya kerjasama dari semua pihak yang terkait dan peduli dengan pengembangan pendidikan agama sangat diperlukan dalam menyiasati kekurangan alokasi waktu pembelajaran PAI tersebut. Hal ini sangat penting dan dibutuhkan guna meningkatkan pemahaman nilai-nilai keagamaan bagi peserta didik. Langkah inovatif dan kreativitas guru PAI, partisipasi aktif unsur-unsur sekolah hingga dukungan orang tua dalam program kegiatan ekstrakurikuler PAI, semuanya memberi andil yang besar dalam upaya mengembangkan kreativitas, pemahaman nilai keagamaan dan pembinaan akhlak peserta didik.
Demikian juga dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, PAI harus dijadikan tolak ukur dalam membentuk watak dan pribadi peserta didik, serta membangun moral bangsa (nation character building).[4] Bagi penulis, proses membangun karakter bangsa ini perlu dilakukan dengan berbagai langkah dan upaya yang sistemik. Akhlak sebagai salah satu bagian terpenting dalam pendidikan hendaknya menjadi fokus utama dalam upaya pembentukan menjadi manusia dewasa yang siap untuk mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir. Pendidikan akhlak diharapkan akan mampu mengembangkan nilai-nilai yang dimiliki peserta didik menuju manusia dewasa yang berkepribadian sesuai dengan nilai-nilai Islam dan menyadari posisinya dalam melakukan hubungan-hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri serta manusia dengan lingkungan di mana ia berada.

B. Kegiatan Ekstrakurikuler
Secara terminologi sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 dan Nomor 080/U/1993, kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah, dan dirancang secara khusus agar sesuai dengan faktor minat dan bakat siswa. Bahkan lebih jauh lagi di jelaskan dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 226/C/Kep/O/1992 bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan di luar jam pelajaran biasa dan pada waktu libur sekolah yang dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah.[5]
Dalam buku panduan pengembangan diri yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional ditemukan bahwa ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.[6]
Rohmat Mulyana mengemukakan bahwa inti dari pengembangan kegiatan ekstrakurikuler adalah pengembangan kepribadian peserta didik. Karena itu, profil kepribadian yang matang atau kaffah merupakan tujuan utama kegiatan ekstrakurikuler.[7] Matang memiliki makna mampu mengaktualisasikan diri dan kaffah merupakan perwujudan segala prilaku (ucapan, pikiran dan tindakan) yang selalu diperhadapkan kepada Allah Swt. Peserta didik juga diharapkan mampu mengembangkan bakat dan minat, menghargai orang lain, bersikap kritis terhadap suatu kesenjangan, berani mencoba hal-hal positif yang menantang, peduli terhadap lingkungan, sampai pada melakukan kegiatan-kegiatan intelektual dan ritual keagamaan.[8] Dari sini akan semakin terlihat bahwa betapa pentingnya pengembangan kepribadian dan akhlak mulia melalui kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam.
C. Kegiatan Ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam (PAI)
Dalam konteks pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah, kegiatan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam merupakan kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka, baik dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah. Hal ini  agar lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari oleh peserta didik dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler PAI yang diselenggarakan sekolah bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan kurikuler Pendidikan Agama Islam yang mencakup lima aspek bahan pelajaran, yaitu: Al-Qur’an hadis, Aqidah, Akhlak, Fiqh dan Tarikh dan kebudayaan Islam. Luasnya bidang sasaran ekstrakurikuler PAI dapat melahirkan berbagai program/kegiatan yang dapat dikembangkan.
Kementrian Agama R.I. melalui Subdit Kesiswaan Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah (Dit. PAIS) dalam buku panduan tupoksinya menjabarkan ke dalam 8 (delapan) program/kegiatan ekstrakurikuler sebagai berikut:
1. Program/kegiatan Rohani Islam (Rohis);
2. Program/kegiatan Pekan Ketrampilan dan Seni (Pentas) PAI;
3. Program/kegiatan Pesantren Kilat (Sanlat);
4. Program/kegiatan Tuntas Baca Tulis al Qur’an (TBTQ);
5. Program/kegiatan Pembiasaan Akhlak Mulia;
6. Program/kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI);
7. Program/kegiatan Ibadah Ramadhan (Irama);
8. Program/kegiatan Wisata Rohani (Wisroh)
Pengembangan program tersebut tentu disesuaikan dengan kondisi daerah dan sekolah tempat berlangsungnya kegiatan. Hal ini mengingat bahwa kondisi umat Islam tidak bisa disamaratakan di setiap daerah baik itu kuantitas maupun kualitas. Demikian juga perbedaan tiap jenjang satuan pendidikan.
Pada bagian lampiran Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 125/U/2002 tanggal 31 Juli 2002 dicantumkan bahwa liburan sekolah atau madrasah selama bulan Ramadhan diisi dan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diarahkan pada peningkatan akhlak mulia, pemahaman, pendalaman dan amaliah agama termasuk kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang bermuatan moral.
Ada beberapa contoh kegiatan ekstrakurikuler keagamaan untuk peserta didik yang beragama Islam dan beragama lain yang dicantumkan dalam lampiran Surat Keputusan Mendiknas tersebut. Untuk kegiatan Ramadhan misalnya, peserta didik yang beragama Islam dapat mengikuti kegiatan pesantren kilat, tadarus, salat berjamaah, salat tarawih, latihan dakwah, bakti sosial, latihan dakwah, baca-tulis Al-Qur’an, pengumpulan zakat fitrah serta kegiatan lain yang bernuansa penyadaran moral peserta didik.[9]
Kegiatan tersebut hanya dikhususkan untuk mengisi bulan Ramadhan dengan program peningkatan Iman dan Taqwa (Imtaq). Sesungguhnya masih banyak kegiatan ekstrakurikuler PAI lainnya yang bisa dikembangkan di luar bulan Ramadhan. Semua tergantung pada kreatifitas guru dan kesanggupan untuk melaksanakan kegiatan. Pada skala yang lebih besar, tidak hanya tergantung pada tingkat satuan pendidikan masing-masing (SD, SMP, SMA/SMK) saja namun bisa dikembangkan pada tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota bahkan tingkat provinsi dengan melibatkan Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau lembaga lain yang peduli dengan pembinaan moral peserta didik.   

C. Penutup
Mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak yang peduli dengan pembinaan generasi ke depan. Pertama, Pendidikan akhlak adalah tanggungjawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Kedua, Salah satu bentuk pengembangan kepribadian dan ahlakul karimah adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler sebagai tambahan dari kegiatan kurikuler khususnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Ketiga, Ekstrakurikuler PAI yang dilaksanakan –baik selama Ramadhan atau di luar Ramadhan- hendaklah sesuai dengan tingkat satuan pendidikan dan kondisi daerah masing-masing dan bisa dikembangkan mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota bahkan provinsi.    (Makassar, 16 Agustus 2010)




[1]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Agama R.I., Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2007), h. 5.
[2]Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, (22 April 2010).
[3]Penghitungan ini didasarkan pada pembelajaran PAI di SMA selama 90 menit setiap minggunya. 1 jam = 60 menit, 1 hari = 24 jam, 1 minggu = 7 x 24 x 60 = 10.080 menit. Jadi persentase pembelajaran PAI di sekolah = 90/10.080 x 100 % = 0, 90 %.
[4]Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam; Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 8.
[5]Lihat Tim Penyusun Departemen Agama R.I., Kegiatan Ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum dan Madrasah; Panduan Untuk Guru dan Siswa (Jakarta: Depag RI, 2004), h. 10.
[6]Departemen Pendidikan Nasional R.I., Panduan Pengembangan Diri (Jakarta: Depdiknas, 2006), h. 12.
[7]Lihat Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2004), h. 214.
[8]Ibid.
[9]Lihat Rohmat Mulyana, op. cit., h. 212.