Selasa, 21 Januari 2014

Urgensi Ekstrakurikuler PAI

 A. Pendahuluan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.[1]
Sejalan dengan tujuan tersebut, dalam Bab X Pasal 36 disebutkan bahwa kurikulum yang disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia hendaklah memperhatikan beberapa hal, diantaranya peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia dan agama. Lebih khusus lagi ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 1 dan 3 bahwa pendidikan agama wajib diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.[2] Ketentuan ini menempatkan pendidikan agama pada posisi yang amat strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Dewasa ini pendidikan agama menjadi sorotan tajam masyarakat. Banyaknya perilaku menyimpang peserta didik pada sekolah yang tidak sesuai dengan norma agama akhir-akhir ini mendorong berbagai pihak mempertanyakan efektivitas pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. Seringnya media cetak dan elektronik menayangkan perilaku amoral peserta didik di sekolah -mulai dari penyalahgunaan narkoba, miras, seks bebas hingga tawuran yang sangat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat- seakan menambah panjang daftar “buku dosa” kalangan pendidik sebagai salah satu unsur yang berpengaruh dalam proses pendidikan.
Fenomena tersebut seakan menunjukkan rendahnya kualitas Pendidikan Agama Islam di sekolah sebagai mata pelajaran yang mengedepankan pendidikan di bidang akhlak dan perilaku. Walaupun rendahnya kualitas Pendidikan Agama Islam di sekolah bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya penyimpangan perilaku siswa sebagaimana dijelaskan di atas, namun peran PAI harus menjadi agen perubahan (agent of change) dalam merubah perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Hal ini karena dalam PAI terdapat pesan moral yang didasarkan pada ajaran luhur Ilahiah.
Memang tidak adil menimpakan tanggung jawab munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu kepada pendidikan agama di sekolah, sebab pendidikan agama di sekolah bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan dalam pembentukan watak dan kepribadian peserta didik. Meskipun demikian, perlu diakui bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama masih terdapat kelemahan-kelemahan yang mendorong dilakukannva inovasi pembelajaran terus menerus.
Pada persoalan keagamaan, tentu perlu mendapatkan perhatian lebih bagi semua komponen pendidikan, mengingat waktu penerapan secara khusus untuk pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah relatif sempit, yaitu hanya dua jam pelajaran dalam seminggu. Sebagian pihak memang tidak mempersoalkan keterbatasan alokasi waktu tersebut. Namun, setidaknya memberikan isyarat kepada pihak yang bertanggungjawab untuk memikirkan secara ekstra pola pembelajaran agama di luar kegiatan formal di sekolah.
Peran aktif dan kreatif guru sangat dituntut untuk menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menunjang pembelajaran PAI terutama pembinaan akhlak peserta didik, melalui keteladanan dan praktek nyata di lingkungannya. Tanggungjawab dalam menyiapkan generasi yang akan datang harus dipikirkan dan direncanakan secara matang. Islam sebagai ajaran yang komplit memberikan gambaran sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Nis±'/4 : 9:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Keberhasilan peserta didik dalam memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai agama Islam melalui pembelajaran PAI di sekolah perlu didukung keterlibatan orang tua dalam membina anaknya di rumah, termasuk memotivasi untuk mengikuti kegiatan ekstra kurikuler PAI di luar jam pelajaran sekolah. Hal ini karena sebagian besar kehidupan peserta didik berlangsung di luar sekolah. Dalam satu minggu peserta didik menerima pembelajaran PAI selama 2 jam pelajaran atau 2 x 45 menit = 90 menit. Jika dipersentase, maka hanya 0,90 % pembinaan agama Islam di sekolah, dan 99,10% pembinaan agama Islam berlangsung di luar sekolah baik dalam keluarga maupun masyarakat.[3]
Dalam menyikapi hal tersebut -meskipun ada juga yang tidak mempersoalkan alokasi waktu PAI di sekolah- PAI selayaknya mendapatkan alokasi waktu yang proporsional. Adanya kerjasama dari semua pihak yang terkait dan peduli dengan pengembangan pendidikan agama sangat diperlukan dalam menyiasati kekurangan alokasi waktu pembelajaran PAI tersebut. Hal ini sangat penting dan dibutuhkan guna meningkatkan pemahaman nilai-nilai keagamaan bagi peserta didik. Langkah inovatif dan kreativitas guru PAI, partisipasi aktif unsur-unsur sekolah hingga dukungan orang tua dalam program kegiatan ekstrakurikuler PAI, semuanya memberi andil yang besar dalam upaya mengembangkan kreativitas, pemahaman nilai keagamaan dan pembinaan akhlak peserta didik.
Demikian juga dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, PAI harus dijadikan tolak ukur dalam membentuk watak dan pribadi peserta didik, serta membangun moral bangsa (nation character building).[4] Bagi penulis, proses membangun karakter bangsa ini perlu dilakukan dengan berbagai langkah dan upaya yang sistemik. Akhlak sebagai salah satu bagian terpenting dalam pendidikan hendaknya menjadi fokus utama dalam upaya pembentukan menjadi manusia dewasa yang siap untuk mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir. Pendidikan akhlak diharapkan akan mampu mengembangkan nilai-nilai yang dimiliki peserta didik menuju manusia dewasa yang berkepribadian sesuai dengan nilai-nilai Islam dan menyadari posisinya dalam melakukan hubungan-hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri serta manusia dengan lingkungan di mana ia berada.

B. Kegiatan Ekstrakurikuler
Secara terminologi sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 dan Nomor 080/U/1993, kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program sesuai dengan keadaan dan kebutuhan sekolah, dan dirancang secara khusus agar sesuai dengan faktor minat dan bakat siswa. Bahkan lebih jauh lagi di jelaskan dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 226/C/Kep/O/1992 bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan di luar jam pelajaran biasa dan pada waktu libur sekolah yang dilakukan di sekolah ataupun di luar sekolah.[5]
Dalam buku panduan pengembangan diri yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional ditemukan bahwa ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.[6]
Rohmat Mulyana mengemukakan bahwa inti dari pengembangan kegiatan ekstrakurikuler adalah pengembangan kepribadian peserta didik. Karena itu, profil kepribadian yang matang atau kaffah merupakan tujuan utama kegiatan ekstrakurikuler.[7] Matang memiliki makna mampu mengaktualisasikan diri dan kaffah merupakan perwujudan segala prilaku (ucapan, pikiran dan tindakan) yang selalu diperhadapkan kepada Allah Swt. Peserta didik juga diharapkan mampu mengembangkan bakat dan minat, menghargai orang lain, bersikap kritis terhadap suatu kesenjangan, berani mencoba hal-hal positif yang menantang, peduli terhadap lingkungan, sampai pada melakukan kegiatan-kegiatan intelektual dan ritual keagamaan.[8] Dari sini akan semakin terlihat bahwa betapa pentingnya pengembangan kepribadian dan akhlak mulia melalui kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam.
C. Kegiatan Ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam (PAI)
Dalam konteks pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah, kegiatan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam merupakan kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka, baik dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah. Hal ini  agar lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari oleh peserta didik dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler PAI yang diselenggarakan sekolah bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan kurikuler Pendidikan Agama Islam yang mencakup lima aspek bahan pelajaran, yaitu: Al-Qur’an hadis, Aqidah, Akhlak, Fiqh dan Tarikh dan kebudayaan Islam. Luasnya bidang sasaran ekstrakurikuler PAI dapat melahirkan berbagai program/kegiatan yang dapat dikembangkan.
Kementrian Agama R.I. melalui Subdit Kesiswaan Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah (Dit. PAIS) dalam buku panduan tupoksinya menjabarkan ke dalam 8 (delapan) program/kegiatan ekstrakurikuler sebagai berikut:
1. Program/kegiatan Rohani Islam (Rohis);
2. Program/kegiatan Pekan Ketrampilan dan Seni (Pentas) PAI;
3. Program/kegiatan Pesantren Kilat (Sanlat);
4. Program/kegiatan Tuntas Baca Tulis al Qur’an (TBTQ);
5. Program/kegiatan Pembiasaan Akhlak Mulia;
6. Program/kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI);
7. Program/kegiatan Ibadah Ramadhan (Irama);
8. Program/kegiatan Wisata Rohani (Wisroh)
Pengembangan program tersebut tentu disesuaikan dengan kondisi daerah dan sekolah tempat berlangsungnya kegiatan. Hal ini mengingat bahwa kondisi umat Islam tidak bisa disamaratakan di setiap daerah baik itu kuantitas maupun kualitas. Demikian juga perbedaan tiap jenjang satuan pendidikan.
Pada bagian lampiran Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 125/U/2002 tanggal 31 Juli 2002 dicantumkan bahwa liburan sekolah atau madrasah selama bulan Ramadhan diisi dan dimanfaatkan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diarahkan pada peningkatan akhlak mulia, pemahaman, pendalaman dan amaliah agama termasuk kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang bermuatan moral.
Ada beberapa contoh kegiatan ekstrakurikuler keagamaan untuk peserta didik yang beragama Islam dan beragama lain yang dicantumkan dalam lampiran Surat Keputusan Mendiknas tersebut. Untuk kegiatan Ramadhan misalnya, peserta didik yang beragama Islam dapat mengikuti kegiatan pesantren kilat, tadarus, salat berjamaah, salat tarawih, latihan dakwah, bakti sosial, latihan dakwah, baca-tulis Al-Qur’an, pengumpulan zakat fitrah serta kegiatan lain yang bernuansa penyadaran moral peserta didik.[9]
Kegiatan tersebut hanya dikhususkan untuk mengisi bulan Ramadhan dengan program peningkatan Iman dan Taqwa (Imtaq). Sesungguhnya masih banyak kegiatan ekstrakurikuler PAI lainnya yang bisa dikembangkan di luar bulan Ramadhan. Semua tergantung pada kreatifitas guru dan kesanggupan untuk melaksanakan kegiatan. Pada skala yang lebih besar, tidak hanya tergantung pada tingkat satuan pendidikan masing-masing (SD, SMP, SMA/SMK) saja namun bisa dikembangkan pada tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota bahkan tingkat provinsi dengan melibatkan Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau lembaga lain yang peduli dengan pembinaan moral peserta didik.   

C. Penutup
Mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak yang peduli dengan pembinaan generasi ke depan. Pertama, Pendidikan akhlak adalah tanggungjawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Kedua, Salah satu bentuk pengembangan kepribadian dan ahlakul karimah adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler sebagai tambahan dari kegiatan kurikuler khususnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Ketiga, Ekstrakurikuler PAI yang dilaksanakan –baik selama Ramadhan atau di luar Ramadhan- hendaklah sesuai dengan tingkat satuan pendidikan dan kondisi daerah masing-masing dan bisa dikembangkan mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota bahkan provinsi.    (Makassar, 16 Agustus 2010)




[1]Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Agama R.I., Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 2007), h. 5.
[2]Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, (22 April 2010).
[3]Penghitungan ini didasarkan pada pembelajaran PAI di SMA selama 90 menit setiap minggunya. 1 jam = 60 menit, 1 hari = 24 jam, 1 minggu = 7 x 24 x 60 = 10.080 menit. Jadi persentase pembelajaran PAI di sekolah = 90/10.080 x 100 % = 0, 90 %.
[4]Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam; Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim (Cet. I; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 8.
[5]Lihat Tim Penyusun Departemen Agama R.I., Kegiatan Ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum dan Madrasah; Panduan Untuk Guru dan Siswa (Jakarta: Depag RI, 2004), h. 10.
[6]Departemen Pendidikan Nasional R.I., Panduan Pengembangan Diri (Jakarta: Depdiknas, 2006), h. 12.
[7]Lihat Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2004), h. 214.
[8]Ibid.
[9]Lihat Rohmat Mulyana, op. cit., h. 212.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar