A. Pendahuluan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mengamanatkan bahwa pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggungjawab.[1]
Sejalan dengan tujuan tersebut, dalam Bab X Pasal 36 disebutkan bahwa
kurikulum yang disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia hendaklah memperhatikan beberapa hal, diantaranya
peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia dan agama. Lebih khusus
lagi ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan Pasal 1 dan 3 bahwa pendidikan agama
wajib diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.[2] Ketentuan ini menempatkan pendidikan
agama pada posisi yang amat strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan
yang diharapkan.
Dewasa ini pendidikan agama menjadi
sorotan tajam masyarakat. Banyaknya perilaku menyimpang peserta didik pada
sekolah yang tidak sesuai dengan norma agama akhir-akhir ini mendorong berbagai
pihak mempertanyakan efektivitas pelaksanaan pendidikan agama di sekolah.
Seringnya media cetak dan elektronik menayangkan perilaku amoral peserta didik
di sekolah -mulai dari penyalahgunaan narkoba, miras, seks bebas hingga tawuran
yang sangat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat- seakan menambah
panjang daftar “buku dosa” kalangan pendidik sebagai salah satu unsur yang
berpengaruh dalam proses pendidikan.
Fenomena tersebut seakan menunjukkan rendahnya kualitas Pendidikan Agama
Islam di sekolah sebagai mata pelajaran yang mengedepankan pendidikan di bidang
akhlak dan perilaku. Walaupun rendahnya kualitas Pendidikan Agama Islam di
sekolah bukan merupakan satu-satunya faktor penyebab terjadinya penyimpangan
perilaku siswa sebagaimana dijelaskan di atas, namun peran PAI harus menjadi
agen perubahan (agent of change)
dalam merubah perilaku siswa ke arah yang lebih baik. Hal ini karena dalam PAI terdapat pesan moral yang
didasarkan pada ajaran luhur Ilahiah.
Memang tidak adil menimpakan tanggung
jawab munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu kepada pendidikan
agama di sekolah, sebab pendidikan agama di sekolah bukanlah satu-satunya
faktor yang menentukan dalam pembentukan watak dan kepribadian peserta didik.
Meskipun demikian, perlu diakui bahwa dalam pelaksanaan pendidikan agama masih
terdapat kelemahan-kelemahan yang mendorong dilakukannva inovasi pembelajaran
terus menerus.
Pada persoalan keagamaan, tentu perlu
mendapatkan perhatian lebih bagi semua komponen pendidikan, mengingat waktu
penerapan secara khusus untuk pendidikan agama Islam (PAI) di sekolah relatif
sempit, yaitu hanya dua jam pelajaran dalam seminggu. Sebagian pihak memang
tidak mempersoalkan keterbatasan alokasi waktu tersebut. Namun, setidaknya
memberikan isyarat kepada pihak yang bertanggungjawab untuk memikirkan secara
ekstra pola pembelajaran agama di luar kegiatan formal di sekolah.
Peran aktif dan kreatif guru sangat dituntut untuk menyelenggarakan
kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menunjang pembelajaran PAI terutama
pembinaan akhlak peserta didik, melalui keteladanan dan praktek nyata di
lingkungannya. Tanggungjawab dalam menyiapkan generasi yang akan datang harus
dipikirkan dan direncanakan secara matang. Islam sebagai ajaran yang komplit
memberikan gambaran sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Nis±'/4 : 9:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Keberhasilan peserta didik dalam memahami dan mengaplikasikan nilai-nilai
agama Islam melalui pembelajaran PAI di sekolah perlu didukung keterlibatan
orang tua dalam membina anaknya di rumah, termasuk memotivasi untuk mengikuti
kegiatan ekstra kurikuler PAI di luar jam pelajaran sekolah. Hal ini karena
sebagian besar kehidupan peserta didik berlangsung di luar sekolah. Dalam satu minggu peserta didik menerima
pembelajaran PAI selama 2 jam pelajaran atau 2 x 45 menit = 90 menit. Jika
dipersentase, maka hanya 0,90 % pembinaan agama Islam di sekolah, dan 99,10%
pembinaan agama Islam berlangsung di luar sekolah baik dalam keluarga maupun
masyarakat.[3]
Dalam menyikapi hal tersebut -meskipun ada
juga yang tidak mempersoalkan alokasi waktu PAI di sekolah- PAI selayaknya
mendapatkan alokasi waktu yang proporsional. Adanya kerjasama dari semua pihak
yang terkait dan peduli dengan pengembangan pendidikan agama sangat diperlukan
dalam menyiasati kekurangan alokasi waktu pembelajaran PAI tersebut. Hal ini
sangat penting dan dibutuhkan guna meningkatkan pemahaman nilai-nilai keagamaan
bagi peserta didik. Langkah inovatif dan kreativitas guru PAI, partisipasi
aktif unsur-unsur sekolah hingga dukungan orang tua dalam program kegiatan
ekstrakurikuler PAI, semuanya memberi andil yang besar dalam upaya
mengembangkan kreativitas, pemahaman nilai keagamaan dan pembinaan akhlak
peserta didik.
Demikian juga dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, PAI harus dijadikan
tolak ukur dalam membentuk watak dan pribadi peserta didik, serta membangun
moral bangsa (nation character building).[4] Bagi penulis, proses membangun karakter
bangsa ini perlu dilakukan dengan berbagai langkah dan upaya yang sistemik.
Akhlak sebagai salah satu bagian terpenting dalam pendidikan hendaknya menjadi
fokus utama dalam upaya pembentukan menjadi manusia dewasa yang siap untuk
mengembangkan potensi yang dibawa sejak lahir. Pendidikan akhlak diharapkan
akan mampu mengembangkan nilai-nilai yang dimiliki peserta didik menuju manusia
dewasa yang berkepribadian sesuai dengan nilai-nilai Islam dan menyadari
posisinya dalam melakukan hubungan-hubungan antara manusia dengan Tuhan,
manusia dengan manusia, manusia dengan dirinya sendiri serta manusia dengan
lingkungan di mana ia berada.
B. Kegiatan Ekstrakurikuler
Secara terminologi sebagaimana tercantum
dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 dan
Nomor 080/U/1993, kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang diselenggarakan
di luar jam pelajaran yang tercantum dalam susunan program sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan sekolah, dan dirancang secara khusus agar sesuai dengan
faktor minat dan bakat siswa. Bahkan lebih jauh lagi di jelaskan dalam Surat
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor
226/C/Kep/O/1992 bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan di luar jam
pelajaran biasa dan pada waktu libur sekolah yang dilakukan di sekolah ataupun
di luar sekolah.[5]
Dalam buku panduan pengembangan diri yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional ditemukan bahwa ekstrakurikuler
adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan
peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui
kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga
kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah.[6]
Rohmat Mulyana mengemukakan bahwa inti dari pengembangan kegiatan
ekstrakurikuler adalah pengembangan kepribadian peserta didik. Karena itu,
profil kepribadian yang matang atau kaffah
merupakan tujuan utama kegiatan ekstrakurikuler.[7]
Matang memiliki makna mampu mengaktualisasikan diri dan kaffah merupakan perwujudan segala prilaku (ucapan, pikiran dan
tindakan) yang selalu diperhadapkan kepada Allah Swt. Peserta didik juga
diharapkan mampu mengembangkan bakat dan minat, menghargai orang lain, bersikap
kritis terhadap suatu kesenjangan, berani mencoba hal-hal positif yang
menantang, peduli terhadap lingkungan, sampai pada melakukan kegiatan-kegiatan
intelektual dan ritual keagamaan.[8]
Dari sini akan semakin terlihat bahwa betapa pentingnya pengembangan
kepribadian dan akhlak mulia melalui kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama
Islam.
C. Kegiatan Ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam
(PAI)
Dalam konteks pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah, kegiatan
ekstrakurikuler pendidikan agama Islam merupakan kegiatan yang dilakukan di
luar jam pelajaran tatap muka, baik dilaksanakan di sekolah atau di luar
sekolah. Hal ini agar lebih memperkaya dan
memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari oleh peserta
didik dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Dengan demikian,
kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler PAI yang diselenggarakan sekolah bertujuan
untuk mencapai tujuan-tujuan kurikuler Pendidikan Agama Islam yang mencakup
lima aspek bahan pelajaran, yaitu: Al-Qur’an hadis, Aqidah, Akhlak, Fiqh dan
Tarikh dan kebudayaan Islam. Luasnya bidang sasaran ekstrakurikuler PAI dapat
melahirkan berbagai program/kegiatan yang dapat dikembangkan.
Kementrian Agama R.I. melalui Subdit Kesiswaan Direktorat Pendidikan Agama
Islam pada Sekolah (Dit. PAIS) dalam buku panduan tupoksinya menjabarkan ke
dalam 8 (delapan) program/kegiatan ekstrakurikuler sebagai berikut:
1. Program/kegiatan Rohani Islam (Rohis);
2. Program/kegiatan Pekan Ketrampilan dan
Seni (Pentas) PAI;
3. Program/kegiatan Pesantren Kilat
(Sanlat);
4. Program/kegiatan Tuntas Baca
Tulis al Qur’an (TBTQ);
5. Program/kegiatan Pembiasaan
Akhlak Mulia;
6. Program/kegiatan Peringatan Hari
Besar Islam (PHBI);
7. Program/kegiatan Ibadah Ramadhan
(Irama);
8.
Program/kegiatan Wisata Rohani (Wisroh)
Pengembangan program tersebut tentu
disesuaikan dengan kondisi daerah dan sekolah tempat berlangsungnya kegiatan.
Hal ini mengingat bahwa kondisi umat Islam tidak bisa disamaratakan di setiap
daerah baik itu kuantitas maupun kualitas. Demikian juga perbedaan tiap jenjang
satuan pendidikan.
Pada bagian lampiran Surat Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 125/U/2002 tanggal 31 Juli 2002 dicantumkan bahwa liburan
sekolah atau madrasah selama bulan Ramadhan diisi dan dimanfaatkan untuk
melaksanakan berbagai kegiatan yang diarahkan pada peningkatan akhlak mulia,
pemahaman, pendalaman dan amaliah agama termasuk kegiatan ekstrakurikuler
lainnya yang bermuatan moral.
Ada beberapa contoh kegiatan ekstrakurikuler keagamaan
untuk peserta didik yang beragama Islam dan beragama lain yang dicantumkan
dalam lampiran Surat Keputusan Mendiknas tersebut. Untuk kegiatan Ramadhan
misalnya, peserta didik yang beragama Islam dapat mengikuti kegiatan pesantren
kilat, tadarus, salat berjamaah, salat tarawih, latihan dakwah, bakti sosial,
latihan dakwah, baca-tulis Al-Qur’an, pengumpulan zakat fitrah serta kegiatan
lain yang bernuansa penyadaran moral peserta didik.[9]
Kegiatan tersebut hanya dikhususkan untuk mengisi bulan
Ramadhan dengan program peningkatan Iman dan Taqwa (Imtaq). Sesungguhnya masih
banyak kegiatan ekstrakurikuler PAI lainnya yang bisa dikembangkan di luar
bulan Ramadhan. Semua tergantung pada kreatifitas guru dan kesanggupan untuk
melaksanakan kegiatan. Pada skala yang lebih besar, tidak hanya tergantung pada
tingkat satuan pendidikan masing-masing (SD, SMP, SMA/SMK) saja namun bisa
dikembangkan pada tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota bahkan tingkat
provinsi dengan melibatkan Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP) atau lembaga lain yang peduli dengan pembinaan moral peserta
didik.
C. Penutup
Mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu
mendapatkan perhatian dari semua pihak yang peduli dengan pembinaan generasi ke
depan. Pertama, Pendidikan akhlak
adalah tanggungjawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Kedua, Salah satu bentuk pengembangan
kepribadian dan ahlakul karimah adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler sebagai
tambahan dari kegiatan kurikuler khususnya mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam. Ketiga, Ekstrakurikuler PAI
yang dilaksanakan –baik selama Ramadhan atau di luar Ramadhan- hendaklah sesuai
dengan tingkat satuan pendidikan dan kondisi daerah masing-masing dan bisa
dikembangkan mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota bahkan provinsi. (Makassar,
16 Agustus 2010)
[1]Republik Indonesia , Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta : Departemen Agama R.I., Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, 2007), h. 5.
[2]Republik Indonesia ,
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, (22 April 2010).
[3]Penghitungan ini didasarkan pada
pembelajaran PAI di SMA selama 90 menit setiap minggunya. 1 jam = 60 menit, 1
hari = 24 jam, 1 minggu = 7 x 24 x 60 = 10.080 menit. Jadi persentase
pembelajaran PAI di sekolah = 90/10.080 x 100 % = 0, 90 %.
[4]Muhammad
Alim, Pendidikan Agama Islam; Upaya
Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim (Cet. I; Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 8.
[5]Lihat Tim
Penyusun Departemen Agama R.I., Kegiatan
Ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum dan Madrasah; Panduan
Untuk Guru dan Siswa (Jakarta : Depag RI ,
2004), h. 10.
[6]Departemen
Pendidikan Nasional R.I., Panduan
Pengembangan Diri (Jakarta :
Depdiknas, 2006), h. 12.
[7]Lihat
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Cet. I; Bandung : Alfabeta, 2004),
h. 214.
[8]Ibid.
[9]Lihat
Rohmat Mulyana, op. cit., h.
212.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar