Memaafkan (kesalahan) orang lain adalah salah satu anjuran Islam
dan merupakan perbuatan yang amat mulia. Namun memaafkan (kesalahan) orang lain
tidaklah mudah diwujudkan. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin ada hal-hal
yang menyinggung perasaan orang lain, baik secara sengaja maupun tanpa
disengaja. Tetapi, satu hal yang pasti, manusia sebagai makhluk yang dhaif,
pasti pernah berbuat salah, karena manusia bukanlah makhluk bebas dari dosa (ma’shum). Ini tidak berarti tindakan
pembenaran (justifikasi) terhadap perbuatan manusia yang boleh melakukan
kesalahan. Karena merupakan sunnatullah
bahwa makhluk Allah yang terus menerus berbuat salah adalah setan.
Sebagai makhluk
yang lemah, manusia tidak mungkin bisa menghindarkan diri dari godaan untuk
berbuat salah. Karena memang sudah menjadi komitmen iblis untuk senantiasa
menjerumuskan manusia yang mendekatkan diri kepada Allah swt. FirmanNya dalam
QS. An Naas, 114 : 4-6 “Dari
kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
dari (golongan)
jin dan manusia.”
Dalam QS. Ali Imran, 3:133,
Allah swt berfirman :
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan
untuk orang-orang yang bertakwa”
Dari ayat ini, paling tidak ada dua syarat yang mesti dilakukan
oleh manusia jika hendak memperoleh ampunan Allah. Pertama, menyadari kesalahan atas perbuatan yang lalai memenuhi
panggilan Allah, karena itu segera memohon ampun. Kedua, ampunan Allah secara otomatis, jika sesama manusia telah
saling memaafkan.
Upaya untuk
saling memaafkan diantara sesama manusia adalah merupakan perbuatan yang sulit.
Untuk itu, setiap orang mempelajari dan mengenali kehidupan spritual masing-masing.
Karena persoalan maaf memaafkan bukan sekedar perkataan tapi juga adanya
suasana batin (moods) yang enak,
sehingga mampu mendorong terciptanya kesadaran yang tulus untuk memberi dan
menerima maaf. Dengan begitu batin kita benar-benar merasakan ketentraman.
Menyatakan maaf
sebaiknya dilakukan dengan sesegera mungkin, ketika merasa melakukan kesalahan.
Karena menunda untuk meminta maaf seperti momentum pada bulan Syawal setiap
tahun, dipandang sebagai perbuatan yang kurang bijak. Karena boleh jadi, usia
kita tidak sampai Syawal tahun depan. Rasulullah saw membuat tradisi maaf
memaafkan antara sesama ketika akan memasuki bulan Ramadhan, sehingga ketika
berpuasa, diri kita telah bersih dari noda dan dosa.
Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan diampuni dosa-dosa yang
telah lalu”. Karena itu muncul sebuah pertanyaan menarik: Adakah Allah
mengampuni dosa seseorang bilamana
antara sesama manusia masih berdosa, belum saling memaafkan, tanpa terkecuali
antara tua dan muda? Bila yang tua berbuat salah, maka harus lebih dulu
mengulurkan tangan, jangan merasa ”mentang-mentang” lebih tua lalu ”sok
menunggu” didatangi. Demikian juga antara atasan dan bawahan. Kalau atasan
berbuat salah, segeralah minta maaf kepada bawahan. Jangan ”mentang-mentang”
atasan, merasa benar melulu, sehingga tradisi memintakan maaf hanya berlaku
bagi bawahan. Demikian sebaliknya, bila bawahan berbuat salah, segeralah minta
maaf.
Bulan Syawal sebagai bulan peningkatan,
menjadi momen yang tepat bagi kita untuk membina hubungan baik sesama manusia.
Setelah sebulan lamanya terfokus untuk membina hablum minallah, maka
inilah saatnya menyeimbangkan dengan hablum minannas. Dengan demikian
akan tercipta keseimbangan hidup dan bermuara pada kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat. Aamiin.:) Wallahu a’lam. (Makassar, 25 November 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar