Selasa, 21 Januari 2014

MEMBERI DAN MEMINTA MAAF

Memaafkan (kesalahan) orang lain adalah salah satu anjuran Islam dan merupakan perbuatan yang amat mulia. Namun memaafkan (kesalahan) orang lain tidaklah mudah diwujudkan. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin ada hal-hal yang menyinggung perasaan orang lain, baik secara sengaja maupun tanpa disengaja. Tetapi, satu hal yang pasti, manusia sebagai makhluk yang dhaif, pasti pernah berbuat salah, karena manusia bukanlah makhluk bebas dari dosa (ma’shum). Ini tidak berarti tindakan pembenaran (justifikasi) terhadap perbuatan manusia yang boleh melakukan kesalahan. Karena merupakan sunnatullah bahwa makhluk Allah yang terus menerus berbuat salah adalah setan.
            Sebagai makhluk yang lemah, manusia tidak mungkin bisa menghindarkan diri dari godaan untuk berbuat salah. Karena memang sudah menjadi komitmen iblis untuk senantiasa menjerumuskan manusia yang mendekatkan diri kepada Allah swt. FirmanNya dalam QS. An Naas, 114 : 4-6 “Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia.”
Dalam QS. Ali Imran, 3:133,  Allah swt berfirman : 
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”
Dari ayat ini, paling tidak ada dua syarat yang mesti dilakukan oleh manusia jika hendak memperoleh ampunan Allah. Pertama, menyadari kesalahan atas perbuatan yang lalai memenuhi panggilan Allah, karena itu segera memohon ampun. Kedua, ampunan Allah secara otomatis, jika sesama manusia telah saling memaafkan.
            Upaya untuk saling memaafkan diantara sesama manusia adalah merupakan perbuatan yang sulit. Untuk itu, setiap orang mempelajari dan mengenali kehidupan spritual masing-masing. Karena persoalan maaf memaafkan bukan sekedar perkataan tapi juga adanya suasana batin (moods) yang enak, sehingga mampu mendorong terciptanya kesadaran yang tulus untuk memberi dan menerima maaf. Dengan begitu batin kita benar-benar merasakan ketentraman.
            Menyatakan maaf sebaiknya dilakukan dengan sesegera mungkin, ketika merasa melakukan kesalahan. Karena menunda untuk meminta maaf seperti momentum pada bulan Syawal setiap tahun, dipandang sebagai perbuatan yang kurang bijak. Karena boleh jadi, usia kita tidak sampai Syawal tahun depan. Rasulullah saw membuat tradisi maaf memaafkan antara sesama ketika akan memasuki bulan Ramadhan, sehingga ketika berpuasa, diri kita telah bersih dari noda dan dosa.
            Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”. Karena itu muncul sebuah pertanyaan menarik: Adakah Allah mengampuni  dosa seseorang bilamana antara sesama manusia masih berdosa, belum saling memaafkan, tanpa terkecuali antara tua dan muda? Bila yang tua berbuat salah, maka harus lebih dulu mengulurkan tangan, jangan merasa ”mentang-mentang” lebih tua lalu ”sok menunggu” didatangi. Demikian juga antara atasan dan bawahan. Kalau atasan berbuat salah, segeralah minta maaf kepada bawahan. Jangan ”mentang-mentang” atasan, merasa benar melulu, sehingga tradisi memintakan maaf hanya berlaku bagi bawahan. Demikian sebaliknya, bila bawahan berbuat salah, segeralah minta maaf.
Bulan Syawal sebagai bulan peningkatan, menjadi momen yang tepat bagi kita untuk membina hubungan baik sesama manusia. Setelah sebulan lamanya terfokus untuk membina hablum minallah, maka inilah saatnya menyeimbangkan dengan hablum minannas. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan hidup dan bermuara pada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Aamiin.:) Wallahu a’lam. (Makassar, 25 November 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar