Rabu, 22 Januari 2014

PROFESIONALISME GURU PASCA SERTIFIKASI

Kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 % membuat banyak kalangan khususnya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan girang. Berbagai kebijakan berkaitan dengan dunia pendidikan nampaknya mengarah pada perubahan ke arah yang lebih baik. Para guru yang menjadi ujung tombak pendidikan di berbagai pelosok pun bersyukur. Apalagi mereka yang dinyatakan lulus dalam sertifikasi. Terlepas dari lulus murni, ikut diklat atau remedial, yang jelas ada kebanggaan tersendiri setelah “dikukuhkan” sebagai guru profesional. Artinya, guru yang memiliki kompetensi dalam melaksanakan tugas pokoknya mempersiapkan generasi bangsa ini ke depan. Guru yang layak menerima tunjangan sebagai upaya perbaikan nasibnya agar profesi yang dijalaninya selama ini “diakui” sebagai profesi dan “disamakan” dengan profesi-profesi lainnya yang dianggap layak sebagai profesi. Bukan profesi “ikhlas beramal”, “lillahi ta’ala”, “kerja bakti dan bagimu negeri” atau istilah sejenis lainnya seperti “pahlawan tanpa tanda jasa”. Guru benar-benar sebagai sosok yang siap untuk digugu dan ditiru, siap memenuhi panggilan tugas dan kewajiban dengan segala tanggungjawabnya, kemudian siap menerima tunjangan sebagai konsekuensi dari sebuah profesionalitas.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah tingkat profesionalisme guru pasca sertifikasi. Setelah ada jaminan kesejahteraan yang lebih baik dari sebelumnya, apakah mereka yang telah disertifikasi itu lebih baik dari sebelumnya? Atau bagaimana perbandingannya dengan guru yang belum disertifikasi? Pertanyaan ini sekedar untuk menggugah saja, terutama tanggungjawab moral dalam membina generasi ke depan. Hal ini mungkin tidak hanya untuk profesi guru, tapi apapun profesinya perlu dilandasi dengan tanggungjawab moral terutama dengan Sang Pencipta. Jika setiap profesi dilandasi dengan kesadaran ini, maka tidak akan ada penyelewengan-penyelewengan dalam profesinya. Guru tidak akan makan gaji buta karena tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Kepala sekolah tidak akan menyelewengkan anggaran yang ada dan memanipulasi pelaporan. Atasan tidak akan “menyunat” anggaran yang “sedikit” itu untuk “lain-lain” dan menekan bawahan agar menutupi dengan pengeluaran fiktif. Boleh jadi, “kebohongan struktural” seperti ini sering terjadi di lingkungan kita termasuk dunia pendidikan tetapi sulit untuk menghindarinya apalagi meninggalkannya. Kebingungan akan terjadi pada tingkat paling bawah karena begitu banyak yang harus ditutupi. Tidak heran kalau ada siswa yang menipu orang tua dengan berbagai kebutuhan fiktif sekolah. Ada pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Kalau guru sudah kencing berlari, bagaimana kencing muridnya? 
Terlepas dari itu semua, perbaikan nasib guru melalui sertifikasi dan tunjangan lainnya menjadikan profesi ini kembali diminati sekalipun tingkat kualitasnya masih tetap harus dipertanyakan. Rekruitmen guru tidak saja pada segi kuantitasnya tapi juga kualitasnya. Sekalipun fakultas keguruan kembali diminati, namun sangat jarang –kalau bisa dibilang tidak ada dan mungkin terpaksa- dijumpai bahwa siswa yang menduduki rangking atas masuk ke sana. Mereka cenderung ke fakultas lain yang dianggap lebih menjamin masa depannya. Sekalipun begitu tetap harus ada rasa syukur sebagai hamba yang mendapatkan anugrah sertifikasi. Rasa syukur yang diwujudkan melalui kerja profesional dan tanggungjawab moral terhadap profesi yang dijalani…
Makassar, 25 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar