Kenaikan anggaran pendidikan menjadi 20 % membuat banyak kalangan
khususnya yang berkecimpung dalam dunia pendidikan girang. Berbagai kebijakan
berkaitan dengan dunia pendidikan nampaknya mengarah pada perubahan ke arah
yang lebih baik. Para guru yang menjadi ujung
tombak pendidikan di berbagai pelosok pun bersyukur. Apalagi mereka yang
dinyatakan lulus dalam sertifikasi. Terlepas dari lulus murni, ikut diklat atau
remedial, yang jelas ada kebanggaan tersendiri setelah “dikukuhkan” sebagai
guru profesional. Artinya, guru yang memiliki kompetensi dalam melaksanakan
tugas pokoknya mempersiapkan generasi bangsa ini ke depan. Guru yang layak
menerima tunjangan sebagai upaya perbaikan nasibnya agar profesi yang
dijalaninya selama ini “diakui” sebagai profesi dan “disamakan” dengan
profesi-profesi lainnya yang dianggap layak sebagai profesi. Bukan profesi
“ikhlas beramal”, “lillahi ta’ala”, “kerja bakti dan bagimu negeri” atau
istilah sejenis lainnya seperti “pahlawan tanpa tanda jasa”. Guru benar-benar
sebagai sosok yang siap untuk digugu dan ditiru, siap memenuhi panggilan tugas
dan kewajiban dengan segala tanggungjawabnya, kemudian siap menerima tunjangan
sebagai konsekuensi dari sebuah profesionalitas.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah tingkat profesionalisme guru
pasca sertifikasi. Setelah ada jaminan kesejahteraan yang lebih baik dari
sebelumnya, apakah mereka yang telah disertifikasi itu lebih baik dari
sebelumnya? Atau bagaimana perbandingannya dengan guru yang belum
disertifikasi? Pertanyaan ini sekedar untuk menggugah saja, terutama
tanggungjawab moral dalam membina generasi ke depan. Hal ini mungkin tidak
hanya untuk profesi guru, tapi apapun profesinya perlu dilandasi dengan
tanggungjawab moral terutama dengan Sang Pencipta. Jika setiap profesi
dilandasi dengan kesadaran ini, maka tidak akan ada penyelewengan-penyelewengan
dalam profesinya. Guru tidak akan makan gaji buta karena tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik. Kepala sekolah tidak akan menyelewengkan anggaran yang
ada dan memanipulasi pelaporan. Atasan tidak akan “menyunat” anggaran yang
“sedikit” itu untuk “lain-lain” dan menekan bawahan agar menutupi dengan
pengeluaran fiktif. Boleh jadi, “kebohongan struktural” seperti ini sering terjadi
di lingkungan kita termasuk dunia pendidikan tetapi sulit untuk menghindarinya
apalagi meninggalkannya. Kebingungan akan terjadi pada tingkat paling bawah
karena begitu banyak yang harus ditutupi. Tidak heran kalau ada siswa yang
menipu orang tua dengan berbagai kebutuhan fiktif sekolah. Ada pepatah “Guru kencing berdiri, murid
kencing berlari”. Kalau guru sudah kencing berlari, bagaimana kencing muridnya?
Terlepas dari itu semua, perbaikan nasib guru melalui sertifikasi dan
tunjangan lainnya menjadikan profesi ini kembali diminati sekalipun tingkat
kualitasnya masih tetap harus dipertanyakan. Rekruitmen guru tidak saja pada
segi kuantitasnya tapi juga kualitasnya. Sekalipun fakultas keguruan kembali
diminati, namun sangat jarang –kalau bisa dibilang tidak ada dan mungkin
terpaksa- dijumpai bahwa siswa yang menduduki rangking atas masuk ke sana . Mereka cenderung ke
fakultas lain yang dianggap lebih menjamin masa depannya. Sekalipun begitu
tetap harus ada rasa syukur sebagai hamba yang mendapatkan anugrah sertifikasi.
Rasa syukur yang diwujudkan melalui kerja profesional dan tanggungjawab moral
terhadap profesi yang dijalani…
Makassar, 25
Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar