Rabu, 22 Januari 2014

PESANTREN SEBAGAI PENGEMBAN TEORI PEMBELAJARAN

I.  PENDAHULUAN
Dalam sejarah Islam Indonesia, pesantren memiliki peranan besar dalam membangun masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Keberadaan pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Indonesia sering mendapat pujian, apalagi dari masyarakat muslim sendiri. Pada saat yang sama, ketiga lembaga ini sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Bahkan eksistensi pesantren “dituding” sebagai –maaf- “sarang teroris”. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Dalam membahas persoalan pesantren sebagai pelaksana atau pengemban teori pembelajaran, diperlukan pendekatan historis untuk melihat sejauhmana implementasinya dan penyempurnaan teori selanjutnya. Tulisan ini mencoba mengulas bagaimana perkembangan pesantren sebagai pengemban teori pembelajaran dengan pendekatan historis.

II.  PEMBAHASAN
A. Tinjauan Historis Pesantren
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya berasal dari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji, langgar di Jawa atau surau di Minangkabau, rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India. (Steenbrink,1994)
Merujuk pada pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti madrasah dan asrama tempat mengaji, belajar agama Islam.(Depdikbud, 1995) Sedangkan makna “santri’ itu sendiri ada beberapa pandangan. Zamakhsyari Dhofier misalnya, sebagaimana pandangan  John menyebutkan bahwa “santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. Berg –dalam buku yang sama- berpendapat bahwa “santri” berasal dari kata “shastri” dalam bahasa India yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, orang sarjana, ahli kitab suci agama Hindu.(Dhofier, 1984) Dalam Ensiklopedi Islam juga dijelaskan bahwa santri berarti orang yang belajar agama Islam, sehingga pesantren diartikan sebagai tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam.(Poerbakawatja, 1976) Menurut Nurcholis Madjid, kata “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana pergi.(Madjid, 1997) Namun bahasa Jawa juga tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Hindu dan Budha dalam pembentukannya.
Menurut Haidar, sebelum kedatangan Islam, telah ada lembaga pendidikan Jawa Kuno yang disebut pawiyatan. Di lembaga itu tinggal Ki Ajar dengan cantrik. Ki Ajar orang yang mengajar dan cantrik orang yang diajar.  Kedua kelompok ini tinggal di satu kompleks dan di sini terjadi proses belajar mengajar.(Daulay, 1997) Haidar tidak menjelaskan lebih rinci tentang metode dan materi yang digunakan oleh lembaga pawiyatan tersebut, sehingga sulit untuk mengasumsikan apakah lembaga itu juga yang dimasudkan Sumarsono Mestoko sebagai lembaga pendidikan Hindu yang dikembangkan oleh pesantren.
Syukri Zarkasyi menguraikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama dan di dalamnya ada yang bertindak sebagai pendidik dan sentral figurnya yaitu kyai, ajengan atau tuan guru, juga ada santri, asrama, ruang belajar, dan masjid sebagai sentralnya.(Zarkasyi, 1990). Seperti pandangan Zamakhsyari Dhofier, penulis cenderung setuju dengan pengertian ini karena mencakup semua unsur yang ada di pesantren umumnya. Pondok, masjid, santri, kyai dan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren.
Terlepas dari berbagai polemik tentang keaslian asal usul pesantren –dari India atau asli Indonesia- dengan berbagai argumentasinya, yang jelas bahwa pengembangan sistem pesantren setelah kedatangan Islam dengan ciri khas padepokan dalam masyarakat Hindu tersebut mampu bertahan. Hal ini karena sistem tersebut sudah melembaga di masyarakat dan memiliki tokoh sentral dengan daya tarik pribadi seperti ilmu yang mendalam, sifat mulia, bijaksana, luhur, taqwa, saleh, dan semua sifat baik.(Mestoko, 1995). Bagi penulis, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya lahir dengan mengakomodir sistem yang telah ada di masyarakat. Meskipun menggunakan sistem yang mirip dengan padepokan agama Hindu atau pawiyatan Jawa Kuno, namun substansi materi dan rutinitas aktifitas di dalamnya jelas berbeda. Alasan lainnya bahwa sistem pendidikan pesantren juga terdapat dalam dunia Islam meskipun dengan bentuk yang agak berbeda.

B.  Sistem Pembelajaran Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertaqwa kepada-Nya dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan di akhirat.(Azra, 2002)
Dasar pembentukan dan pengembangan pendidikan Islam yang pertama dan utama tentu saja adalah Al-Qur’an dan Hadis. Tujuan-tujuan yang lebih terinci dirumuskan melalui materi, metode dan sistem evaluasi yang menekankan pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Kyai sebagai pendidik di pesantren menjadi figur sentral yang dipatuhi dan ditiru oleh para santrinya. Kekuatan Kyai berakar pada  kredibilitas moral dan kemampuan mempertahankan pranata sosial yang diinginkan.(Tafsir, 1994). Besar kecilnya atau dalam dangkalnya bahan studi yang diberikan di pesantren tergantung kyai bersangkutan. Luas dan sempitnya bahan studi juga tidak sama. Lama belajar pun demikian halnya. Ada yang belajar selama satu tahun, ada yang mencapai sepuluh tahun atau lebih.
Sosok kyai pengasuh pesantren juga sekaligus sebagai "kurikulum" dari pesantrennya. Artinya seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya berupa pengkajian kitab klasik, ditentukan oleh klasifikasi keilmuan dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fiqh, maka kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab fiqh, jika kyainya ahli ilmu tasawuf maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-kitab tasawuf, begitu seterusnya. Prinsip ini sebenarnya sangat modern, seperti yang berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya Guru Besar dari cabang keilmuan tersebut.
Kyai memang tidak didasarkan pada jenjang pendidikan secara ketat dan khusus. Menurut Muhammad Tholhah Hasan, ada 3 syarat kyai, yaitu memiliki keilmuan agama yang cukup luas di atas ukuran rata-rata masyarakatnya, memiliki integritas moral sehingga menjadi panutan masyarakatnya, dan mendapat pengakuan yang kuat dari masyarakatnya  (Hasan, 2003).
Di pesantren, pelajaran utama yang diberikan adalah dogma keagamaan yaitu dasar kepercayaan dan keyakinan Islam (Gunawan, 1995). Di sini juga diajarkan Al-Qur’an dan Hadis, fiqh serta tasawuf. Agar dapat menguasainya maka diajarkan pula bahasa Arab dari semua segi (gramatika, morfologi, fonetika dan sintaksis). Literatur ilmu-ilmu tersebut menggunakan kitab klasik atau yang biasa dikenal dengan kitab kuning. Model-model pembelajaran di pesantren (salafiyah) bersifat non klasikal seperti wetonan dan sorogan. Wetonan, (proses belajar kolektif) yaitu kyai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dengan santrinya membawa  kitab yang sama, lalu santri menyimak bacaan kyai. Sorogan, (proses belajar individual) yaitu santri mengajukan suatu kitab kepada kyai untuk dibaca di hadapannya, kesalahan bacaan langsung dibetulkan kyai  (Mujib, 2006).
Pencarian, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan di pesantren sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini, kejujuran, sikap tawadhu, menghormati sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu diperpegangi setiap pencari ilmu.
Tipologi pesantren dapat dibagi menjadi empat kelompok.
Pertama, pesantren yang tetap konsisten seperti pesantren zaman dulu,
disebut salafi. Kedua, Pesantren yang memadukan sistem lama dengan
sistem pendidikan sekolah, disebut pesantren "modern". Ketiga
Pesantren yang sebenarnya hanya sekolah biasa tetapi siswanya
diasramakan 24 jam. Keempat, pesantren yang tidak mengajarkan ilmu
agama, karena semangat keagamaan sudah dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan kehidupan sehari-hari di asrama. Bahkan, Muhmidayeli membaginya dalam 5 Pola Pesantren yaitu:
1)      Pola Pesantren A dengan materi kitab-kitab klasik dan metode sorogan, bandongan (wetonan) dan hafalan dengan penekanan pada aspek moral.
2)      Pola Pesantren B seperti pola A dengan sistem sorogan dan pengangkatan asisten dari santri senior untuk membantu kyai.
3)      Pola Pesantren C  yang memasukkan beberapa sumber pengajaran seperti madrasah sebagai upaya sistematisasi sistem pengajaran ilmu-ilmu agama.
4)      Pola Pesantren D, memberikan prioritas terhadap ketrampilan yang terkadang pesantren menjadi pilot project suatu kegiatan industri.
5)      Pola Pesantren E mencakup sektor pendidikan keislaman klasik, menyelenggarakan sekolah baik umum mapun agama dengan sistem pengajaran beragam.(Muhmidayeli, 2007)
Pada umumnya pesantren telah menggunakan sistem klasikal dengan mengadopsi madrasah sekaligus sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan dan proses pembelajarannya, bahkan tidak sedikit pesantren yang telah membuka sekolah seperti SD, SMP, SMA.
Ciri yang masih tetap dipertahankan di pesantren adalah pengajian kitab kuning oleh pengasuh pondok pesantren yang dilakukan di masjid. Satu hal yang menarik bahwa metode sorogan dan wetonan yang digunakan bisa tetap dipertahankan asalkan tidak menyalahi prinsip pengembangan ilmu pengetahuan seperti interpretasi yang tidak up to date lagi untuk diterapkan dalam konteks kekinian.

III. PENUTUP
Mengakhiri tulisan sederhana ini, penulis mencoba menyimpulkan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang lahir dari sistem pendidikan masyarakat Indonesia dengan sistem pembelajaran sorogan dan wetonan yang kemudian berkembang dengan sistem klasikal.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. IV; Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002.
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Kencana, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.
Gunawan, Ary H., Kebijakan-kebijakan Pendidikan, Cet. II; Jajkarta: PT. Rineka Cipta, 1995.
Hasan, Muhammad Tholhah, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, Cet. II; Jakarta: Lantabora Press, 2003.
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.
Mestoko, Sumarsono, dkk., Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
Muhmidayeli, et.al., Membangun Paradigma Pendidikan Islam, Cet. I; Pekanbaru: PPs UIN Suska Riau, 2007.
Mujib, Abd., Ilmu Pendidikan Islam, Cet I; Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1976.
Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Cet. II; Jakarta: LP3ES, 1994.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Cet. II; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Zarkasyi, Abdullah Syukri, Pondok Pesantren Sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan untuk Program Pengembangan Studi Islam Asia Tenggara, Surakarta: Unismuh Surakarta, 1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar