Senin, 20 Januari 2014

MENYUSURI JEJAK ISLAM DI SULAWESI UTARA (Bagian-1)


  
Catatan Kecil Lawatan Sejarah Daerah se-Suluttenggo 2012
a.         Kampung Jawa Tomohon
Spot pertama yang dikunjungi adalah Kampung Jawa Tomohon. Sebagaimana tema yang diusung panitia, lokasi ini tidak bisa lepas dari simpul-simpul peradaban Islam di Sulawesi Utara. Komunitas Kampung Jawa Tomohon diawali dengan masuknya tujuh pemuda dari Banten yang diasingkan pemerintah Kolonial Belanda ke Minahasa sekira tahun 1791. Menurut Hi. Tomy Tubagus, sesepuh Kampung Jawa Tomohon dan juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tomohon, tujuh pemuda itu adalah Tubagus Buang, penghulu Abu Salam, Muskali, Mas Jebeng, Abdul Rais, Abdul Hayi dan Hanafi. Mereka pertama kali ditempatkan di Tombariri kemudian diasingkan di Kakaskasen. Dari Kakaskasen mereka kembali diasingkan di sekitar kelurahan Walian sekarang ini dan pindah lagi ke perkebunan kayu payung hingga terbentuklah komunitas Kampung Jawa sekarang.
Secara de jure, Kampung Jawa Tomohon resmi menjadi sebuah kampung dengan pemerintahan sendiri pada tahun 1830. Persepsi bahwa Kampung Jawa Tomohon merupakan pecahan dari Kampung Jawa Tondano adalah keliru dan perlu diluruskan. Pada kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa Kampung Jawa Tomohon telah lebih dulu ada dibandingkan Kampung Jawa Tondano.
Adapun keberadaan masjid Nurul Iman di Kampung Jawa Tomohon, menurut Suharto Abu Salam selaku imam, kurang diketahui pasti, tapi keberadaan masjid tersebut seiring dengan terbentuknya komunitas Kampung Jawa Tomohon di awal 1800-an. Menurut pak Imam, sampai saat ini beliau merupakan imam ke-7 sejak masjid didirikan. 
Ketua MUI Tomohon H. Tomy Tubagus
b.         Makam Kiay Modjo di Kampung Jawa Tondano
Peserta Laseda di Makam Kiay Modjo Tondano
Spot selanjutnya yang dikunjungi adalah Makam Kiay Modjo atau Kiay Muslim Muhammad Halifah di Kampung Jawa Tondano. Beliau adalah penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang menentang kekuasaan Belanda pada tahun 1825-1830. Beliau ditangkap dan dibuang ke Minahasa bersama para pengikutnya pada akhir tahun 1828.
Kyai Modjo dan 62 orang pengikutnya pertama kali ditempatkan pemerintah Belanda di Kaburukan, bagian selatan Kema. Selanjutnya mereka dipindahkan ke sebelah utara yaitu di Tanjung Merah dan atas permintaan mereka, dipindahkan lagi ke sebelah barat Sungai Tondano. Tidak diketahui berapa lama di daerah itu, mereka dipindahkan lagi ke daerah Kawak (sekarang belakang masjid Kampung Tegal Rejo), kemudian pindah ke tempat sekarang yang dikenal dengan Kampung Jawa. Tanah yang diberikan pemerintah Belanda tidak semuanya dikelola oleh Kyai Modjo dan pengikutnya, sebagian diambil penduduk pribumi. Kemudian berdirilah perkampungan Wulauan dan Marawas tahun 1897. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam orang-orang Jawa dan Kyai Modjo beserta pengikutnya di Wulauan sebelah timur Kampung Jawa.
Sejak diasingkan, Kyai Modjo tidak menikah lagi dan hanya tekun mengajarkan Islam hingga akhir hayatnya. Pengikutnyalah yang berasimilasi dengan penduduk pribumi dan menjadikan komunitas Kampung Jawa semakin luas. Profesi mereka yang hanya petani dan tukang (tukang kayu, tukang besi dan tukang jahit) membuat mereka tidak melakukan perlawanan secara fisik terhadap pemerintah Belanda.
c.         Masjid al-Falah Kyai Modjo Kampung Jawa Tondano (Kesenian Hadrah)
Masjid al-Falah adalah salah satu peninggalan peradaban Islam di Minahasa. Masjid yang dibangun pada abad ke-19 oleh orang-orang Jawa yang diasingkan di Tondano ini masih menyisakan benda bersejarah yaitu bedug dan mimbar. Tampak pula empat tiang yang masih kokoh sebagai bagian dari peninggalan bersejarah di masjid al-Falah Kyai Modjo.
Teras masjid Al-Falah Kiay Modjo Kampung Jawa Tondano
Salah satu tokoh yang diasingkan di Minahasa adalah Raden Syarif Abdullah Assegaf atau Sayid Abdullah bin Umar Assegaf, seorang keturunan Arab dari Palembang Sumatera Selatan. Selain sebagai guru ngaji, beliau juga sosok yang berjiwa seni. Beliau mengajarkan kesenian yang bernuansa Islami seperti rodat/hadrah, kasidah dan zamrah. Hadrah pertama kali ditampilkan pada tahun 1959 saat pernikahan di Kampung Jawa. Ada 20 orang yang melantunkan syair dan tujuh orang penabuh rebana. Syair yang dilagukan berasal dari kitab Barzanji dan menggunakan bahasa Arab.
Kesenian hadrah kampung Jawa Tondano

 
d.         Makam Tuanku Imam Bonjol Pineleng
Makam Tuanku Imam Bonjol terletak di Pineleng. Berikut adalah penjelasan dari ibu Ainun, juru kunci makam Imam Bonjol, yang merupakan turunan keempat dari pengawal beliau, Apolos.
Tuanku Imam Bonjol adalah seorang pahlawan Nasional yang berasal dari Sumatera Barat. Nama lain beliau adalah Peto Syarif. Dalam perlawanannya terhadap pemerintah Belanda, beliau dijebak dalam sebuah perundingan lalu ditangkap dan dibawa ke Batavia dan diasingkan di Cianjur. Imam Bonjol kemudian diasingkan lagi ke Ambon lalu dipindahkan ke desa Lotta Kecamatan Pineleng pada tahun 1841 hingga wafat dalam usia 92 tahun pada tanggal 6 November 1854.
Di pengasingannya, beliau ditemani oleh pengawalnya yang setia yakni Apolos Minggu, Bagindo Magek, dan Pangeran Buyung.
Makam Imam Bonjol dibangun dengan ciri khas Sumatera. Sebuah relief yang menggambarkan Imam Bonjol dalam Perang Paderi menghiasi salah satu dinding makam. Selain makam terdapat pula sebuah batu yang digunakan oleh Imam Bonjol sebagai tempat salat. Saat ini batu tersebut juga digunakan oleh peziarah untuk salat yang berada di pinggir kali.


e.         Makam Ratu Sekar Kedaton
Makam Ratu Sekar Kedaton berada di Kelurahan Mahakeret Barat Kecamatan Wenang Kota Manado. Para peserta LASEDA 2012 diterima oleh pihak ahli waris keluarga Ratu Sekar Kedaton yang datang langsung dari Jakarta. Kebetulan area makam sedang diperbaiki sehingga kedatangan kami sudah ditunggu pihak keluarga.
wawancara dengan pihak keluarga dari Jakarta

Makam KanjengRatu Sekar Kedaton bersamaputranya di Manado
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh keturunan langsung dari Ratu Sekar Kedaton,  dapat dipahami bahwa beliau adalah Permaisuri Hamengku Buwono V, raja Jawa yang berkedudukan di Yogyakarta. Pada saat HB V meninggal dunia, Ratu Sekar Kedaton sedang hamil tua. Tidak lama setelah itu, sekitar 13 hari kemudian, Ratu pun melahirkan putra mahkota. Karena masih kecil, tahta kerajaan diserahkan kepada kerabat raja yang menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VI. 
Pose bersama di komplek makam Ratu Sekar Kedaton
 Tiga belas tahun kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VI meninggal dan menunjuk putranya yang akhirnya bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Inilah asal usul pertikaian dalam keluarga kerajaan. Semestinya tahta kerajaan sesudah Sri Sultan Hamengku Buwono VI diserahkan kepada putra mahkota HB V yaitu Gusti Kanjeng Pangeran Arya Suryeng Ngalaga atau Gusti Timur Muhammad. Namun begitulah yang terjadi, intrik politik pun mewarnai suasana kerajaan sehingga HB VII menangkap Ratu Sekar Kedaton dan putranya lalu dibuang ke Manado dengan tuduhan dianggap membangkang pada raja, pergi dari kota tanpa pamit serta berniat melakukan perang. Pemerintah Belanda yang memfasilitasi semua itu juga beranggapan demikian karena Ratu Sekar Kedaton masih memiliki hubungan kerabat dengan Pangeran Diponegoro dan sering berkomunikasi untuk melakukan perlawanan. Mereka pun dibawa ke Manado, tepatnya di daerah Pondol hingga meninggal di daerah ini. (bersambung)

( Manado, 04 Juli 2012)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar