Tulisan ini tidak
bermaksud untuk menggugat sebuah kemapanan atau bahkan merombak sesuatu yang
sudah melekat kuat di kalangan peserta didik, guru atau masyarakat. Bukan juga
sebuah pemikiran yang anti establishment, atau mungkin mempertentangkan
antara Badan Tazkir dan Rohis sebagaimana judul di atas, tetapi semata-mata
sebagai sebuah “pencerahan” bagi para pendidik dan pemerhati pendidikan.
Perbedaan istilah kadangkala bahkan sering menimbulkan persepsi yang berbeda.
Berangkat dari berbagai
diskusi dan observasi, juga didasarkan pada pengalaman sebagai tenaga pendidik
di SMA, penulis menemukan bahwa ada sedikit “ketidaknyamanan” berkaitan dengan
posisi kegiatan ekstrakurikuler yang menunjang pembelajaran Pendidikan Agama
Islam pada SMA/SMK di Kota Manado. Artinya, masih terdapat over lapping
antara OSIS, Badan Tazkir atau Rohis sebagai organisasi dan sebagai sebuah
kegiatan ekstrakurikuler. Terlebih lagi pada bagan/struktur kepengurusannya.
Selama ini -sepanjang
pengetahuan penulis- di setiap sekolah dengan siswa muslim yang memadai
terdapat sebuah lembaga bernama Badan Tazkir. Penulis sendiri belum mengkaji
aspek historis “Badan Tazkir” –selanjutnya disebut BT- namun sepintas bisa
dipahami bahwa lembaga ini mewadahi para peserta didik muslim untuk
melaksanakan berbagai kegiatan keislaman yang mendukung pembelajaran PAI. Penulis juga tidak membicarakan wadah semacam
ini di luar lingkungan sekolah seperti Universitas atau Institusi lain yang
memiliki BT. Secara struktur organisasi, ada BT yang bernaung di bawah
kepengurusan OSIS karena pengurus BT adakalanya ex-officio pengurus
OSIS, namun ada juga yang berdiri sendiri dan tidak ada kaitannya dengan OSIS.
Bahkan ada BT yang dibentuk di tingkat Kota dan mewadahi BT di tingkat sekolah.
Bagi penulis, sebagai sebuah sarana dakwah, hal tersebut bukan menjadi
persoalan asal saja dikelola dengan baik dan jelas arah serta
penanggungjawabnya. Tetapi sebagai sebuah bagian dari kurikulum sekolah –bisa
dibilang hidden curriculum karena pelaksanaannya di luar jam tatap muka-
BT harus tetap di bawah bimbingan Guru Pendidikan Agama Islam dan kegiatannya
tidak “liar” atau sepengetahuan pihak sekolah. Boleh jadi ini sesuatu yang
unik, kasuistis, dan bersifat lokal. Namun menurut hemat penulis, perlu ada
kesamaan persepsi diantara pembina demi perbaikan ke depan. Ada beberapa hal
yang mungkin bisa dikritisi berkaitan dengan persoalan tersebut diantaranya:
Pertama, jika BT sebagai sebuah badan yang
menaungi siswa muslim maka BT adalah organisasi independen di lingkungan
sekolah dan tidak berafiliasi ke organisasi manapun dengan penanggungjawab
Kepala Sekolah dan dibawah bimbingan Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah
tersebut atau guru lain yang ditugaskan untuk itu. Jadi, BT bertanggungjawab
langsung kepada Kepala Sekolah (Wakasek. Kesiswaan) dan mempunyai garis koordinasi
dengan organisasi intra sekolah lainnya.
Kedua, jika BT adalah kegiatan
ekstrakurikuler maka kedudukannya sama dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya
seperti Pramuka, Pencinta Alam, PMR, English Club, Kesenian (Paduan Suara,
Tari, dll.), Olahraga (Sepak Bola, Basket, dll.). Satu hal yang membedakan, BT
hanya diikuti oleh siswa muslim dan merupakan pilihan wajib. Dari sisi ini,
ketika pihak sekolah mewajibkan untuk memilih salah satu kegiatan
ekstrakurikuler bagi siswa kelas X, sesungguhnya siswa muslim sudah memiliki
pilihan sekalipun tidak memilih kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang ada di
sekolah dan tentunya harus diikuti dengan sungguh-sungguh.
Ketiga, sebuah perpaduan antara keduanya
bahwa BT adalah organisasi independen di tingkat sekolah yang menjadi kegiatan
ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dengan GPAI sebagai pembina dan Kepala
Sekolah sebagai Penanggungjawabnya. BT menyelenggarakan kegiatan yang
mengembangkan potensi keagamaan siswa muslim di sekolah yang mengedepankan
pemahaman dan pengamalan nilai-nilai religius menuju terciptanya religious
culture. Di sinilah posisi BT yang “locally” itu diganti menjadi Rohani
Islam atau Rohis yang lebih akrab di telinga dan lebih “gaul”, tidak terasa
asing oleh teman-teman di luar daerah.
Keempat, Rohis yang notabene menjadi andalan
dalam berbagai kegiatan keislaman dan pembinaan ekstrakurikuler keagamaan itu
bisa dikembangkan pada tingkat Kota atau Provinsi. Bahkan berbagai kegiatan
ekstrakurikuler rohis itu dilombakan sampai ke tingkat Nasional karena salah
satu program prioritas dari Subdit Kesiswaan Direktorat Pendidikan Agama Islam
pada Sekolah, Kementrian Agama R.I. adalah
program/kegiatan Rohis.
Kelima, pengembangan Rohis ditingkat Kota
Manado dalam pandangan penulis langsung dapat dikoordinir oleh GPAI yang saat
ini tergabung dalam wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
(MGMP PAI) SMA/SMK Kota Manado. Artinya, kegiatan pembinaan keagamaan yang
dilaksanakan di tingkat Kota oleh Rohis –selama ini dilaksanakan oleh MGMP- tidak
perlu dipertanyakan atau diragukan oleh pihak sekolah karena pembinanya jelas
yaitu kumpulan dari Pembina Rohis di Sekolah (Dari data MGMP PAI SMA/SMK Kota
Manado, ada 30 GPAI yang tergabung dalam wadah ini, baik Guru Tetap maupun Guru
Tidak Tetap, PNS dan non PNS) yang SK Kepengurusannya ditandatangani oleh
Kepala Kantor Departemen Agama Kota Manado (Kementrian Agama) dan Kepala Dinas
Pendidikan Kota Manado.
Pada akhirnya, penulis
berharap bahwa tulisan ini bisa memberikan secercah harapan bagi GPAI yang
“termarjinalkan” untuk mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler PAI di sekolah
sebagai bagian dari upaya melengkapi 2 (dua) jam pelajaran (90 menit) per
minggu dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Jika Rohis merupakan
pilihan, mengapa tidak? (Makassar, 02 Mei 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar