Selasa, 21 Januari 2014

BADAN TAZKIR VS ROHIS

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menggugat sebuah kemapanan atau bahkan merombak sesuatu yang sudah melekat kuat di kalangan peserta didik, guru atau masyarakat. Bukan juga sebuah pemikiran yang anti establishment, atau mungkin mempertentangkan antara Badan Tazkir dan Rohis sebagaimana judul di atas, tetapi semata-mata sebagai sebuah “pencerahan” bagi para pendidik dan pemerhati pendidikan. Perbedaan istilah kadangkala bahkan sering menimbulkan persepsi yang berbeda.
Berangkat dari berbagai diskusi dan observasi, juga didasarkan pada pengalaman sebagai tenaga pendidik di SMA, penulis menemukan bahwa ada sedikit “ketidaknyamanan” berkaitan dengan posisi kegiatan ekstrakurikuler yang menunjang pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada SMA/SMK di Kota Manado. Artinya, masih terdapat over lapping antara OSIS, Badan Tazkir atau Rohis sebagai organisasi dan sebagai sebuah kegiatan ekstrakurikuler. Terlebih lagi pada bagan/struktur kepengurusannya.
Selama ini -sepanjang pengetahuan penulis- di setiap sekolah dengan siswa muslim yang memadai terdapat sebuah lembaga bernama Badan Tazkir. Penulis sendiri belum mengkaji aspek historis “Badan Tazkir” –selanjutnya disebut BT- namun sepintas bisa dipahami bahwa lembaga ini mewadahi para peserta didik muslim untuk melaksanakan berbagai kegiatan keislaman yang mendukung pembelajaran PAI.  Penulis juga tidak membicarakan wadah semacam ini di luar lingkungan sekolah seperti Universitas atau Institusi lain yang memiliki BT. Secara struktur organisasi, ada BT yang bernaung di bawah kepengurusan OSIS karena pengurus BT adakalanya ex-officio pengurus OSIS, namun ada juga yang berdiri sendiri dan tidak ada kaitannya dengan OSIS. Bahkan ada BT yang dibentuk di tingkat Kota dan mewadahi BT di tingkat sekolah. Bagi penulis, sebagai sebuah sarana dakwah, hal tersebut bukan menjadi persoalan asal saja dikelola dengan baik dan jelas arah serta penanggungjawabnya. Tetapi sebagai sebuah bagian dari kurikulum sekolah –bisa dibilang hidden curriculum karena pelaksanaannya di luar jam tatap muka- BT harus tetap di bawah bimbingan Guru Pendidikan Agama Islam dan kegiatannya tidak “liar” atau sepengetahuan pihak sekolah. Boleh jadi ini sesuatu yang unik, kasuistis, dan bersifat lokal. Namun menurut hemat penulis, perlu ada kesamaan persepsi diantara pembina demi perbaikan ke depan. Ada beberapa hal yang mungkin bisa dikritisi berkaitan dengan persoalan tersebut diantaranya:
Pertama, jika BT sebagai sebuah badan yang menaungi siswa muslim maka BT adalah organisasi independen di lingkungan sekolah dan tidak berafiliasi ke organisasi manapun dengan penanggungjawab Kepala Sekolah dan dibawah bimbingan Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah tersebut atau guru lain yang ditugaskan untuk itu. Jadi, BT bertanggungjawab langsung kepada Kepala Sekolah (Wakasek. Kesiswaan) dan mempunyai garis koordinasi dengan organisasi intra sekolah lainnya. 
Kedua, jika BT adalah kegiatan ekstrakurikuler maka kedudukannya sama dengan kegiatan ekstrakurikuler lainnya seperti Pramuka, Pencinta Alam, PMR, English Club, Kesenian (Paduan Suara, Tari, dll.), Olahraga (Sepak Bola, Basket, dll.). Satu hal yang membedakan, BT hanya diikuti oleh siswa muslim dan merupakan pilihan wajib. Dari sisi ini, ketika pihak sekolah mewajibkan untuk memilih salah satu kegiatan ekstrakurikuler bagi siswa kelas X, sesungguhnya siswa muslim sudah memiliki pilihan sekalipun tidak memilih kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang ada di sekolah dan tentunya harus diikuti dengan sungguh-sungguh.
Ketiga, sebuah perpaduan antara keduanya bahwa BT adalah organisasi independen di tingkat sekolah yang menjadi kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dengan GPAI sebagai pembina dan Kepala Sekolah sebagai Penanggungjawabnya. BT menyelenggarakan kegiatan yang mengembangkan potensi keagamaan siswa muslim di sekolah yang mengedepankan pemahaman dan pengamalan nilai-nilai religius menuju terciptanya religious culture. Di sinilah posisi BT yang “locally” itu diganti menjadi Rohani Islam atau Rohis yang lebih akrab di telinga dan lebih “gaul”, tidak terasa asing oleh teman-teman di luar daerah.
Keempat, Rohis yang notabene menjadi andalan dalam berbagai kegiatan keislaman dan pembinaan ekstrakurikuler keagamaan itu bisa dikembangkan pada tingkat Kota atau Provinsi. Bahkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler rohis itu dilombakan sampai ke tingkat Nasional karena salah satu program prioritas dari Subdit Kesiswaan Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, Kementrian Agama R.I. adalah  program/kegiatan Rohis.
Kelima, pengembangan Rohis ditingkat Kota Manado dalam pandangan penulis langsung dapat dikoordinir oleh GPAI yang saat ini tergabung dalam wadah Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (MGMP PAI) SMA/SMK Kota Manado. Artinya, kegiatan pembinaan keagamaan yang dilaksanakan di tingkat Kota oleh Rohis –selama ini dilaksanakan oleh MGMP- tidak perlu dipertanyakan atau diragukan oleh pihak sekolah karena pembinanya jelas yaitu kumpulan dari Pembina Rohis di Sekolah (Dari data MGMP PAI SMA/SMK Kota Manado, ada 30 GPAI yang tergabung dalam wadah ini, baik Guru Tetap maupun Guru Tidak Tetap, PNS dan non PNS) yang SK Kepengurusannya ditandatangani oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kota Manado (Kementrian Agama) dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Manado.
Pada akhirnya, penulis berharap bahwa tulisan ini bisa memberikan secercah harapan bagi GPAI yang “termarjinalkan” untuk mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler PAI di sekolah sebagai bagian dari upaya melengkapi 2 (dua) jam pelajaran (90 menit) per minggu dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Jika Rohis merupakan pilihan, mengapa tidak? (Makassar, 02 Mei 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar