Selasa, 21 Januari 2014

LOYALITAS SANTRI TERHADAP KIAY

LOYALITAS SANTRI TERHADAP KIAY
(Menyoal Kiay sebagai Kepala Pemerintahan)


Fenomena kiay –ulama- menjadi kepala pemerintahan bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum Nabi Muhammad Saw., Nabi Daud telah memberikan sebuah contoh nyata bahwa di samping sebagai seorang Nabi (Pemimpin Agama) beliau juga sebagai seorang Raja (Pemimpin Negara). Posisi ini bahkan diturunkan kepada Nabi Sulaiman yang tentunya capable dalam mengemban amanah tersebut. Sejarah Islam telah menulis dengan tinta emas, betapa Rasulullah Muhammad Saw., pun melakukan hal yang sama bahkan dalam kurun waktu yang singkat mampu membangun sebuah sistem kenegaraan dengan posisi ganda beliau sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin Negara. Empat khalifah sesudah beliau –Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib- juga mengemban tugas yang sama, hingga para khalifah dinasti Umayah dan Abbasiyah.
Masa kerajaan Islam di nusantara tidak kalah dengan masa pemerintahan Umayah dan Abbasiyah. Di Kesultanan Yogyakarta misalnya, seorang Sultan juga merupakan pemimpin agama sehingga Sultan yang bersurban bukanlah suatu hal yang aneh. Di masa pra kemerdekaan, berapa banyak ulama yang menjadi menteri –selain menteri Agama- dan jabatan pemerintahan lainnya, bahkan pasca reformasi, Gus Dur sebagai seorang kiay membuktikan bahwa kiay layak untuk menjadi presiden dan mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia. Jadi, seorang pemimpin agama yang menjadi kepala pemerintahan atau sebaliknya bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan. Syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah memiliki kapabilitas dalam dua hal tersebut.
Dalam sejarah Islam Indonesia, pesantren memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Eksistensi pesantren di Indonesia sebagai lembaga yang banyak mencetak kader Islam, sering mendapat pujian, apalagi dari masyarakat muslim sendiri. Pada saat yang sama, lembaga ini sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Bahkan eksistensi pesantren dituding sebagai –maaf- “sarang teroris”. Tidak jarang pesantren “diobok-obok” pihak keamanan untuk mencari “teroris” yang diduga bersembunyi di pesantren. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Kiay yang nota bene berasal dari pesantren sesungguhnya memiliki keunggulan loyalitas dari santrinya dibanding pemimpin lainnya. Jika disingkap tabir kepesantrenan maka akan bisa dilihat betapa “doktrin” loyalitas yang dibangun adalah sangat kuat. Konsep ketaatan terhadap kiay sepertinya mampu menjadikan perekat yang sangat erat antara kiay dan santri terutama secara intelektual, emosional, dan spiritual.  Dalam kehidupan pesantren –dengan berbagai problematikanya- kiay adalah figur sentral yang memegang kendali penuh pesantren. Terlepas dari berbagai latar belakang kepemilikan pesantren, milik perorangan atau yayasan dan badan lainnya, tetap saja kiay tidak bisa dilepaskan dari pesantrennya.
Pencarian, penguasaan, dan pengembangan ilmu pengetahuan di pesantren sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini, kejujuran, sikap tawadhu, menghormati sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu diperpegangi setiap pencari ilmu (santri). Itu sebabnya kiay benar-benar dihormati dan ditaati karena kiay merupakan sumber pengetahuan. Bahkan sosok kyai pengasuh pesantren juga sekaligus sebagai "kurikulum" dari pesantrennya. Artinya seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada umumnya berupa pengkajian kitab klasik, ditentukan oleh klasifikasi keilmuan dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fikih, maka kitab-kitab yang dikaji kebanyakan kitab fikih, jika kyainya ahli ilmu tasawuf maka kitab-kitab yang dikaji juga kitab-kitab tasawuf, begitu seterusnya. Prinsip ini sebenarnya sangat modern, seperti yang berlaku di universitas-universitas terkenal di Barat, yakni bahwa pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya Guru Besar dari cabang keilmuan tersebut.
Kyai memang tidak didasarkan pada jenjang pendidikan secara ketat dan khusus. Menurut Muhammad Tholhah Hasan, ada 3 syarat kyai, yaitu memiliki keilmuan agama yang cukup luas di atas ukuran rata-rata masyarakatnya, memiliki integritas moral sehingga menjadi panutan masyarakatnya, dan mendapat pengakuan yang kuat dari masyarakatnya. Menurut hemat penulis, seseorang yang disebut kiay sudah barang tentu memiliki kemampuan sehingga mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Kiay tidak akan menyebut dirinya dengan “Kiay” jika bukan masyarakat yang menyandangkan gelar itu padanya. Betapa banyak orang yang pintar, memiliki pengetahuan di atas rata-rata tapi tidak disebut “Kiay”.
Dari sini mulai tergambarkan bahwa santri yang benar-benar “mondok” tidak akan pernah melawan atau membangkang terhadap kiaynya. Apa yang diperintahkan kiay adalah sebuah titah yang harus dilaksanakan dengan asumsi bahwa kiay tidak akan memberikan perintah untuk maksiat atau menzalimi orang lain. Jika polisi, -dengan pendidikan awal beberapa bulan itu- mampu mengatakan “Siap!” untuk perintah komandannya, atau kader partai yang rela berjibaku demi pemimpin dan partainya, bagaimana dengan santri yang bertahun-tahun digembleng kiaynya? Wallahu a’lam. (Makassar, 10 Aril 2010)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar