LOYALITAS SANTRI TERHADAP KIAY
(Menyoal Kiay sebagai Kepala
Pemerintahan)
Fenomena kiay –ulama- menjadi kepala pemerintahan bukanlah sesuatu yang
baru. Jauh sebelum Nabi Muhammad Saw., Nabi Daud telah memberikan sebuah contoh
nyata bahwa di samping sebagai seorang Nabi (Pemimpin Agama) beliau juga
sebagai seorang Raja (Pemimpin Negara). Posisi ini bahkan diturunkan kepada
Nabi Sulaiman yang tentunya capable
dalam mengemban amanah tersebut. Sejarah Islam telah menulis dengan tinta emas,
betapa Rasulullah Muhammad Saw., pun melakukan hal yang sama bahkan dalam kurun
waktu yang singkat mampu membangun sebuah sistem kenegaraan dengan posisi ganda
beliau sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin Negara. Empat khalifah sesudah
beliau –Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib- juga mengemban tugas yang sama, hingga para khalifah dinasti Umayah dan
Abbasiyah.
Masa kerajaan Islam di nusantara tidak kalah dengan masa pemerintahan
Umayah dan Abbasiyah. Di Kesultanan Yogyakarta misalnya, seorang Sultan juga
merupakan pemimpin agama sehingga Sultan yang bersurban bukanlah suatu hal yang
aneh. Di masa pra kemerdekaan, berapa banyak ulama yang menjadi menteri –selain
menteri Agama- dan jabatan pemerintahan lainnya, bahkan pasca reformasi, Gus
Dur sebagai seorang kiay membuktikan bahwa kiay layak untuk menjadi presiden
dan mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia. Jadi, seorang pemimpin agama
yang menjadi kepala pemerintahan atau sebaliknya bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan.
Syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah memiliki kapabilitas dalam dua hal
tersebut.
Dalam sejarah Islam Indonesia ,
pesantren memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat yang berbudaya
dan berperadaban. Eksistensi pesantren di Indonesia sebagai lembaga yang
banyak mencetak kader Islam, sering mendapat pujian, apalagi dari masyarakat
muslim sendiri. Pada saat yang sama, lembaga ini sering pula mendapat kecaman
dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Bahkan
eksistensi pesantren dituding sebagai –maaf- “sarang teroris”. Tidak jarang
pesantren “diobok-obok” pihak keamanan untuk mencari “teroris” yang diduga
bersembunyi di pesantren. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara
tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting
untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi
tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.
Kiay yang nota bene berasal dari pesantren sesungguhnya memiliki
keunggulan loyalitas dari santrinya dibanding pemimpin lainnya. Jika disingkap
tabir kepesantrenan maka akan bisa dilihat betapa “doktrin” loyalitas yang
dibangun adalah sangat kuat. Konsep ketaatan terhadap kiay sepertinya mampu
menjadikan perekat yang sangat erat antara kiay dan santri terutama secara
intelektual, emosional, dan spiritual.
Dalam kehidupan pesantren –dengan berbagai problematikanya- kiay adalah
figur sentral yang memegang kendali penuh pesantren. Terlepas dari berbagai
latar belakang kepemilikan pesantren, milik perorangan atau yayasan dan badan
lainnya, tetap saja kiay tidak bisa dilepaskan dari pesantrennya.
Pencarian, penguasaan, dan
pengembangan ilmu pengetahuan di pesantren sangat menekankan pada nilai-nilai
akhlak. Dalam konteks ini, kejujuran, sikap tawadhu, menghormati sumber
pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu
diperpegangi setiap pencari ilmu (santri). Itu sebabnya kiay benar-benar
dihormati dan ditaati karena kiay merupakan sumber pengetahuan. Bahkan sosok kyai pengasuh pesantren juga sekaligus sebagai "kurikulum" dari
pesantrennya. Artinya seluruh program akademik sebuah pesantren yang pada
umumnya berupa pengkajian kitab klasik, ditentukan oleh klasifikasi keilmuan
dari kyainya. Jika kyainya ahli ilmu fikih, maka kitab-kitab yang dikaji
kebanyakan kitab fikih, jika kyainya ahli ilmu tasawuf maka kitab-kitab yang
dikaji juga kitab-kitab tasawuf, begitu seterusnya. Prinsip ini sebenarnya
sangat modern, seperti yang berlaku di universitas-universitas terkenal di
Barat, yakni bahwa pembukaan suatu program studi tergantung ada tidaknya Guru
Besar dari cabang keilmuan tersebut.
Kyai memang tidak didasarkan pada jenjang pendidikan
secara ketat dan khusus. Menurut Muhammad Tholhah Hasan, ada 3 syarat kyai,
yaitu memiliki keilmuan agama yang cukup luas di atas ukuran rata-rata
masyarakatnya, memiliki integritas moral sehingga menjadi panutan
masyarakatnya, dan mendapat pengakuan yang kuat dari masyarakatnya. Menurut
hemat penulis, seseorang yang disebut kiay sudah barang tentu memiliki
kemampuan sehingga mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Kiay tidak akan
menyebut dirinya dengan “Kiay” jika bukan masyarakat yang menyandangkan gelar
itu padanya. Betapa banyak orang yang pintar, memiliki pengetahuan di atas
rata-rata tapi tidak disebut “Kiay”.
Dari sini mulai tergambarkan bahwa santri yang
benar-benar “mondok” tidak akan pernah melawan atau membangkang terhadap
kiaynya. Apa yang diperintahkan kiay adalah sebuah titah yang harus
dilaksanakan dengan asumsi bahwa kiay tidak akan memberikan perintah untuk
maksiat atau menzalimi orang lain. Jika polisi, -dengan pendidikan awal
beberapa bulan itu- mampu mengatakan “Siap!” untuk perintah komandannya, atau
kader partai yang rela berjibaku demi pemimpin dan partainya, bagaimana dengan
santri yang bertahun-tahun digembleng kiaynya? Wallahu a’lam. (Makassar, 10
Aril 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar