Selasa, 21 Januari 2014

Ramadhan: Upaya Meng “up grade” Iman

Ramadhan kembali hadir dengan membawa sejuta harapan bagi mereka yang ingin memprbaiki diri dan menata kehidupan rohaninya. Spritualitas orang yang beriman akan semakin marak dengan kehadiran Ramadhan. Tepatlah jika Dr. Muhammad Al Bahi dalam bukunya “Al Islam fi Hayatil Muslim”, menyatakan bahwa bulan suci Ramadhan adalah layak diberikan predikat Syahrur ruuhi wal iman (bulan yang mengandung nilai-nilai rohaniah dan keimanan).
Bulan Ramadhan sebagai syahrul Qur’an memberikan kesempatan kepada orang yang beriman untuk membaca dan mengkaji kedalaman maknanya. Salah satu hal yang mampu meningkatkan iman seseorang adalah ketika mempelajari Al Qur’an dan mendapatkan informasi tentang betapa pedihnya azab kubur atau betapa dahsyatnya Hari Kiamat serta betapa merana dan menderitanya penghuni neraka yang senantiasa disiksa setiap saat. Ada perasaan bergidik dan perasaan yang membuat bulu kuduk merinding, ketakutan setengah mati serta berdoa agar kiranya kepedihan itu tidak dirasakan. Lalu muncul tekad untuk memperbaiki diri dan tidak ingin merasakan kepedihan dan kesengsaraan tersebut.  Kondisi ini mengindikasikan bahwa masih ada sesuatu yang biasa disebut ”Iman”.
Iman adalah soal kepercayaan dan keyakinan. Jika sudah menyangkut keyakinan –dalam segala hal- maka seseorang tidak akan terpengaruh dengan apapun. Seorang siswa akan merasa “pede” dengan mode rambutnya yang seperti durian, sekalipun teman-temannya mengejek dan memperingatkan dia agar hati-hati dengan penjual balon.  Ini masalah keyakinan. Apapun tidak akan merubah pendirian seseorang yang merasa yakin dengan suatu hal. Perlu alasan-alasan yang logis, rasional dan benar-benar kuat untuk merubah suatu keyakinan.
Bagi seorang muslim, iman itu bertambah dan berkurang, seperti layaknya grafik bagi orang yang ”koma” di rumah sakit. Bagi malaikat, keimanannya cenderung stabil karena malaikat tidak dibekali nafsu dan hanya memiliki akal. Para nabi dan aulia, grafik keimanannya cenderung naik seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Al Qur’an memberikan sebuah gambaran bahwa iman itu laksana sebuah pohon yang akarnya menghujam kuat ke bumi dan rantingnya menggapai ke langit. Iman yang baik senantiasa teruji dengan berbagai persoalan kehidupan dan lingkungan yang mempengaruhinya. 
Ada dua perumpamaan, sebut saja A dan B. Si A tinggal di Makkah, rajin shalat, gaul dan ibadah lainnya. Adapun B tinggal di Los Angeles dengan segala kondisinya tapi tetap rajin shalat “say hello” dan beribadah lainnya. Di antara A dan B, manakah yang imannya lebih kuat? Si A rajin shalat karena lingkungannya mendukung. Masjidil haram dan segala ketentuan syariat Islam yang berlaku di kota itu membuat A semakin tebal imannya. Ini adalah kondisi yang wajar. Si B punya pengaruh lingkungan yang buruk (obrolan di kampus, bisa berakhir di tempat tidur) tapi tetap teguh memegang ajaran Islam dengan segala aturan mainnya. Ini hal yang sangat sulit. Semakin tinggi sebuah pohon akan semakin kencang angin menerpanya. Disinilah kualitas kekuatan pohon tersebut diuji. Sangat berbeda dengan pohon yang tidak pernah diterpa angin. Pohon tersebut hanya akan terlihat biasa-biasa saja. Seorang santri di pesantren yang senantiasa membaca Al Qur’an, belajar dengan tekun, ibadah yang rajin, sangat mungkin memelihara imannya. Tapi bagaimana dengan siswa di sekolah umum yang setiap harinya dipengaruhi oleh lingkungan yang maksiatnya bervariasi? bagaimana bisa mempertahankan iman di tengah pengaruh buruk yang ada?
Ibarat hape yang low bat, ia perlu dicharge. Komputer yang berkurang kemampuannya, perlu diupgrade. Ada beberapa cara untuk meningkatkan keimanan kita kepada Allah Swt. diantaranya:
Pertama, sisihkan waktu untuk menghadiri majelis ilmu. Pahamilah majelis ilmu dengan segala keutamaannya. Dengan mendengar informasi-informasi keagamaan melalui HP, atau televisi atau media lainnya yang mendukung untuk mewujudkan peningkatan iman kepada Allah Swt.
Kedua, membaca Al Qur’an (tadabbur). Membaca Al Qur’an bukanlah sekedar melafazkan ayat demi ayat, juz demi juz hingga khatam, tetapi lebih dari itu mencari makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut melalui terjemahan. Kalau dengan terjemahan masih belum mengerti, bukalah tafsir. Tadabbur itu bisa melalui Al Qur’an dengan mengkaji ayat-ayat yang tertulis di dalamnya atau melalui alam sekitar yang dilihat dan diamati serta dinikmati sehari-hari.
Ketiga, Meninggalkan hal-hal yang menodai iman, dalam hal ini tentu saja dosa dan kemusyrikan. Imam Al Ghazali memperingatkan bahwa hati manusia seperti sebuah cermin yang jika tidak dibersihkan, maka setiap harinya akan semakin banyak debu yang menempel bahkan lama kelamaan akan sulit dikeluarkan dan tidak bisa bercermin lagi karena kabur. Antara fluktuasi iman dengan maksiat itu memiliki kaitan yang erat. Jadi, harus berikhtiar, berjuang meninggalkan maksiat kepada Allah Swt.
Keempat, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna yang seringkali menjadi prioritas ketimbang persoalan lain yang bermanfaat. Sebut saja ngobrol dengan teman. Bukannya tidak bole, tapi perlu diperhatikan materi pembicaraan yang tidak relevan untuk dibicarakan. Sekiranya hanya membahas setiap orang yang lewat atau hanya membicarakan kejelekan orang, sebaiknya ditinggalkan atau mengganti topik pembicaraan dengan sesuatu yang lebih berguna.
Kelima, hiasilah diri dengan zikir. Senantiasa mengingat Allah dalam segala bentuk baik lisan maupun perbuatan. Zikir amali (perbuatan) adalah lebih penting dan perlu diperhatikan. Banyak orang bisa melaksanakannya kalau hanya sekedar zikir lisan seperti Alhamdulillah, subhanallah, masya Allah, astaghfirullah dan sebagainya.
Semua itu merupakan sarana kita untuk mempertebal dan meningkatkan keimanan kita kepada Allah swt agar diakhir kehidupan kita benar-benar ada manfaat dan memperoleh akhir yang baik (husnul khatimah), Amiin… Wallahu a’lam (Makassar, 15 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar