Ramadhan kembali hadir dengan membawa sejuta harapan
bagi mereka yang ingin memprbaiki diri dan menata kehidupan rohaninya.
Spritualitas orang yang beriman akan semakin marak dengan kehadiran Ramadhan. Tepatlah
jika Dr. Muhammad Al Bahi dalam bukunya “Al Islam fi Hayatil Muslim”, menyatakan bahwa bulan suci Ramadhan
adalah layak diberikan predikat Syahrur
ruuhi wal iman (bulan yang mengandung nilai-nilai rohaniah dan keimanan).
Bulan Ramadhan sebagai syahrul Qur’an
memberikan kesempatan kepada oran g
yang beriman untuk membaca dan mengkaji kedalaman maknanya. Salah satu hal yang
mampu meningkatkan iman seseorang adalah ketika mempelajari
Al Qur’an dan mendapatkan informasi tentang betapa pedihnya azab kubur atau
betapa dahsyatnya Hari Kiamat serta betapa merana dan menderitanya penghuni
neraka yang senantiasa disiksa setiap saat. Ada perasaan bergidik dan perasaan yang
membuat bulu kuduk merinding, ketakutan setengah mati serta berdoa agar kiranya
kepedihan itu tidak dirasakan. Lalu muncul tekad untuk memperbaiki diri dan tidak ingin
merasakan kepedihan dan kesengsaraan tersebut.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa masih ada sesuatu yang biasa disebut ”Iman”.
Iman adalah soal kepercayaan dan keyakinan. Jika sudah
menyangkut keyakinan –dalam segala hal- maka seseorang tidak akan terpengaruh
dengan apapun. Seorang siswa akan merasa “pede” dengan mode rambutnya yang
seperti durian, sekalipun teman-temannya mengejek dan memperingatkan dia agar
hati-hati dengan penjual balon. Ini
masalah keyakinan. Apapun tidak akan merubah pendirian seseorang yang merasa
yakin dengan suatu hal. Perlu alasan-alasan yang logis, rasional dan
benar-benar kuat untuk merubah suatu keyakinan.
Bagi seorang muslim, iman itu bertambah dan berkurang,
seperti layaknya grafik bagi orang yang ”koma” di rumah sakit. Bagi malaikat,
keimanannya cenderung stabil karena malaikat tidak dibekali nafsu dan hanya
memiliki akal. Para nabi dan aulia, grafik keimanannya cenderung naik seiring
dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Al Qur’an memberikan
sebuah gambaran bahwa iman itu laksana sebuah pohon yang akarnya menghujam kuat
ke bumi dan rantingnya menggapai ke langit. Iman yang baik senantiasa teruji
dengan berbagai persoalan kehidupan dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Ada dua perumpamaan, sebut saja A dan B. Si A tinggal di
Makkah, rajin shalat, gaul dan ibadah lainnya. Adapun B tinggal di Los Angeles
dengan segala kondisinya tapi tetap rajin shalat “say hello” dan beribadah lainnya. Di antara A dan B, manakah yang
imannya lebih kuat? Si A rajin shalat karena lingkungannya mendukung. Masjidil
haram dan segala ketentuan syariat Islam yang berlaku di kota itu membuat A
semakin tebal imannya. Ini adalah kondisi yang wajar. Si B punya pengaruh
lingkungan yang buruk (obrolan di kampus, bisa berakhir di tempat tidur) tapi
tetap teguh memegang ajaran Islam dengan segala aturan mainnya. Ini hal yang
sangat sulit. Semakin tinggi sebuah pohon akan semakin kencang angin
menerpanya. Disinilah kualitas kekuatan pohon tersebut diuji. Sangat berbeda
dengan pohon yang tidak pernah diterpa angin. Pohon tersebut hanya akan terlihat
biasa-biasa saja. Seorang santri di pesantren yang senantiasa membaca Al
Qur’an, belajar dengan tekun, ibadah yang rajin, sangat mungkin memelihara
imannya. Tapi bagaimana dengan siswa di sekolah umum yang setiap harinya
dipengaruhi oleh lingkungan yang maksiatnya bervariasi? bagaimana bisa
mempertahankan iman di tengah pengaruh buruk yang ada?
Ibarat hape yang low bat, ia
perlu dicharge. Komputer yang
berkurang kemampuannya, perlu diupgrade. Ada beberapa cara untuk meningkatkan keimanan kita
kepada Allah Swt. diantaranya:
Pertama, sisihkan waktu untuk menghadiri majelis ilmu. Pahamilah majelis ilmu
dengan segala keutamaannya. Dengan mendengar informasi-informasi keagamaan
melalui HP, atau televisi atau media lainnya yang mendukung untuk mewujudkan
peningkatan iman kepada Allah Swt.
Kedua, membaca Al Qur’an
(tadabbur). Membaca Al Qur’an
bukanlah sekedar melafazkan ayat demi ayat, juz demi juz hingga khatam, tetapi lebih dari itu mencari
makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut melalui terjemahan. Kalau dengan
terjemahan masih belum mengerti, bukalah tafsir. Tadabbur itu bisa melalui Al
Qur’an dengan mengkaji ayat-ayat yang tertulis di dalamnya atau melalui alam
sekitar yang dilihat dan diamati serta dinikmati sehari-hari.
Ketiga, Meninggalkan hal-hal yang menodai iman, dalam
hal ini tentu saja dosa dan kemusyrikan. Imam Al Ghazali memperingatkan bahwa
hati manusia seperti sebuah cermin yang jika tidak dibersihkan, maka setiap
harinya akan semakin banyak debu yang menempel bahkan lama kelamaan akan sulit
dikeluarkan dan tidak bisa bercermin lagi karena kabur. Antara fluktuasi iman dengan
maksiat itu memiliki kaitan yang erat. Jadi, harus berikhtiar, berjuang
meninggalkan maksiat kepada Allah Swt.
Keempat, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna yang
seringkali menjadi prioritas ketimbang persoalan lain yang bermanfaat. Sebut
saja ngobrol dengan teman. Bukannya tidak bole, tapi perlu diperhatikan materi
pembicaraan yang tidak relevan untuk dibicarakan. Sekiranya hanya membahas
setiap orang yang lewat atau hanya membicarakan kejelekan orang, sebaiknya
ditinggalkan atau mengganti topik pembicaraan dengan sesuatu yang lebih
berguna.
Kelima, hiasilah diri dengan zikir. Senantiasa mengingat
Allah dalam segala bentuk baik lisan maupun perbuatan. Zikir amali (perbuatan)
adalah lebih penting dan perlu diperhatikan. Banyak orang bisa melaksanakannya kalau
hanya sekedar zikir lisan seperti Alhamdulillah,
subhanallah, masya Allah, astaghfirullah
dan sebagainya.
Semua itu merupakan sarana kita untuk mempertebal dan
meningkatkan keimanan kita kepada Allah swt agar diakhir kehidupan kita
benar-benar ada manfaat dan memperoleh akhir yang baik (husnul khatimah), Amiin… Wallahu a’lam (Makassar, 15 Agustus 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar