Dari perjalanan sejarah bisa dilihat bahwa tradisi qurban pra Islam oleh
masyarakat Arab dilakukan sebagai penangkal bahaya agar tuhan mereka tidak
marah, yaitu dengan cara menyiramkan darah binatang yang disembelih ke dinding
ka’bah kemudian dagingnya dilemparkan ke depan pintunya. Mereka berasumsi bahwa
tuhan menghendaki hal itu dan haus akan darah dan dagingnya. Bahkan tradisi
dizaman jahiliah membawa dampak psikologis yang merugikan diri mereka sendiri
seperti pengorbanan dengan obyek anak manusia.
Islam datang merubah tradisi jahiliah yang keliru dengan syariat berqurban
yang tinggi dan penuh makna. Hewan qurban tidak diletakkan atau dilemparkan
pada tempat tertentu tetapi daging hewan qurban itu dibagikan kepada manusia
untuk dimanfaatkan sebaik mungkin. Inilah realisasi kepatuhan kepada Allah dan
solidaritas sosial kepada sesama manusia.
Ibadah qurban bermula ketika Allah memerintahkan nabi Ibrahim untuk
menyembelih (mengorbankan) putranya, Ismail. Sebuah ujian yang berat bagi
Ibrahim karena Ismail lebih dari sekedar seorang putra idaman hati dan pelipur
lara. Inilah jihad akbar, jihad
melawan hawa nafsu dan kemauan serta egoisme diri yang lebih sering menguasai
manusia baik individu maupun kelompok. Maka kesabaran, ketawakkalan dan ketaatan Nabi Ibrahim
selanjutnya mendapatkan balasan dari Allah Yang Maha Rahman sebagaimana
diabadikan dalam Alquran. (QS. As Shaffat : 102-109)
Qurban adalah simbol bagi manusia untuk taqarrub
ilallah, atau mendekatkan diri kepada Allah bahkan menjadi sarana untuk taqarrub ilannaas, saling akrab dengan
sesama manusia. Wujud qurban adalah hewan yang secara simbolik dipersembahkan
pada Tuhan, namun bentuk solidaritas sosial itu diniatkan untuk mencari ridha
Allah swt dengan penuh keikhlasan, bukan untuk dipuji, disanjung atau diagungkan
orang lain sebagaimana tertulis dalam Alquran (QS.
Al Hajj : 37) : ”Daging-daging unta dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya
kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Secara psikologis, hewan yang
dikurbankan melambangkan sifat kehewanan yang melekat ketat pada diri manusia,
seperti kecenderungan memperturutkan hawa nafsu, rakus dan serakah, main
seruduk, menghalalkan segala cara, mengikuti akal sesat, berjiwa penyamun dan
prilaku buruk lainnya. Sifat-sifat itu perlu dibuang dengan tebusan
penyembelihan hewan sebagai upaya memenuhi perintah Allah.
Darah yang mengalir dari hewan kurban menjadikan setiap muslim sadar bahwa
hewan saja rela untuk mati demi mengikuti kemauan manusia yang menguasainya.
Maka wajarlah jika setiap muslim berkurban di jalan Allah yang kekuasaanNya
atas manusia jauh lebih besar dibandingkan kekuasaan manusia atas hewan.
Pendistribusian daging qurban kepada yang berhak itu juga mengandung
implikasi makna sebagai terapi psikologis atas kesenjangan sosial, antara yang
kaya dan yang miskin. Ibadah qurban juga menjadi wahana penghubung yang
dilandasi pada rasa kemanusiaan, sehingga menimbulkan kasih sayang antar sesama. Inilah ibadah yang mencerminkan
pesan Islam, dimana manusia dapat dekat dengan Tuhannya jika ia mendekati saudara-saudaranya
yang berkekurangan.:) (Manado Post, Rabu, 03 Desember 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar