Hari Akhir menurut bahasa artinya “Hari Penghabisan” (Q.S.
al-Baqarah/2:177), juga disebut “Hari Pembalasan” (Q.S. al-Fatihãh/1:4).
Sedangkan menurut istilah, Hari Akhir adalah hari mulai hancurnya alam semesta
berikut isinya dan berakhirnya kehidupan semua makhluk Allah Swt. Hari Akhir
juga disebut hari Kiamat, yaitu hari penegakan hukum Allah Swt. yang
seadil-adilnya (Q.S. al-Mumtahanah/60:3).
Hari Akhir adalah hari kiamat yang diawali dengan pemusnahan
alam semesta. Semua manusia, sejak jaman dari Nabi Adam a.s sampai terjadinya
hari akhir akan dibangkitkan untuk mendapatkan balasan semua amal perbuatan
mereka;
2. Iman kepada Hari Akhir adalah percaya dengan penuh
keyakinan adanya hidup yang kekal abadi di akhir kelak;
3. Setelah alam semesta hancur secara total dan kehidupan
semua makhluk Allah berakhir, maka mulailah manusia menjalankan tahapan
kehidupan baru dan proses menuju alam baqa’. Tahapan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut: Yaumul Ba’ats, Yaumul Hasyr, Buku Catatan,
Yaumul Hisab, Mizan, Shirat, Yaumul Jaza’, balasan amal baik surga dan balasan
amal buruk neraka;
4. Beriman kepada Hari Akhir akan menumbuhkan rasa tanggung
jawab yaitu merasa bahwa hidup di dunia ini hanya bersifat sementara saja,
cepat atau lambat semua manusia pasti akan kembali kepada Allah Swt. dan semua
perbuatan mereka selama hidup di dunia akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah Swt., sehingga hidup yang dijalaninya akan
ditempuh dengan penuh kehati-hatian, sikap dan perilaku yang sesuai dengan
tuntunan agama;
5. Mengimani Hari Akhir membuat manusia sadar bahwasanya
manusia itu lemah dan kerdil di hadapan Allah Swt. Kesadaran ini diharapkan
dapat menghilangkan sikap takabur, sombong, egois, dengki, dan penyakit hati
lainnya.
Pokok-pokok keimanan pada hari akhir
1. Fitnah kubur.
Setelah manusia mengakhiri kehidupannya di alam dunia ini.
2. Kiamat dan tanda tandanya. Peristiwa hari kiamat diawali dengan
beberapa tanda yang dilukiskan al-Qur’an.
3. Kebangkitan.
Setelah kiamat tiba saatnya manusia dibangkitkan dari
kuburnya.
4. Berkumpul.
Setelah manusia dibangkit-kan lalu dihimpun di padang
mahsyar guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
5. Perhitungan.
Pada masa ini semua manusia menantikan keputusan hakim
semesta alam.
6. Shirath (Jembatan).
Setelah selesai hari perhitungan tibalah saatnya manusia
diberikan balasan aktivitasnya kemudian ditentukan jalan yang harus dilalui
oleh setiap manusia
7. Surga dan
Neraka.
Tempat balasan bagi manusia sesuai amal perbuatannya
didunia.
KETENTUAN PERNIKAHAN
Secara bahasa, arti “nikah” berarti “mengumpulkan,
menggabungkan, atau menjodohkan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ”nikah”
diartikan sebagai “perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami
istri (dengan resmi) atau “pernikahan”. Sedang menurut syari’ah, “nikah”
berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban
masing-masing.
Dalam Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun
1974, definisi atau pengertian perkawinan atau pernikahan ialah "ikatan
lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pernikahan sama artinya dengan perkawinan. Allah Swt.
berfirman:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S. an-Nisa/4:3).
2. Tujuan Pernikahan
Seseorang yang akan menikah harus memiliki tujuan positif
dan mulia untuk membina keluarga sakinah dalam rumah tangga, di antaranya
sebagai berikut.
a.
Untuk memenuhi tuntutan naluri
manusia yang asasi
b.
b. Untuk mendapatkan ketenangan
hidup
c.
c. Untuk membentengi akhlak
d.
d. Untuk meningkatkan ibadah kepada
Allah Swt.
e.
e. Untuk mendapatkan keturunan yang
salih
f.
f. Untuk menegakkan rumah tangga
yang Islami
Hukum Pernikahan
Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena
dapat mewujudkan maslahat, memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan
lain-lain. Oleh karena itu, apabila pernikahan justru membawa
mudharat maka nikah pun dilarang. Karena itu hukum asal
melakukan pernikahan adalah mubah.
Para ahli fikih sependapat bahwa hukum pernikahan tidak sama
penerapannya kepada semua mukallaf, melainkan disesuaikan dengan kondisi
masing-masing, baik dilihat dari kesiapan ekonomi, fisik, mental
ataupun akhlak. Karena itu hukum nikah bisa menjadi wajib,
sunah, mubah, haram, dan makruh. Penjelasannya sebagai berikut.
a. Wajib yaitu bagi orang yang telah mampu baik fisik,
mental, ekonomi maupun akhlak untuk melakukan pernikahan, mempunyai keinginan
untuk menikah, dan jika tidak menikah, maka dikhawatirkan akan jatuh pada
perbuatan maksiat, maka wajib baginya untuk menikah.
Karena menjauhi zina baginya adalah wajib dan cara menjauhi
zina adalah dengan menikah.
b. Sunnah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai keinginan untuk
menikah namun tidak dikhawatirkan dirinya akan jatuh kepada maksiat, sekiranya
tidak menikah. Dalam kondisi seperti ini seseorang boleh
melakukan dan boleh tidak melakukan pernikahan. Tapi
melakukan pernikahan adalah lebih baik daripada mengkhususkan diri untuk
beribadah sebagai bentuk sikap taat kepada Allah Swt..
c. Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak
membutuhkannya atau tidak memiliki syahwat sama sekali seperti orang yang
impoten atau lanjut usia, atau yang tidak mampu
menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita
tersebut harus rasyidah (berakal). Juga mubah bagi yang mampu menikah dengan
tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada
niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.
d. Haram yaitu bagi orang yang yakin bahwa dirinya tidak akan mampu
melaksanakan kewajiban-kewajiban pernikahan, baik kewajiban yang berkaitan
dengan hubungan seksual maupun berkaitan dengan kewajiban-kewajiban lainnya.
Pernikahan seperti ini mengandung bahaya bagi wanita yang akan dijadikan istri.
Sesuatu yang menimbulkan bahaya dilarang dalam Islam.
Tentang hal ini Imam al-Qurtubi mengatakan, “Jika suami
mengatakan bahwa dirinya tidak mampu menafkahi istri atau memberi mahar , dan
memenuhi hak-hak istri yang wajib, atau mempunyai suatu penyakit yang
menghalanginya untuk melakukan hubungan seksual, maka dia tidak boleh menikahi
wanita itu sampai dia menjelaskannya kepada calon istrinya. Demikian juga wajib
bagi calon istri menjelaskan kepada calon suami jika dirinya tidak mampu
memberikan hak atau mempunyai suatu penyakit yang menghalanginya untuk
melakukan hubungan seksual dengannya.
e. Makruh yaitu bagi seseorang yang mampu menikah tetapi dia khawatir
akan menyakiti wanita yang akan dinikahinya, atau menzalimi hak-hak istri dan
buruknya pergaulan yang dia miliki dalam memenuhi hak-hak manusia, atau tidak
minat terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.
Orang-orang yang Tidak Boleh Dinikahi
Al-Qur'an telah
menjelaskan tentang orang-orang yang tidak boleh (haram) dinikahi (Q.S.
an-Nisā’ /4:23-24). Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram nikah.
Mahram nikah sebenarnya dapat dilihat dari pihak laki-laki dan dapat dilihat
dari pihak wanita. Dalam pembahasan secara umum biasanya yang dibicarakan ialah
mahram nikah dari pihak wanita, sebab pihak laki-laki yang biasanya mempunyai
kemauan terlebih dahulu untuk mencari jodoh dengan wanita pilihannya.
Dilihat dari kondisinya mahram terbagi kepada dua; pertama mahram muabbad (wanita
diharamkan untuk dinikahi selama-lamanya) seperti: keturunan, satu susuan,
mertua perempuan, anak tiri, jika ibunya sudah dicampuri, bekas menantu
perempuan, dan bekas ibu tiri. Kedua mahram gair muabbad adalah
mahram sebab menghimpun dua perempuan yang statusnya bersaudara, misalnya
saudara sepersusuan kakak dan adiknya. Hal ini boleh dinikahi tetapi setelah
yang satu statusnya sudah bercerai atau mati. Yang lain dengan sebab istri
orang dan sebab iddah. Berdasarkan ayat tersebut, mahram dapat dibagi
menjadi empat kelompok:
Keturunan: Ibu dan seterusnya ke atas, Anak perempuan dan seterusnya
ke bawah, Bibi, baik dari bapak atau ibu, Anak perempuan dari saudara perempuan
atau saudara laki-laki
Pernikahan:
Ibu dari istri (mertua), Anak tiri,
bila ibunya sudah dicampuri, Istri bapak (ibu tiri), Istri anak (menantu)
Persusuan:
Ibu yang menyusui, Saudara perempuan
sepersusuan
Dikumpul/dimadu: Saudara perempuan dari istri, Bibi perempuan dari istri,
Keponakan perempuan dari istri.
Rukun dan Syarat Pernikahan
Para ahli fikih berbeda pendapat dalam menentukan rukun dan
syarat pernikahan. Perbedaan tersebut adalah dalam menempatkan mana yang
termasuk syarat dan mana yang termasuk rukun. Jumhur ulama sebagaimana juga mażhab
Syafi’i mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima seperti dibawah ini.
a. Calon suami, syarat-syaratnya sebagai berikut:
1) Bukan mahram si wanita, calon suami bukan termasuk
yang haram dinikahi karena adanya hubungan nasab atau sepersusuan.
2) Orang yang dikehendaki, yakni adanya keridaan dari
masing-masing pihak. Dasarnya adalah hadis dari Abu Hurairah r.a, yaitu:
Dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta
izinnya.” (HR. al- Bukhari dan Muslim).
3) Mu’ayyan (beridentitas jelas), harus ada kepastian
siapa identitas mempelai laki-laki dengan menyebut nama atau sifatnya yang
khusus.
b. Calon istri, syaratnya adalah:
1) Bukan mahram si laki-laki.
2) Terbebas dari halangan nikah, misalnya, masih dalam masa
iddah atau berstatus sebagai istri orang.
c. Wali, yaitu bapak kandung mempelai wanita, penerima
wasiat atau kerabat terdekat, dan seterusnya sesuai dengan urutan ashabah
wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita, atau pemimpin setempat,
Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada nikah, kecuali dengan wali.”
Umar bin Khattab ra. berkata, “Wanita tidak boleh
dinikahi, kecuali atas izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau
seorang pemimpin”.
Syarat wali adalah:
1) orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci,
2) laki-laki, bukan perempuan atau banci,
3) mahram si wanita,
4) balig, bukan anak-anak,
5) berakal, tidak gila,
6) adil, tidak fasiq,
7) tidak terhalang wali lain,
8) tidak buta,
9) tidak berbeda agama,
10) merdeka, bukan budak.
d. Dua orang saksi.
Firman Allah Swt.: “Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil di antara kalian”. (Q.S. at-Țalaq/65:2).
Syarat saksi adalah:
1) Berjumlah dua orang, bukan budak, bukan wanita, dan bukan
orang fasik.
2) Tidak boleh merangkap sebagai saksi walaupun memenuhi
kualifikasi sebagai saksi.
3) Sunnah dalam keadaan rela dan tidak terpaksa.
e. Sigah (Ijab Kabul), yaitu perkataan dari mempelai
laki-laki atau wakilnya ketika akad nikah. Syarat shighat adalah:
1) Tidak tergantung dengan syarat lain.
2) Tidak terikat dengan waktu tertentu.
3) Boleh dengan bahasa asing.
4) Dengan menggunakan kata “tazwij” atau “nikah”, tidak
boleh dalam bentuk kinayah (sindiran), karena kinayah membutuhkan
niat sedang niat itu sesuatu yang abstrak.
5) Qabul harus dengan ucapan “Qabiltu
nikahaha/tazwijaha” dan boleh didahulukan dari ijab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar