1. Nikah
berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing. Sedangkan
menurut Undang-undang Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974 adalah:
“Perkawinan atau nikah ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
2. Para
ahli fikih sependapat bahwa hukum pernikahan tidak sama di antara orang
mukallaf. Dilihat dari kesiapan ekonomi, fisik, mental ataupun akhlak, hukum
nikah bisa menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh.
3.
Al-Qurān telah menjelaskan tentang orang-orang yang tidak boleh (haram) dinikahi
(Q.S. an-Nisā’ /4:23-24). Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram
nikah.
4. Jumhur
ulama sebagaimana juga mażhab Syafi’iy mengemukakan bahwa rukun nikah ada lima,
yaitu: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, dan sigat (Ijab Kabul).
5. Di
antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh Rasulullah saw. adalah
pernikahan mut`ah, pernikahan syigar, pernikahan muhallil,
pernikahan orang yang ihram, pernikahan dalam masa iddah, pernikahan tanpa
wali, dan pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab,
menikahi mahram.
6.
Pernikahan melahirkan kewajiban atas masing-masing pihak, suami dan istri.
Kewajiban tersebut meliputi: a) kewajiban timbal balik antara suami dan istri,
seperti hubungan seksual di antara mereka; b) kewajiban suami terhadap istri,
seperti mahar dan nafkah; c) kewajiban Istri terhadap suami, seperti taat
kepada suami.
DALIL TENTANG MENIKAH
“Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan Dia jadikan di antaramu
rasa
kasih sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. ar-Rμm/30:21;)
Nikah
disyariatkan Allah Swt. melalui al-Qur'ān dan sunah Rasul-Nya, seperti
dalam uraian di atas, mengandung hikmah yang sangat besar untuk keberlangsungan
hidup manusia, di antaranya sebagai berikut:
1.
Terciptanya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dalam
ikatan suci yang halal dan diridai Allah Swt.
2.
Mendapatkan keturunan yang sah dari hasil pernikahan.
3.
Terpeliharanya kehormatan suami istri dari perbuatan zina.
4.
Terjalinnya kerja sama antara suami dan istri dalam mendidik anak dan menjaga
kehidupannya.
5. Terjalinnya silaturahim
antarkeluarga besar pihak suami dan pihak istri.
Ajaran
Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi juga mengatur hubungan
manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk juga masalah kewarisan.
Keberadaan warisan menjadi bukti bahwa orangtua harus bertanggung jawab
terhadap keluarga, anak, dan keturunannya.
2. Dasar
hukum waris yang paling utama adalah Q.S.an-Nisa'/4:7-12 dan 176, Q.S.an-Nahl/16:75
dan Q.S. al-Ahzab/33:4 serta beberapa hadis Nabi saw
3. Posisi
hukum kewarian Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan Inpres No.1 tahun 1991.
4.
Ketentuan-ketentuan tentang warisan adalah yang paling lengkap diuraikan secara
rinci dalam al-Qur'an terutama mengenai ketentuan pembagian harta
warisan (furudul muqaddarah). Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ilmu
mawaris dan hukum mempelajarinya perlu
mendapat
perhatian yang serius dari kaum muslimin.
5. Orang
yang memperoleh harta warisan dari orang yang meninggal dunia karena empat
sebab, yaitu; sebab nasab hakiki, sebab nasab hukmi, sebab pernikahan dan
sebab hubungan agama.
6. Hal-hal
yang perlu diselesaikan sebelum dilakukan pembagian waris, diantaranya
mengeluarkan biaya rumah sakit, biaya pemakaman, melunasi hutang, dan
menyelesaikan wasiat
Sebab-sebab
Tidak Mendapatkan Harta Warisan
a.
Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan
orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Hal ini
sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir tidak mewarisi orang
muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.” (HR. Bukhari dan Muslim).
b.
Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut
tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.:
“Pembunuh
tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.”
(HR. Ibnu Abdil Bar)
c.
Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak
secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli
budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari
anak
majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab
(budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang
kepada pemiliknya), karena mereka
semua
tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak
yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat
kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw.,yang
artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan
diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”
d.
Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi
dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan
hadis Rasulullah saw.:
“Anak
itu dinisbatkan kepada si empunya tempat tidur, dan pezina terhalang (dari
hubungan nasab.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
e. Li’an. Anak suami isteri yang
melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak
mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil
perzinaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar