Sabtu, 28 Maret 2020

ALUN-ALUN UTARA YOGYA


Alun-alun Utara Yogyakarta

Ketika tinggal di Yogya, tidak pernah terpikirkan untuk mengambil gambar di salah satu spot yang menjadi ikonnya Yogya ini. Komplek Istana yang dibangun Sultan Hamengku Buwono I dan diakui oleh Belanda disebut sebagai arsitek hebat. Bahkan orang Yogya sendiri belum tentu memiliki foto khusus di lokasi Keraton Yogya. Moment berfoto di Keraton paling hanya terjadi pada saat mengantar turis, baik keluarga, teman, sahabat, yang datang dari luar kota untuk berlibur di Yogya. Sebagai anak kost, tentu moment jalan-jalan itu sangat langka karena memerlukan biaya ekstra, apalagi berfoto. Era 90-an, hanya orang-orang tertentu yang memiliki pocket camera, dimana sebelum mengabadikan sebuah momen, harus beli filmya dulu di studio foto dengan pilihan 24 x atau 36 x jepret. Beruntung jika yang memasangnya bagus, bisa mendapatkan 2 atau 3 x jepretan ekstra…(semoga generasi sekarang bisa faham soal ini)
Di depan Keraton ada Alun-alun Utara, orang Jawa menyebutnya Alun-alun Lor, lokasi ini selalu menjadi tempat favorit dan biasanya lebih ramai dibandingkan dengan Alun-alun Selatan (dekat Plengkung Gading) terutama pada saat Sekaten, dan beberapa kegiatan Keraton lainnya. Berbagai kegiatanpun digelar mulai dari pameran, pasar malam dengan aneka jajanan, kuliner, dan segala rupa, sampai pertunjukan dangdut ada di lokasi ini. Gak tanggung-tanggung, sebulan bro…hingga usai Sekaten, hampir tak ada lagi rumput hijau di alun-alun Utara…hanya lapangan pasir berdebu saja. Tapi memang sih, menurut sejarah, bahwa dulu permukaan alun-alun adalah pasir halus yang cocok digunakan untuk tempat latihan para prajurit juga untuk unjuk kehebatan di hadapan Sultan.
Saat kegiatan berlangsung, Sultan dan para pembesar kerajaan duduk di Siti Hinggil, yaitu bagian muka keraton yang memiliki permukaan lebih tinggi untuk melihat atraksi para prajuritnya. Alun-alun Lor juga digunakan untuk Tapa Pepe, yaitu suatu bentuk unjuk diri dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian dari sultan.
Luas alun-alun yang berkisar 9000 meter persegi itu sengaja ditutup dengan pasir lembut. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan. Pasir yang menutupi permukaan alun-alun melambangkan laut tak berpantai yang merupakan perwujudan sifat tak terhingga dari Tuhan.
Pada zaman dahulu, Alun-alun Lor adalah wilayah sakral dimana tidak sembarang orang diperkenankan untuk memasukinya. Ada aturan-aturan yang wajib dipatuhi jika ingin memasukinya, misalnya tidak boleh menggunakan kendaraan, sepatu, sandal, bertongkat, dan mengembangkan payung. Hal ini dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Di tengah alun-alun Utara ada dua pohon beringin besar berpagar yang berada di tengah alun-alun. Dua Pohon Beringin Besar itu masing-masing diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada masa lalu di sekeliling Alun-alun Lor ditanam 63 Pohon Beringin yang melambangkan umur Nabi Muhammad SAW.
Konon, bibit Kiai Dewadaru berasal dari Majapahit sedang bibit Kiai Janadaru berasal dari Pajajaran. Garis keturunan ini terus dijaga tiap kali ada pohon yang rubuh atau mati. Kiai Dewadaru pernah diganti pada tahun 1988, saat beringin tersebut rubuh menjelang wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kiai Janadaru pernah terbakar dan ditanam kembali karena tersambar petir pada tahun 1961. Sebelumnya, Kiai Janadaru juga pernah diganti pada tahun 1926. Karenanya dua beringin tersebut tampak tidak sama besarnya. Namun, makna filosofisnya sangat dalam, berkaitan dengan konsep Islam tentang hablum minallah dan hablum minannaas. (dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar